Sudah banyak kasus yang membuktikan bahwa penyebab perpindahan tangan lahan sawah atau kebun disebabkan oleh karena petani terjerat dalam utang produksi.
Berdasarkan catatan Bina Desa, Sebagaimana dikatakan Kepala Bidang Pertanian Alami Bina Desa, Lily Noviani Batara, pertambahan biaya produksi secara signifikan meningkat hampir 100 % sejak tahun 2006 – 2011, dimana sebagian besar peningkatan terjadi pada pembelian benih, pupuk dan pestisida yang tidak diimbangi dengan peningkatan hasil jual.
“Akibatnya, petani kemudian menjual tanahnya ke petani kaya atau orang kota karena hasil pertanian mereka tidak lagi bisa mencukupi kebutuhan hidup. Proses ini telah menaikkan angka petani yang tidak memiliki tanah. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian (2005) menyebutkan bahwa secara nasional, petani dengan lahan garapan di bawah 0,5 ha (petani gurem) meningkat dari 10,8 juta Rumah Tangga Tani pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada 2003, dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4% per tahun.” Jelas Lily.
Sementara itu tingginya pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur demi menunjang pertumbuhan ekonomi menyebabkan beralih fungsinya lahan sawah menjadi perumahan, perkantoran, industry, jalan dan lain-lain juga telah menjadi penyebab petani kehilangan tanahnya. Dalam kurun waktu tiga tahun (1999-2002) luas sawah di Indonesia telah berkurang menjadi 563.200 ha, yaitu di Pulau Jawa seluas 167.200 ha dan di luar Pulau Jawa seluas 396.000 ha. Penambahan luas sawah dalam kurun waktu yang sama hanya 18.000 ha di Pulau Jawa dan 121.300 ha di luar Jawa. Diperkirakan alih fungsi lahan ini 110.000/tahun. Jika pada tahun 2002, luas bahan baku seluas 7.748.840, maka tahun 2011 lahan baku tinggal 6.758.840 ha (BPS, 2003). Jika lahan terus berkurang dan penduduk naik 1,4 % per tahun, maka tahun 2020 Indonesia akan kekurangan pangan.
Disamping itu, dalam sejarahnya, melalui Revolusi Hijau, pertanian tidak dilihat lagi sebagai kegiatan menuju pada pemeliharaan alam untuk menyediakan pangan bagi manusia, namun pertanian menjadi kegiatan yang tujuan utamanya menyediakan produksi komoditas pertanian untuk laba.
“Dalam fonemana seperti itu lah telah terjadi perubahan cara pandang dari pertanian sebagai kebudayaan (agriculture), dimana orang bekerja membangun eksistensi hidup dan identitasnya dengan melakukan kerja tani menjadi pertanian sebagai usaha dagang tani (agribusiness), dimana orang mencari untung rugi materi dari pertanian. Perubahan sifat dan cara pandang ini tidak lagi melihat alam, perempuan dan petani kecil adalah produsen pangan.” Ujar Pakar Pertanian Alami Bina Desa, Lily Noviani Batara.
Selain itu Lily juga menyebutkan bawha krisis ekonomi global membawa dampak pada mahalnya input (asupan) pertanian. Petani yang sudah tergantung pada input kimia tetap membelinya meski mahal. “Padahal penggunaan input kimia mempengaruhi penurunan kesuburan lahan.” Paparnya.
Pertanian alami sebagai alternative?
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan beberapa hal pokok perlu dilakukan antara lain; (1) menata ulang sumber-sumber pangan (tanah dan air) melalui reforma agraria yang adil bagi perempuan dan laki-laki agar terjadi redistribusi faktor produksi; (2) penguatan organisasi tani, perempuan dan nelayan; (3) mengembangkan cara produksi melalui pertanian alami yang memastikan perempuan terlibat secara aktif; (3) mengatur tata niaga melalui perdagangan yang melindungi pasar lokal/dalam negeri dan memberi keuntungan paling besar pada produsen kecil bukan pedagang serta mendukung penguatan sistem cadangan pangan lokal dan; (4) mendorong konsumsi aneka pangan local.
Lily mengatakan bahwa pertanian alami diluar tujuan utamanya sebagai mekanisme perlawanan kebudayaan atas mekanisme kontrol dan hegemoni globaliasai dan korporatisme pangan dan pertanian yang meminggirkan petani khususnya petani perempuan, pertanian alami dapat menjadi pilihan utama dalam situasi semacam itu, di samping, keinginan untuk menjaga kesehatan konsumen-produsen serta kelestarian lingkungan. Karena, pertanian alami sebenarnya adalah sebuah konsep pertanian yang bertumpu pada alam sekitar tanpa ada tambahan dari luar (baik dalam bentuk pupuk maupun pestisida).
“Pertanian alami memanfaatkan kekuatan dan kemampuan alam dalam meningkatkan kesuburan ketimbang menggunakan campur tangan manusia, menghormati hukum alam, serta menghargai hak tumbuhan dan ternak sebagai makhluk hidup.” terang Lily.
Pertanian alami dapat diartikan sebagai suatu sistem pertanian yang holistik atau terpadu sehingga menghasilkan dan mengoptimalkan kesehatan dan produktifitas agroekosistem secara alami, yang pada gilirannya mampu menghasilkan pangan dan serat yang berkualitas dan berkelanjutan. Konsep ini dicirikan antara lain dengan menghindari benih hasil rekayasa genetik, menghindari pestisida sintetis (kimia), penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis untuk pakan ternak.
Sayangnya, masih menurut Lily, praktik pertanian alami ini baru dipahami sebatas pada penggantian pupuk anorganik menjadi organik termasuk pestisidanya, dan keberhasilan kegiatan pertanian baru diukur pada tingkat produksi. Padahal realisasi yang paling sulit diterapkan dari konsep tersebut adalah bukan sekedar pemenuhan target jangka pendek, tetapi lebih jauh adalah bagaimana petani memahami dan menyadari pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang residunya bisa membahayakan dirinya, keluarga, dan konsumen, bahkan lingkungan.
“Petani diharapkan memahami bagaimana ekosistem alami bisa dilestarikan dengan cara menjaga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertaniannya, karena apa yang dihadapi petani adalah jasad hidup dan punya kehidupan tersendiri, baik tanaman/tumbuhan, hewan maupun jasad renik lain seperti mikroorganisme, jamur, dan sebagainya yang hidup bersimbiosis (saling membutuhkan dan menguntungkan). Selain itu, ada peran unsur-unsur alam seperti matahari, udara, air turut berkontribusi dalam menciptakan keseimbangan alam.” Papar Lily.
Apakah Revolusi Hijau sudah berakhir dominasinya?
“Tidak!” demikian jawaban tegas Lily Novinai Batara. Kenapa? Menurutnya, Revolusi Hijau kemudian berubah wujud dalam bentuk rekayasa genetik atau program pertanian yang banyak menggunakan input teknologi modern dan tidak bisa dibuat sendiri oleh petani. Perkembangan terbaru dalam pertanian adalah bioteknologi lewat rekayasa genetika yang menghasilkan tanaman transgenic. Ini disebut sebagai revolusi hijau babak kedua. Kini, tanaman tinggal diambil gennya untuk disisipi dengan gen-gen lain lewat proses rekayasa genetika gen untuk dapat menghasilkan padi, jagung atau jenis tanaman lain serta ternak dan ikan dengan kualitas atau bentuk yang diinginkan. Rekayasa genetika tidak saja menyisipi satu tanaman dengan tanaman lain, tetapi menyisipinya dengan gen – gen bakteri atau mikroba atau hewan bahkan gen manusia. Ini yang disebut sebagai organisme hasil rekayasa genetika atau GMO (genetically modified organism). Saat ini, 50 % tanaman kedelai hasil rekayasa genetika oleh Mosanto, sebuah perusahaan agribisnis raksasa telah dikonsumsi oleh binatang dan manusia 10 tahun belakangan ini. Bahkan, hampir 65 % tempe yang menjadi makanan favorite mayoritas penduduk Indonesia dibuat dari kedelai transgenic. Benih padi golden rice yaitu benih padi yang sudah disisipi dengan kandungan sayuran vitamin A sudah beredar di kalangan petani. Artinya apa, selain berdampak pada lingkungan dan benihnya tidak bisa diproduksi oleh petani, benih golden rice ini juga akan mematikan petani sayuran karena dengan mengkonsumsi nasi dari golden rice orang sudah tidak perlu makan sayur yang mengandung vitamin A.
Masih menurut Lily Noviani, arti lain dari rekayasa genetic yang lebih penting adalah Monopoli Teknologi. Dengan menguasai gen rekayasa genetika tersebut, maka seluruh petani terpaksa harus membeli benih dari perusahaan tersebut. Mosanto dan Du Pont adalah dua perusahaan raksasa yang sudah menguasai 75 % peredaran benih jagung, padi dan kedelai GMO di dunia. Keduanya mengembangkan teknologi terminator, yaitu rantai genetic yang menjamin bahan benih dari tanaman yang ditanam tidak akan tumbuh, menjadi steril dan tidak bisa diperanakkan.
Dengan proses seperti ini, maka pertanian yang semula sangat cultural, lokalistik berubah menjadi pertanian yang mengglobal, mendunia yang sepenuhnya perubahan ini lebih menguntungkan pemain-pemain besar terutama korporasi/perusahaan trans-nasional raksasa (TNC). Proses pembesaran TNC ini diiringi oleh proses peminggiran (marjinalisasi) atas petani kecil, baik di negara maju sendiri apalagi dinegara berkembang dan miskin.
“Akumulasi modal pertanian pada skala dunia dan difasilitasi oleh berbagai kebijakan peraturan multilateral dan mekanisme keuangan global. Pertanian kini ada pada tahap akumulasi skala global dan inilah yang dinamakan Globalisasi Pertanian.” Terang Lily.* (SC)