Janji merevitalisasi sektor pertanian sampai janji melakukan reforma agrarian di awal kampanye, Rezim kali ini rupanya hanya menebar janji. Sampai akhir 2011, bukan janji yang ditepati tapi badai import yang merundung rakyat tani. Tidak hanya berakibat pada tingginya harga pangan, produsen pangan local yang sudah kewalahan dengan hidup sehari hari makin dibuat lumpuh oleh ketidakmampuannya untuk bersaing dalam dunia pasar global-regional yang difasilitasi sendiri oleh pemerintah tanpa berpikir melindungi hak-hak asasi petani.
Dalam 9 Bulan, Impor Kentang Melonjak Hampir Tiga Kali Lipat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga September 2011 total impor kentang mencapai 70,11 ribu ton dengan total nilai US$ 43,56 juta. Padahal impor kentang sepanjang tahun lalu hanya mencapai US$ 17 juta dengan volume 26.929 ton.
Data BPS juga menyebutkan kentang impor didominasi dari China dengan jumlah kentang yang masuk ke tanah air sebanyak 28,33 ribu ton dengan nilai US$ 15,83 juta. Untuk bulan September saja, jumlah kentang yang masuk dari negeri Tirai Bambu itu sebanyak 13,86 ribu ton dengan nilai US$ 7,76 juta. Sementara kentang dari Australia menduduki peringkat kedua dengan total sebanyak 10,6 ribu ton kentang yang telah masuk hingga September dengan nilai US$ 8,1 juta. Hanya saja, pada September 2011 ini, tidak ada impor kentang dari negeri Kangguru tersebut. Begitu pun dengan Kanada tidak dilakukan pemasukan kentang impor. Meskipun secara total, impor kentang dari Kanada sebesar 7,92 ribu ton dengan nilai US$ 5,04 juta.
Pada bulan September, impor kentang asal Amerika Serikat sebanyak 456 ton dengan nilai US$ 545,3 ribu sehingga total hingga September sebanyak 3,6 ribu ton dengan nilai US$ 4,1 juta. Untuk Bangladesh sebanyak 520 ton dengan nilai US$ 194 ribu pada bulan September, sehingga sampai September kentang impor yang masuk dari negara ini sebanyak 8,6 ribu ton dengan nilai US$ 3,35 juta. Dengan tambahan impor kentang dari negara lain sebesar 11 ribu ton senilai US$ 7,14 juta maka total impor kentang hingga akhir September mencapai 70,11 ribu ton dengan nilai US$ 43,56 juta.
Harga Kentang Lokal Anjlok
Tak ayal lagi, tingginya volume import kentang China dan Bangladesh seketika membuat harga kentang di dalam negeri semakin anjlok. Harga kentang di tingkat petani merosot hingga kisaran Rp 4.000 per kilogram sejak awal September 2011.
Menurut pedagang kecil di Jawa Tengah, satu truk kentang lokal yang biasanya habis terjual dalam 2-3 hari, kini baru habis hingga tujuh hari. Hal ini menyebabkan susut dan busuk meningkat. Petani banyak yang menunda panen hingga ada perbaikan harga, dengan resiko diserang hama sehingga kualitas memburuk.
“Kalau pemerintah terus memperbolehkan impor kentang, harga kentang lokal akan terus merosot, dan petani akan mengalami kerugian yang amat besar,” kata Mudasir seorang petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng.
“Belum lagi kami harus berhutang untuk membayar bibit, pupuk dan pesitisida. Setidaknya untuk satu hektar lahan kentang, membutuhkan biaya 54 juta rupiah. Biaya tertinggi untuk membeli benih G 4 dimana per hektar diperlukan 1,5 ton dengan harga Rp. 12.500/kg setara dengan sekitar sembilan belas juta rupiah, kemudian sewa lahan lima juta rupiah per musim tanam, pestisida dan pupuk mencapai sepuluh juta rupiah,” jelas Mudasir
“Sementara harga kentang terus merosot. Kami petani Dataran Tinggi Dieng biasanya bisa menjual Rp. 6.000/kg. Sekarang harga jual ditingkat petani hanya sekitar Rp. 4000/kg, sementara kentang impor dipasaran dijual hanya Rp. 2.500/kg, tidak bisa menutupi biaya produksi” ujar Mudasir.
Apa yang terjadi? Menurut Achmad Yakub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) pasca diberlakukannya Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) 1 Januari 2010, lebih dari 6600 komoditi dari China akan masuk ke Indonesia tanpa dikenai tarif masuk sama sekali (0 persen).
Komoditi yang masuk dalam kategori nol persen tersebut diatur dalam skema Early Harvest Program (EHP) meliputi hewan hidup, daging konsumsi, ikan, susu, buah-buahan dan sayuran yang dikonsumsi kecuali jagung manis. Setidaknya terdapat 530 pos tarif lainnya yang resmi diberlakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan RI No. 355/KMK.01/2004 21 Juli 2004 tentang penetepatan tariff bea masuk dalam skema EHP.
Lebih jauh lagi, menurut Yakub akibat langsungnya dari skema tersebut untuk produksi kentang adalah volume impor kentang dari China terus meningkat sementara Volume ekpsort Indonesia terus menurun. Padahal tahun 2006, volume ekspor kentang Indonesia mampu melampaui volume impor kentang sebesar 54.868 ton, namun kemudian volume dan ekspor kentang Indonesia terus menurun.
Saat ini hanya produk pangan yang strategis seperti beras, kedelai dan jagung manis yang masih memiliki aturan impor yang cukup ketat, itupun selalu impor dengan berbagai alasan. Walau sempat dibuka hingga nol persen selama beberapa bulan di awal 2011, pemerintah kembali mengembalikan tariff beras menjadi Rp 450 per kg per 1 April 2011.
Sayangnya tambah Yakub, hal ini tidak berlaku bagi komoditas pangan dan pertanian lainnya. Lebih lanjut juga tidak ada standar harga jual dalam negeri, yang menyebabkan produk impor ini bisa dijual jauh dibawah biaya produksi dalam negeri.
“Pemerintah harus segera menghentikan impor kentang karena mengancam kehidupan puluhan ribu petani. Untuk dataran tinggi Dieng saja ada 72.000 KK dan 150.000 buruh tani, dengan luasan per tahun 15.000 ha yang menggantungkan hidupnya dari menanam kentang. Belum lagi ditambah petani-petani kentang di seluruh Indonesia,” tegas Yakub
Janji yang Tinggal Janji
Ditengah serbuan barang pangan import yang makin memiskikkan kondisi hidup produsen pangan local, pemerintah tampaknya hanya duduk manis dan tak menggap tingginya import bahan makanan sebagai masalah serius bagi bangsa dan khususnya produsen pangan local. Selama dua tahun memimpin, tidak ada langkah maju yang dibuat SBY-Boediono untuk merevitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Belum usai menguarai benang kusut tingginya ketergantungan pada kentang import, perum Bulog telah menyepakati impor beras sebanyak 250.000 ton dengan penyuplai beras di India.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama Januari-Juni 2011, beberapa impor pangan yang tercatat antaralain beras, jagung, kedelai, biji gandum dan Meslin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao,cabe kering, tembakau dengan total volume 11,33 juta ton dengan nilai US$ 5,36 miliar (kurang lebih Rp 45 triliun).
BPS juga mencatat bahwa Indonesia juga mengimpor bawang merah. Impor bawang merah terbesar dari negara India dengan nilai US$ 3,575 juta untuk 8,87 ribu ton, kemudian Thailand dengan nilai US$ 3,187 juta untuk 5,961 ribu ton, dan Filipina sebesar 2,996 ribu ton dengan nilai US$ 1,4 juta.
Total sepanjang Juni 2011, tercatat impor bawang merah sebanyak 18,918 ribu ton dengan nilai US$ 8,76 juta. Sementara impor bawang merah selama semester I tahun 2011 mencapai 141,795 ribu ton dengan nilai US$ 67,611 juta.***