Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.99/PUU-X/2012 akhirnya mengabulkan gugatan pemohon yang mewakili suara petani kecil, secara keseluruhan MK membatalkan Pasal 5,6,9, 12, dan 60 UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Sebelumnya Pemohon yang mengajukan guggatan undang-undang (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sisitem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman menilai kedua undang-undang tersebut telah mempersempit dan menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman; sehingga penerapan Undang-Undang ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas pengetahuan, dan hak untuk hidup yang layak.
Dalam latar belakang putusan sidang yang memenangkan gugatan para petani, Mahakamah Konstotusi (MK) juga menilai bahwa di antara Undang-Undang terkait perbenihan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman perlu didahulukan pengajuan uji materiilnya ke Mahkamah Konstitusi karena Undang-Undang ini telah dipergunakan mengkrimalkan, mendiskriminasikan, dan memfitnah para petani pemulia benih.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sisitem Budidaya Tanaman, dinilai telah mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman. Selain itu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 juga dinilai telah sengaja memisahkan antara petani dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat undang-undang lebih memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan.
Petani Kecil Tak Perlu Izin
Melalui tayangan Vidio MK, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 99/PUU-X/2012 perihal uji materil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
“Dalil para Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Ketua MK M. Akil Mochtar dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (18/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut MK, frasa “perorangan” dalam Pasal 9 ayat (3) Sistem Budidaya Tanaman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”. Pasal ini sebelumnya berbunyi, “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.”
“Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menjadi ‘Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin kecuali untuk perorangan petani kecil’,” tegas Akil.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim menyatakan, kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah yang dilakukan oleh badan hukum memang harus berdasarkan izin. Karena bisa menimbulkan dampak serius bagi petani. Misalnya mengumpulkan plasma nutfah yang ternyata setelah diedarkan, tanpa izin dan tanpa dilepas oleh Pemerintah, hasilnya tidak baik atau kurang dari yang seharusnya atau malahan sama sekali tanpa hasil.
Akan tetapi bagi perorangan petani kecil yang sehari-hari bergerak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan mereka di sektor pertanian, adalah tidak mungkin bahkan mustahil, akan berbuat sesuatu yang merugikan diri mereka sendiri. “Lebih dari itu, sebagai petani kecil warga negara Indonesia, Pemerintah malah berkewajiban, antara lain, untuk memajukan kesejahteraan umum, harus membimbing dengan melakukan pendampingan kepada mereka, bukan malahan mempersulit mereka dengan keharusan mendapat izin,” urai Alim.
Selain itu, petani kecil sebetulnya telah melaksanakan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam kegiatan pertaniannya semenjak lama, bahkan dapat dikatakan juga menjadi pelestari. Karena dengan pola pemilihan tanaman sebetulnya petani telah memilih varietas tertentu yang dianggap menguntungkan.
Potensi petani kecil tersebut sangatlah besar, ujar Alim, sehingga Pemerintah wajib melindunginya. Apabila ada usaha-usaha petani yang tujuannya untuk mendapatkan varietas atau benih yang baik, Pemerintah wajib untuk memberikan bimbingan sejak dini supaya upaya tersebut dapat berhasil dengan baik dan tidak hanya terlibat dalam proses akhir yaitu pemberian sertifikasi saja. Dengan demikian, Pemerintah harus aktif untuk membantu petani yang berusaha untuk menemukan varietas yang baik tidak terbatas pada perencanaan yang dilepas saja.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai bahwa izin dimaksud tidak berlaku bagi perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri,” jelas Alim.
Begitupula terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Sistem Budidaya Tanaman yang melarang diedarkannya hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum dilepas oleh Pemerintah. Menurut MK, di satu sisi ketentuan ini merupakan salah satu bentuk kewaspadaan Pemerintah untuk mencegah tindakan sabotase di sektor pertanian, khususnya varietas hasil pemuliaan dan introduksi dari luar negeri.
Akan tetapi di sisi lain, khusus varietas hasil pemuliaan dalam negeri yang dilakukan oleh perorangan petani kecil, yang mata pencaharian mereka dari hasil pertanian, adalah tidak mungkin atau mustahil akan melakukan sabotase pertanian. Sebab hal ini sama saja melakukan sabotase terhadap kehidupan sendiri. Malah sebaliknya, menurut Alim, perorangan petani kecil pada umumnya justru mewarisi atau memiliki kearifan lokal di sektor pertanian yang dapat ditumbuhkembangkan untuk ikut memajukan sektor pertanian.
Oleh karena itu, menurut MK, Pasal 12 ayat (1) UU Sistem Budidaya Tanaman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri. “Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menjadi menyatakan, ‘Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri’,” ungkap Akil.
Pemohon dalam perkara ini terdiri dari lembaga swadaya masyarakat yang concern dengan nasib para petani, yakni Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Selain itu terdapat pula dua Pemohon perorangan yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani Kunoto dan Karsinah.[SC]