Hari masih gelap saat saya tiba di bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan. Ini sebenarnya bukan kali pertama saya berkunjung. Tapi perjalanan ini menjadi istimewa karena untuk pertama kalinya, saya melakukan penelitian dalam masa profesional, bukan di Kota Makkassar tapi di Desa Rappoa. Desa dengan 2 topografi unik di Kabupaten Bantaeng. Bayangkan saja, dalam 1 desa, kita akan melihat nelayan yang sibuk mencari ikan atau nelayan yang sibuk dengan budidaya rumput laut sementara di sisi lain, hamparan sawah penuh padi terbentang bertingkat-tingkat dan semua hanya dipisahkan oleh satu jalan poros penghubung Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan. Baru setelah menempuh perjalanan darat selama 5 jam, anak-anak muda itu, yang jumlahnya sekitar 15 orang menyambut saya dari mobil.
“Lama juga dji perjalanannya mbak.” Sapa Wahyu, ayah 1 anak yang usianya masih 32 tahun.
Wahyu sarjana Ekonomi di salah satu universitas di kota Makassar, sejak lulus 7 tahun lalu ia kembali pulang ke Bantaeng. “Cari pekerjaan susah sekali mbak. Kata almarhum ibu saat itu, Pulang mi sudah,” ceritanya saat pertemuan pertama kami tahun 2020 lalu.
Wahyu dan 14 orang anak muda lain dihadapan saya ini mayoritas lulus kuliah, tapi tak ada yang kerja di kantor. Kantor mereka di sawah dari jam 6 pagi sampai jam 1 siang. Lepas itu mereka semua berkantor di balai belajar Serikat Petani Alami (SPA) Butta Toa, biasanya hingga jam 4 atau 5 sore. Sebagian ada yang masih lanjut menjadi guru untuk anak-anak kecil, membaca al-quran, membaca dan berhitung, hingga bahasa inggris. Apa saja demi membeli lauk bagi mereka yang sudah menikah.
Dimulai sejak pandemi 2020 lalu, lebih tepatnya sejak 3 tahun lalu, produksi panen padi mereka perlahan menurun. Padahal mereka berpraktek Pertanian Alami sudah 7 tahun berjalan. Wahyu bilang, dari produksi sawah yang luasnya 5 hektar biasanya ia panen 15 ton padi per sekali musim tanam lalu turun jadi 9 ton dalam jangka 3 tahun. Tahun lalu, Wahyu cuma bisa panen 6 ton pada November 2021.
Penurunan yang dialami Wahyu sebetulnya juga dialami banyak petani lain di Bantaeng, bahkan mungkin Sulawesi Selatan dan juga Indonesia. Pada temuan data kerentanan yang lebih dulu dikerjakan saya dan Tim Pendamping Peneliti pada proyek Riset Aksi Partisipatoris Ketahanan Iklim Melalui Pertanian Alami di 4 Kabupaten, termasuk Bantaeng, dapat disimpulkan bahwa bencana hidrometerologi mengalami peningkatan akibat bertambahnya frekuensi curah hujan, naiknya suhu kelembapan, dan lain sebagainya.
Bantaeng misalnya, yang sudah sejak 2021 secara konsisten mengalami musim kemarau basah dengan curah hujan sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Bagi Wahyu dan petani lainnya tentu sangat menyulitkan karena berdampak kepada kelembapan tanah yang tinggi hingga mengakibatkan pertumbuhan serangga semakin meningkat sementara predator alami seperti burung perlahan hilang karena habitatnya dialihkan menjadi rumah manusia. Ini satu masalah saja, ada lagi persoalan tentang tanaman padi yang terlalu basah dan mengganggu pertumbuhannya. Misalnya seperti Padi dengan bulir kosong, kerdil, hingga terancam gagal panen.
Temuan masalah dari A hingga Z ini menjadi alasan untuk berkumpul setiap minggu pagi selama 6 bulan: turun ke sawah, melakukan pengamatan terhadap 45 sampel tanaman padi di lahan penelitian, dan mendokumentasikan seluruh temuan pada laporan. Sebagai objek penelitian kami menggunakan 3 lahan pertanian yang dibedakan melalui 3 perlakuan. Lahan pertama dengan perlakukan pertanian konvesional dimana semua input pertanian menggunakan input-input kimia. Lahan kedua adalah lahan dengan perlakuan pertanian alami dimana semua input pertanian menggunakan input-input alami dan dibuat sendiri dari bahan-bahan alam yang tumbuh dan mudah ditemukan disekitar kita. Lalu yang terakhir, yang juga lahan ketiga, adalah lahan dengan perlakuan pertanian tanpa perlakuan dimana sesuai dengan namanya, lahan ini tak diberi input apa-apa. Kami hanya menanam dan mengairi, selebihnya kami menyerahkannya pada alam.
Lalu mengapa pada proyek penelitian ini hanya Pertanian Alami yang muncul pada judul penelitian?
Sedikit cerita, di tahun 2016, kelompok anak-anak muda ini memulainya dengan 1 atau 2 anak muda di desa dengan pandangan yang sama akan masalah pertanian yang muncul di desa. Petani selalu miskin. Melalui penelusuran ditemukan pola terstruktur yang meletakkan petani berada pada rantai kemiskinan, yaitu semua yang dibutuhkan untuk bertani harus didapatkan dengan cara membeli. Sementara ada banyak bahan yang tersedia di alam dengan fungsi serupa. Pupuk misalnya, bisa dibuat sendiri dengan feses ternak atau pelepah pisang yang biasanya hanya akan berakhir di tempat sampah. Perkenalan ideologi ini yang memantapkan anak muda Bantaeng untuk menekuni lebih jauh tentang praktek Pertanian Alami. Hingga lambat laun menarik lebih banyak anak muda untuk bergabung termasuk Wahyu yang resmi jadi anggota SPA Butta Toa pada tahun 2017. Kini, SPA Butta Toa telah berhasil menjangkau 11 desa dengan anggota sekitar 90 orang, termasuk Wahyu dan 14 anak muda yang melakukan penelitian pagi ini.
“Bertani alami sama juga artinya dengang (dengan, red.) kami ikut memperpanjang usia bumi dan mengurangi dampak krisis iklim yang mempengaruhi sumber penghidupang (penghidupan, red.) kami mbak.” ujar Wahyu mantap.
Melalui penelitian ini, Wahyu, 14 anak muda Bantaeng, dan 3 tim peneliti muda asal Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Klaten, mampu mengidentifikasi langkah-langkah konkrit adaptasi pada sektor pertanian untuk mengurangi dampak perubahan iklim di lahan-lahan pertanian mereka. Misalnya penambahan nutrisi gula merah, pisang, dan sampah buah juga sayur pada fase pertumbuhan tanaman atau penggunaan nutrisi jahe dan batang sereh untuk fase peralihan. Dengan tidak meninggalkan pendekatan kearifan lokal di daerah masing-masing. SPA Butta Toa di Desa Rappoa misalnya, melestarikan warisan menyiram dengan air laut dengan kadar garam 30 dS/m yang terbukti berpengaruh nyata terhadap populasi bakteri dan produksi enzim PME-ase.
Tak berhenti pada kerja penelitian, Wahyu, 14 anak muda dan anggota SPA Butta Toa secara aktif terlibat dalam gerakan kolektif anak muda untuk mengurangi dampak krisis iklim melalui kolaborasi dengan pemerintah desa dan kabupaten untuk memasifkan gerakan Pertanian Alami termasuk penyebarluasan informasi penerapan gaya hidup ramah lingkungan dan gerakan menanam komoditas tanaman kelor untuk mitigasi bencana hidrometrologi kekeringan.
Wahyu tidak berharap ketenaran atas namanya karena terlibat dalam penelitian ini, Ia hanya berharap ada banyak anak muda baik di kota ataupun di desa yang tertular dan berinisiatif melaksanakan aksi yang serupa.
“Kalau kamu anak desa yang pergi ke kota hanya untuk mencari sesuap nasi, di desa kamu bisa menyelam di tumpukang (tumpukan, red.) gabah. Pergi ke kota boleh saja untuk sekolah, lalu pulang. Karena desa tak lagi jadi rumah jika anak muda tak pulang menjaga rumahnya.”
Melalui Wahyu dan seluruh pihak termasuk petani muda yang terlibat dalam penelitian ini saya menyadari bahwa krisis iklim tidak hanya merupakan bencana besar. Tetapi juga menuntut kebijakan yang mempertimbangkan dengan cermat kebutuhan manusia dan perlindungan lingkungan. Kerena satu aksi nyata menyumbang langkah kongkrit kita semua menuju perubahan. [/RF]