Monopoli Bisnis di Sektor Air
JAKARTA, – Air merupakan milik publik. Oleh karena itu, air tidak bisa dikomersilkan dan upaya mengkomersialkannya bertentangan dengan konstitusi. tapi toh kasus di jakarta menunjukan betapa kuatnya monopoli bisnis di sektor air publik.
Muhammad Reza dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA) di Jakarta, hari Kamis (20/3) menegaskan bahwa kepentingan bisnis di sektor air mengakibatkan mahalnya air minum di Jakarta. Dengan volume penjualan 147 juta lebih, diperkirakan sektor ini bisa meraup pendapatan hingga 346 miliar rupiah per tahun. Bagaimana bisa?
Tarif air yang berlaku 7.020 rupiah pada 2008 hingga 2012 seharusnya 4662 rupiah. Temuan kelebihan tarif 33 persen itu diperoleh dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2009.
Air minum Jakarta, seperti dikemukakan Reza, berada di bawah kendali dua perusahaan swasta. Sebelah barat dikelola Palyja, konsorsium Suez dengan Salim Grup. Sementara di timur di bawah kendali Aetra yang dulu bernama Thames PAM Jaya. Sekarang Suez memegang 51 persen saham Palyja dan sisanya milik Astratel.
Mahalnya air minum di Jakarta menjadi isu yang terus dikembangkan Suez dengan Palyja-nya. Dalihnya untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta harus membeli air di Citarum. Hal itu disebabkan tidak ada satu pun sungai di Jakarta yang bisa dipakai untuk air baku.
“Tetapi membeli tidak semahal harga yang dijual. Palyja membeli air dari Tangerang, PAM Tangerang. PAM Tangerang juga terikat kontrak dengan swasta sehingga harus membeli air dari perusahaan yang satu grup dengan Suez. Palyja membeli air yang dijual ke warga Jakarta, dan itu diklaim menyebabkan harga tinggi. Jadi jelas banget ada jual beli air oleh perusahan asing swasta, perusahaan asing nasional, maupun oleh Pemerintah melalui badan usaha.” kata Reza.
Swastanisasi Air
Reza menjelaskan kerja sama PAM Jaya dengan dua operator asing di Jakarta dimulai sejak 1997. Kerja sama pada masa Soeharto itu berlangsung tertutup, “Tidak ada yang tahu, semua penunjukan langsung.”
Standar Bank Dunia menyebutkan pelibatan swasta harus melalui tender. Tetapi Soeharto waktu itu langsung main tunjuk saja sehingga Menteri Pekerjaan Umum waktu itu Radinal Muchtar terpaksa memberikan konsesi pada konsorsium perusahaan dari Inggris, Thames.”
Proses tertutup pembahasan kebijakan air minum ini timbul dalam konteks bisnis. Air yang harusnya menjadi milik publik menjadi rahasia. “Kami mau itu jangan terulang lagi. Semua harus terbuka.”
Penunjukan dan tekanan Bank Dunia mengakibatkan undang-undang dan kebijakan tentang air berubah. Demi membangun kerja sama dengan swasta asing, undang-undang kita diubah. Air dikeluarkan dari ranah hukum publik menjadi sesuatu yang bisa dikomersiilkan dan itu bertentangan dengan konstitusi.
Monopoli Bisnis
Muhammad Reza melalui Satuharapan.com kembali menegaskan air merupakan milik publik. Karena itu, seperti air tidak dapat dikomersilkan dan upaya mengkomersialkannya bertentangan dengan konstitusi. Komersialisasi air diakibatkan Pemerintah berpatokan pada pasal-pasal kontrak dengan perusahaan swasta daripada konstitusi.
Pandangan itu disampaikan Reza di LBH Jakarta dalam diskusi publik untuk menanggapi rencana pembelian saham perusahaan air minum PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) oleh Pemprov DKI Jakarta melalui PT Jakarta Propertindo dan PT Pembangunan Jaya.
Dia berpendapat pembelian saham PT Palyja oleh Pemprov DKI Jakarta melalui PT Jakarta Propertindo dan PT Pembangunan Jaya hanya akan melanggengkan swastanisasi air di Jakarta. Karena PT Palyja hanya mau menjual sahamnya untuk kepentingan bisnis. (*)
Rep: SC