Bina Desa

MIFEE, siapa diuntungkan?

Pada 2010 banyak pihak mengkhawatirkan terjadinya “landgrab” atas tanah dan sumber pangan dan obat masyarakat adat papua (khususnya Suku Malind), juga khwatir akan terjadinya “genosida” kebudayaan bahkan mungkin keturunan (ras). Namun walau ditentang banyak pihak, pemerintah tetap ngotot memulai program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Kini setelah hampir tiga tahun berjalan, dampak yang dikhawatirkan mulai tampak, bahkan kondisinya sangat mengkhwatirkan, sementara tujuan yang diangankan tak satu pun jadi kenyataan. ironis!

Setelah diresmikan tanggal 11 Agustus 2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate– yang diproyeksikan meliputi 1,2 juta hektar lahan untuk memproduksi bahan pangan dan bioenergi itu kini tidak banyak terdengar gaungnya. Padahal capaian yang di gadang-gadang tak main-main; salah satu tujuan MIFEE adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui ekspor produk pangan.

Saat itu untuk mempercepat pelaksanaan program MIFEE diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres No 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang antara lain mengamanatkan penyusunan Grand Design Food and Energy Estate di Merauke. Namun walau telah mendapat penolakam dari warga dan sejumlah LSM nasional ataupun internasional, bahkan telah sampai menyurati PBB agar menghentikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena dianggap mengancam kelangsungan hidup suku Malind—sampai saat ini dari sekitar 46 perusahaan yang berminat berinvestasi, sekitar 11 perusahaan diantaranya kini mulai beraktivitas.

Pertanyaannya pun mencuat, apakah program MIFEE dapat menjamin keadilan dalam alokasi sumber daya alam sesuai dengan semangat konstitusi?

“Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari program ini? Perusahaan jelas berpeluang diuntungkan dalam jangka panjang; sebaliknya masyarakat hukum adat (MHA), terutama suku Malind sebagai pemilik tanah ulayat, mulai merasakan dampak negatifnya.” Ujar Guru Besar Hukum Agraria FH UGM, Maria SW Sumardjono.

Maria SW Sumardjono lebih rinci menyatakan, secara fisik, pada wilayah MHA yang sudah dibuka, hutan adat untuk bahan obat, kayu bakar, kayu perahu dan bangunan, rawa sagu, serta binatang-binatang buruan sebagai sumber kehidupan masyarakat semua ikut (di)lenyap(kan). Hilangnya tempat-tempat keramat sesuai kepercayaan masyarakat dan tanaman-tanaman yang berharga untuk ritual adat jelas merupakan ancaman terhadap kepercayaan, identitas budaya, dan simbol leluhur MHA.

Dampak sosial-ekonomi, masih menurut Maria SW Sumardjono, dari benturan antara ekonomi berbasis pasar dan ekonomi subsisten tampak dalam beberapa hal. Pertama, hilangnya sumber kehidupan MHA, di samping tingkat pendidikan yang rendah dan tiadanya keterampilan mengakibatkan MHA tersingkir dari sektor pertanian berbasis pasar. Kedua, terbatasnya tenaga kerja dari MHA mengharuskan perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar Papua, yang membuat MHA kian tersingkir dari akses terhadap sumber ekonomi. Ketiga, peluang ekonomi yang besar untuk memperoleh jabatan dalam perusahaan ataupun pemerintahan lebih mudah diraih orang luar Papua yang memiliki akses ekonomi dan akses politik.

“Dampak lingkungan beroperasinya perusahaan dapat dilihat dari pencemaran air yang mengakibatkan lenyapnya binatang-binatang air sebagai sumber kehidupan, juga menimbulkan beragam penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan gangguan kesehatan lain. Mencari air bersih mengharuskan jarak tempuh yang sangat jauh, yang berpotensi mengancam keamanan dan kenyamanan hidup MHA.” Jelas Maria.

Investor Dimanjakan

Desain program MIFEE cenderung memihak investor yang butuh kepastian hukum dan kepastian berusaha. Perhatian yang seimbang belum diberikan kepada MHA sebagai pemilik tanah yang diperlukan investor. “Ada sekitar 18 peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum program MIFEE, tetapi tak satu pun dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi MHA.” Terang Maria mengeluhkan.

Selama ini, MHA mengeluh karena dalam negosiasi tak pernah disampaikan informasi komprehensif dan obyektif oleh perusahaan terkait kegiatan dan dampak positif maupun negatifnya. Rencana investasi sama sekali tak melibatkan MHA; negosiasi juga tak melibatkan MHA secara keseluruhan. Aturan main yang harus ditempuh perusahaan terkait sejumlah perizinan juga tak disampaikan ke masyarakat.

“Tidak jarang kesepakatan dihasilkan melalui tekanan, tipu daya, atau bujuk rayu. Penandatanganan ”perjanjian” dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (satu hari), disertai upacara adat; isi perjanjian tidak dipahami MHA, dan salinannya tidak selalu diserahkan kepada MHA.” Kata Maria.

Pelaksanaan MIFEE perlu dievaluasi. Hingga kini, dari enam tujuan MIFEE, belum satu pun menunjukkan arah ke sana, bahkan cenderung berlawanan arah, antara lain terkait kesejahteraan masyarakat Merauke, percepatan pemerataan pembangunan, dan penciptaan lapangan kerja.

“Sebelum peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait hak MHA dibentuk, seyogianya program MIFEE dihentikan sementara waktu. Terhadap perusahaan yang telah beroperasi perlu evaluasi terkait semua perizinan yang telah terbit disertai sanksi tegas terhadap pelanggarannya. Koordinasi, supervisi, dan evaluasi program MIFEE merupakan keniscayaan jika pemanfaatan SDA dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat Merauke.” Tutup Maria dengan nada prihatin. (SC)

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top