CIREBON, BINADESA.ORG–Sejak Oktober tahun lalu hingga Maret nanti, Indonesia sedang dilalui angin muson barat, yakni angin yang berhembus dari barat laut-utara (kawasan Asia) menuju selatan akibat adanya perbedaan tekanan udara karena posisi matahari berada di selatan. Angin yang berhembus dari utara melalui lautan dan samudera membawa banyak uap air bersamanya sehingga berimbas pada datangnya musim hujan di Indonesia.
Adanya musim hujan tentu membawa berkah tersendiri. Sungai, bendungan, dan tanah pertanian yang tadinya mulai kering pun kembali gembur, menorehkan senyum di wajah para petani dengan hasil panen yang menggembirakan. Namun, berbeda halnya dengan para nelayan, terutama nelayan di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Nelayan di wilayah Cirebon belakangan kesulitan untuk melaut karena ombak kian besar di musim penghujan kali ini. Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Budi Laksana menjelaskan, dalam tiga bulan terakhir para nelayan di daerahnya menganggur akibat terjangan ombak besar.
Meskipun biasanya wilayah menghadap ke Laut Jawa yang ombaknya tidak seganas wilayah yang menghadap ke samudera lepas, nelayan Cirebon kali ini harus menghadapi ombak setinggi hingga 3-4 meter setiap melaut belakangan. Ombak seperti ini tentu sangat berisiko untuk dihadapi, terlebih apabila armada yang digunakan hanyalah perahu kecil.
Sebagian besar nelayan Cirebon, menurut Budi yang juga anggota dari World Forum of Fisher People (WFFP) ini, menggunakan armada kapal kecil yang bermuatan ±3-5 gross ton saja. Tentu armada sekecil itu akan kalah dalam menghadapi ombak yang besar. Armada yang ideal untuk menghadapi ombak besar setidaknya berukuran ±30 gross ton. Namun, jangankan memiliki armada yang ideal, mendapatkan modal untuk mengoperasikan kapal kecil pun nelayan seringkali mengalami kesulitan.
Akibatnya, para nelayan terpaksa sering tidak melaut apabila ombak sedang tinggi. Beberapa nelayan, menurut Budi, nekat mempertaruhkan nyawa untuk melaut karena himpitan ekonomi. Bagi nelayan, ini kondisi yang amat sulit. “Sulit bagi nelayan untuk tidak melaut karena tidak ada alternatif ekonomi lain, termasuk para istrinya,” kata Budi. Selain itu, kekurangan pasokan ikan pun membuat harga ikan melonjak di pasar. Ini sungguh sebuah ironi, karena laut Indonesia memiliki potensi produksi lestari, Maximum Sustainable Yield (MSY) ikan laut yang cukup besar, sekitar 6,51 juta ton/tahun atau 8,2% dari dari total MSY ikan laut dunia.
Pada pertemuan di Sekretariat Bina Desa bersama Budi Laksana, pegiat Bina Desa Achmad Yakub mengatakan bahwa perlunya inovasi dan keberanian dari nelayan bersama koperasinya atau organisasinya memulai pola produksi dengan mengembangkan keramba atau tambak ikan, tidak hanya menjadi nelayan tangkap. Ide lainnya adalah bagaimana mengolah hasil produksi perikanan selain dijual segar. “Mirip juga dalam pertanian pangan didaratan, proses pasca produksi masih minim” Ujar Yakub. Setidaknya untuk produk perikanan ketika musim banyak ikan, udang atau jenis lainnya dilakukan pengolahan misalnya di asap, dikalengkang, atau menjadi produk olahan lain. Hal ini dilakukan selain menambah nilai tambah, menjaga keberlanjutan pasokan juga tentunya menjamin perekonomian nelayan secara jangka panjang. (YL)