Bina Desa

Menanam Dalam Ketidakpastian: Cerita Pertanian Alami dari Sulawesi

Cerita Pertanian Alami dari Sulawesi

Mereka adalah orang-orang yang bersemangat merawat alam di desanya, menghidupi dan hidup harmonis dengan apa yang bisa diberikan oleh tanah di mana mereka tumbuh. Di Salassae dan desa-desa sekitarnya di Kabupaten Bulukumpa, tua dan muda laki-laki dan perempuan bergandeng tangan mengupayakan kehidupan sosial yang tidak bergantung– terutama melalui kemandirian sektor pertanian dan pangan.

Mereka tidak di dampingi pemerintah, tidak ada bantuan dan mungkin tidak mengharapkan. Dari mulai pertanian alami, peternakan, lembaga keungan mikro dan pasar produk tani, dalam ikatan solidaritas dalam musyawarah mandiri dalam menghadapi tantangan hidup, mereka terus berjalan mewujudkan eksistensi kemandirian petani dan desa yang mereka cintai. Dengan bekal pendidikan dan musyawarah pertanian dengan Yayasan Bina Desa, mereka terus bekerja dalam solidaritas bersama mewujudkan impian kemandirian.

Pak Marjuki (68) sudah praktek pertanian alami 1,5 hektar. Tidak sebatas luasan lahan pertanian alami yang luas itu itu saja yang membuat senang, tapi juga apa yang dibuat di kebunnya; ia menggali 8 kali 3 meter bidang tanah selama 9 bulan untuk bikin kolam ikannya. Sementara untuk pupuk, ia juga buat kandang sapinya lebih besar dari sebelumnya; dengan kandang yang jauh lebih baik.

“Biasanya orang urus sapinya, ini urus kandangnya. Kenapa? Karena kotaran sapinya. Semua boleh tapi jangan kotaran sapinya, itu yang mau dibikin pupuk alami ditabur di kebun.”  Ungkap warga menceritakan Pak Marjuki yang hari itu tak bisa ditemui.

Hari itu saya dan teman dari Bina Desa tidak sempat menemuinya, tapi dari penuturan warga lain dan melihat lahan di kebunnya, saya jadi tahu cerita; Pak Marjuki dulu pernah punya pengalaman pahit dengan pertanian kimia konvensional, kebun cengkehnya habis akibat pupuk kimia. Mula-mula panen besar, dia dan teman-temannya beli mobil dan perabot rumah tangga lain. Tapi lalu mati semua cengkeh karena keracunan pupuk dan obat-obatan tanaman kimiawi.

“Awalnya produktif dan intens, tapi sadarlah kemudian tanah memakan terlalu banyak racun sampai ia tak akan menghasilkan apa-apa lagi.”

Lain Marjuki lain Nasir (34), pengalaman praktek Pertanian Alami (PA) di lahan seluas 20 arit atau sekitar seperempat hektar, menuturkan. “pertama panen hasil 5 karung, kemudian 7 karung, 9, 11, sampai akhirnya bisa 13 karung. Itu dengan bibit 30 liter benih kongga. Sementara hasil panen cukup di jemur 3jam selama 3 hari, jadi 9 jam saja dan hasilnya sangat maksimal.” Ungkapnya bersemangat. Itulah kelebihan pertanian alami yang sejauh ini tak banyak disadari. Atau karena alasan teknis, petani yang telah biasa dengan hal praktis alias tinggal beli di pasar, kian malas mengurus keberlanjutan pertanian dengan cara alami.

Jika ada kendala, pengalaman Nasir sejauh ini, kendala karena banjir dan soal kompos. “Yang terakhir turun panen karena tak kita kasih bokasi atau kompos.” Masalahnya muncul karena di sini sangat tergantung dengan mesin traktor, “jadi kadang belum kita kasih kompos sudah di traktor, padahal mestinya tanah di kasih kompos dulu baru di bajak.” Terangnya dengan semangat.

Tapi sebenarnya, tantangan juga datang dari hal non teknis pertanian, pengalaman saya, pertentangan datang malah dari bapak saya sendiri, ”Saya pernah sampai bertengkar, ketika bapak saya kerena tidak percaya dengan hasil panen pertanian alami, dia mau beli pupuk urea: saya bilang saya mau beli tiket “tinggalkan kampung”. Kisahnya. Tapi sekarang sudah mulai baik.

Menanam Dalam Ketidakpastian

Obrolan santai di rumah anggota kelompok Swabina Pedesaan Bina Desa di Salassae Sulawesi terpotong sejenak karena acara pertemuan warga komunitas dampingan Bina Desa pagi itu akan dimulai. Agenda pertemuan tersebut adalah pertemuan bulanan untuk kordinasi dan refleksi tim KSP (Komunitas Swabina Pedesaan, Bina Desa).

Pertemuan itu direncanakan akan membahas tantangan dan masalah-masalah di desa-desa yang di dampingi Bina Desa dan berupaya menemukan solusinya dengan jalan musyawarah bersama untuk bisa saling bahu-membahu memberi kontribusi ide, gagasan, atau pengetahuan teknis yang dibutuhkan untuk tantangan di tiap-tiap desa.

Selain kader dan anggota tim CO/FO Bina Desa, Datang beberpa tokoh diantaranya ketua Gerakan Tani Kajang (Gertak). Saya tak tahu banyak karena dia menggunakan bahasa Konjo Kajang. Tapi dalam ramah tamah sebelum acara kordinasi KSP dimulai, dia bicara dan berusaha menyampaikan dengan tegas bahwa dia sedang berjuang atas perampasan tanah oleh perusahaan karet PT. London Sumatra yang seringkali disebut masyarakat sekitar perkebunan dengan “londsum”. Perusahaan di bantu oleh pemerintah desa, camat Kajang sampai polisi dan kodim. Tapi rakyat dibiarkan sendirian melihat tanah adatnya, tradisi leluhurnya di ambil oleh perusahaan karet. Sejak 1983 putusan hasil sidang 18 kali di peradilan tak kunjung memberikan keberpihakan pada kepemilikan lahan untuk rakyat. Pernah ada keputusan memenangkan rakyat, tapi hanya seminggu putusan di batalkan oleh putusan banding.

“Kami tempuh jalur advokasi lewat pengacara, tapi ditengah jalan kami dikhianati. Pengacara bekerjasama dengan perusahaan. Tapi tawaran damai takkan kami terima. Walau ancaman datang, tapi Ini hakku, tanah ini tanahku. Mati membela tanahku tak apa kami mati syahid.” Terangnya dengan bersemangat.

“Mari kita duduk bermusyawarah tentang pertanian alami dan apa yang telah kita lakukan untuk memajukan desa ini, merawat lingkungan dan kehidupan di sini. Harapan kita agar alam diterima anak cucu dengan bangga kepada kakek neneknya karena telah meninggalkan kampung yang sehat dan aman lingkungannya.” Itulah suara FO Bina Desa untuk Sulawesi, Armin Salassa, kalimatnya menandai dimulainya pertemuan kordinasi dan refleksi pagi hari itu (10/09) di rumah yang segar dan begitu menyatu dengan alam milik anggota KSP Salassa, Abdul Wahid (33)

Di rumah yang terbuat dari kayu dengan tanaman hijau mengelilingi pekarangan seperti terong, cabe, dan buah Markisa, terik siang itu tampak tetap bersahabat dengan peserta musyawarah sehingga canda dan rekah semangat tampak terpancar dengan tegas. Ponong, selaku ketua KSPS mengatakan sekarang anggota KSP-Salassae ada 38 orang, itu belum termasuk dengan kader di sebaran anggota komunitas di desa-desa lain di luar Salassae.

Dul (30) menceritakan pengalammnya, “sebelum ada perkenalanan dengan bina desa dan pertanian alami, saya pesan racun hama dari Malaysia. Setelah bersama-sama bina desa dan prakter pertaanian alami, saya berharap benar-benar tak ada lagi pestisida yang masuk ke tanah. Biar saja saya korban uang (buat beli pupuk dari malaysia dan akhirnya tak saya pakai) asal jangan tanah kembali teracuni.”

salassae

KEMANDIRIAN DESA

“Semoga kemandirian desa bisa kita wujudkan dan saya yakin itu bisa. Saya sebagai petani akan bertani dengan cara yang sehat dan tidak menyakiti alam, saya akan merawat desa saya.” Ujar Zulkarnain.

Sementara itu pemilik rumah yang ditempati musyawarah Komunitas Bina Desa pagi itu, Abdul Waid dan orang tuanya memiliki harapan yang besar terhadap kemandirian desanya, ha yang sudah dimulai dengan pertanian alami dan akan terus dinamis dengan ide kreatif lainnya. “saya hanya berharap dan mendorong generasi terutama yang muda agar tak lagi tergantung, kemandirian harus diusahakan, dan pertanian alami bisa menjadi jalannya.”

“Petani harus mandiri, jangan kita punya tanah tapi benih dan pupuknya beli, sedang hasil panen di jual selalu murah di pasar.” Ujar Baso Mallarangeng, anggota KSP Bina Desa Salassae.

Hal itulah yang di alami di Di desa Soppang, “Tantangan terberat adalah mahalnya pupuk dan hama yang menyerang.” Pengalaman itu disampaikan Sunardi, Anak muda dari Soppang, yang memimpin pelatihan NF untuk 15 orang.

“Sekarang sudah ada yang praktek utk tanaman cokelat dan kacang panjang. Mereka semua mahasiswa dan punya pekerjaan bertani. Tantangan terbesar justrtu berhadapan dengan orang tua sendiri yang sedari lama praktek pertanian konvensional. “Siapa yang lebih banyak makan garam?” Ujarnya menirukan suara bapaknya.

Hal serupa juga di alami di Daerah Anrang, dimana pagi itu mewakilkan dirinya dalam sosok Mitha (21) perempuan muda yang menanam banyak cokelat di kebunnya sambil menjalani hari-harinya sebagai Mahasiswa. Walau muda ia telah memimpin 20 orang untuk pelatihan pertanian alami dengan dampingan Abdul Waid yang telah lebih dahulu mengenal Bina Desa. Mitha sendiri mengaku baru mulai mempraktekan di kebun cengkeh sama cokelatnya.

“Masalah banyak di hadapi petani cokelat Sulawesi sekarang pohon cokelatnya banyak kena hama dan hitam sampai biji-bijinya. Sementara itu ia juga menilai masyrakat yang kurang kerjasamanya kerap menjadi tantangan tersendiri dalam mengajak orang lain praktek Pertanian Alami.”

Tidak hanya Mitha yang muda—dan selain sebagai mahasiswa, tapi juga menjalani profesi sebagai petani alami yang tekun dan bangga. Ahmad Dai, Sunardi atau Jojo adalah anak-anak muda di Sulawesi yang bersemangat menekuni dunia pertanian alami, menyayangi lingkungan dan menghidupkan desanya untuk mandiri terutama dalam pangan. [sc]

 

Scroll to Top