Undang-undang Nomer 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, selanjutnya disebut UU SBPB, merupakan pengganti dari Undang-undang No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang sering disebut pula sebagai undang-undang benih. Selain UU ini juga terdapat UU Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang juga terkait benih. Meskipun UU SBT sudah lama ada tapi secara faktual masyarakat baru “menyadari” adanya UU ini adalah setelah tahun 2004 ketika terjadi kasus benih jagung di Kediri yang menyeret petani ke ranah hukum hingga akhirnya dipenjara terkait aduan yang dilakukan oleh perusahaan benih. Mulai dari kasus tersebut perhatian masyarakat sipil/organisasi petani tertuju kepada UU SBT.
Pada tahun 2010 dilakukan gugatan atas empat pasal dalam UU SBT di Mahkamah Konstitusi (MK). Diantara pasal yang digugat ketika itu adalah pasal 9 tentang larangan mengumpulkan benih. Saat itu MK memutuskan tentang mekanisme perizinan untuk pengumpulan benih dikecualikan bagi petani kecil. Demikian juga pasal 12 yang mengatur tentang penjualan atau penyebaran benih yang belum disertifikasi atau dilabel. Putusan MK atas Pasal ini juga dikecualikan bagi petani kecil.
Diundangkannya UU SBPB yang menggantikan UU SBT tersebut menuai penolakan keras dari berbagai kalangan diantaranya jaringan organisasi petani dan gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak pasal kontroversial yang muncul di dalamnya. UU SBPB mengandung banyak pasal abu-abu yang cenderung lebih mengakomodir kepentingan korporasi/pelaku usaha skala besar dan menempatkan petani kecil pada posisi yang dilemahkan, bahkan berpotensi menjadi objek kriminalisasi. Termasuk di dalamnya adalah dimuatnya kembali pasal yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK sebagaimana di atas. Dalam Pasal 29 Ayat (3) UU SBPB menyebutkan bahwa “Varietas hasil Pemuliaan Petani kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (21 hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota”. Pasal ini senyatanya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 99/PUU-X/2012 yang dengan tegas telah membatalkan pasal dalam UU SBT dengan substansi tersebut. Dengan demikian apa yang diatur kembali dalam UU SBPB ini memunggungi semangat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hingga dapat berdampak pada pengebirian hak-hak petani untuk melakukan inovasi dalam aktivitas pertaniannya.
Selain itu dalam UU SBPB juga menyebut peran penyuluhan pertanian hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha. Sementara, kelompok tani dan atau organisasi masyarakat sipil yang konsern terhadap isu pertanian ditutup ruangnya untuk melakukan penyuluhan atau aktifitas lain yang dapat ditafsirkan sebagai kegiatan penyuluhan pertanian. Perlu diketahui, sudah bmenjadi rahasia umum bahwa dalam praktiknya pelaku usaha bukan melakukan penyuluhan pertanian melainkan melakukan promosi terhadap produk-produk input pertaniannya. Sehingga, penyuluhan pertanian yang dilakukan pelaku usaha hanya akan membuat petani semakin mengalami ketergantungan atas produk-produk input pertanian dari pabrik atau perusahaan.
Undang-undang ini juga rentan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi petani. Dalam Pasal 27 tentang adanya kewajiban bagi petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan Sumber Daya Genetik, diharuskan melapor kepada Pemerintah Daerah untuk selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah Pusat. Bila kemudian diketahui petani tidak melakukan hal tersebut, maka akan dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan pasal ini para petani yang menyimpan ragam benih dan tinggal di daerah-daerah terpencil serta sulit untuk melakukan pelaporan atas semua atau sebagian benih yang dimilikinya akan terancam.
Dengan latar belakang tersebut di atas, Bina Desa bersama jaringan organisasi masyarakat sipil dan organisasi petani berencana menyelenggarakan diskusi publik secara daring. Acara tersebut sedianya akan diselenggarakan setiap minggu selama bulan Juli dan Agustus 2020. Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai tindak lanjut dari kajian kritis atas UU SBPB yang pernah diselenggarakan di Bina Desa pada bulan maret lalu. Selain itu, seri diskusi ini sekaligus berfungsi untuk membedah dan mengelaborasi rancangan buku “Menanam di Ladang Ranjau” yang direncanakan akan segera diterbitkan.(ldj)