![](https://binadesa.org/wp-content/uploads/2025/01/WhatsApp-Image-2025-01-08-at-13.49.19-1024x768.jpeg)
Jakarta, 3 Desember 2024, Hotel Grand Cemara menjadi saksi sebuah diskusi penting yang penuh semangat. Dalam Dialog Nasional Transformasi Sistem Pangan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK), isu-isu besar mengenai masa depan sistem pangan Indonesia dibahas dengan mendalam. Tema utama dialog ini, Sistem Pangan Berbasis Korporasi versus Sistem Pangan Berbasis Pertanian Keluarga, menjadi sorotan. Di tengah diskusi, dua narasumber hadir membawa cerita yang menyentuh hati, menggambarkan tantangan dan harapan yang ada di depan mata.
Salah satu narasumber yang menarik perhatian adalah Bapak Dayat, seorang petani dari Kelompok Petani Pemandu Agroekologi di Kabupaten Pangandaran. Dengan wajah teduh dan penuh semangat, ia berbagi kisah tentang bagaimana pertanian alami dapat menjadi solusi nyata untuk kedaulatan pangan nasional. Namun, di balik optimismenya, terselip keprihatinan mendalam tentang kondisi pangan lokal saat ini.
“Miris sekali melihat kondisi pangan lokal kita,” ujar Bapak Dayat, suaranya bergetar, mencerminkan kekhawatirannya. “Petani kecil seperti kami harus bersaing dengan korporasi pangan yang menguasai pasar. Hanya sebuah sambal pun kini kebanyakan berasal dari pabrik, bukan dari dapur rumah tangga kita sendiri. Padahal, dengan tidak sampai lima ribu rupiah, kita bisa membuat sambal nikmat dari cabai yang tumbuh di pekarangan rumah. Sambal itu tanpa bahan kimia, tanpa pengawet, dan jauh lebih sehat.”
Pernyataannya membuat suasana ruang diskusi hening sejenak. Semua peserta merenungkan betapa besarnya potensi pangan lokal yang seringkali terabaikan karena dominasi produk-produk korporasi. Bapak Dayat melanjutkan dengan kisahnya tentang bagaimana petani keluarga di desanya mengelola tanah mereka secara alami, menghasilkan pangan yang tidak hanya sehat tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan. “Kami tidak membutuhkan pupuk kimia untuk menghasilkan cabai atau sayuran. Semuanya bisa didapatkan dari tanah yang subur, dirawat dengan cara alami. Namun, pasar lebih memilih produk pabrik yang bisa bertahan berbulan-bulan di rak, daripada hasil segar yang langsung dari ladang.”
Di sisi lain, cerita dari kalangan nelayan pun tak kalah menyentuh hati. Seorang narasumber dari komunitas nelayan menceritakan bagaimana tantangan besar mereka menghadang setiap hari. “Nelayan kecil seperti kami hanya menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan, tetapi hasil tangkapan kami tidak bisa bersaing dengan mereka yang menggunakan alat tangkap modern yang merusak laut. Kami mencintai laut, tetapi bagaimana kami bisa bertahan jika kebijakan tidak berpihak pada kami?” katanya dengan nada penuh keprihatinan.
Ia juga mengungkapkan fakta memilukan tentang harga ikan yang sangat rendah, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. “Saat ini, ikan hasil tangkapan kami hanya dihargai Rp 2000 per kilogram. Bayangkan, berapa banyak ikan yang harus kami tangkap hanya untuk membeli sekilo beras? Ini sungguh menyedihkan,” lanjutnya. Tidak hanya itu, ia juga membahas dampak pencemaran laut yang semakin meresahkan, mulai dari limbah batu bara hingga kebocoran minyak yang mengancam keberlanjutan ekosistem laut.
Kisah Bapak Dayat dan nelayan ini menjadi pengingat penting bahwa kedaulatan pangan tidak hanya bergantung pada keberhasilan teknologi modern atau korporasi besar. Sebaliknya, kekuatan sebenarnya ada pada petani dan nelayan kecil yang terus berjuang dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dialog ini tidak hanya menjadi ruang berbagi cerita, tetapi juga titik awal untuk mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada mereka yang berada di garis depan sistem pangan kita. Dengan mendukung pertanian keluarga dan melindungi nelayan kecil, kita tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga menjaga kesehatan generasi mendatang serta kelestarian lingkungan. Seperti yang disampaikan Bapak Dayat, “Masa depan pangan kita ada di tangan petani dan nelayan. Mari kita dukung mereka, bukan hanya dengan kebijakan yang adil, tetapi juga dengan mengubah cara kita memandang dan memilih makanan di meja makan kita.”
Penulis: Dona. R