Data Buku :
Judul : KEMARAU
Pengarang : A.A NAVIS
Terbit : GRASINDO, Cetakan VI, Agustus 2003
Tebal : X + 118 halaman
Judul di atas segera mengajukan pertanyaan, apa yang dipertimbangkan? Nasib? Tulisan ulasan tentang novel ‘Kemarau’ karya A.A Navis ini tidak hendak membahas nasib sebagai sebuah kaidah langit dan bumi, tapi tulisan ini lebih ingin mempertimbangkan laku manusia menghadapi ‘nasib’nya yang lebih sering tak sesuai. Seperti keadaan sekarang dimana perubahan iklim sudah sampai pada titik anomaly, sukar di prediksi, dan bagi petani hal itu sangat mengganngu keberlangsuangan harmoni lama terkait musim tanam dan panen raya. Kekeringan berkepanjangan di beberapa dairah memaksa petani ’mundur’ selangkah untuk merenung dan mencari cara mengatasi kekeringan, pemerintah toh memang tak seberapa perduli, para pemuka juga tak seberapa sigap menyodorkan sebuah ‘keyakinan’ untuk mengambil jalan ihtiyar bagi petani.
Ditengah situasi semacam itu, petani kecil di ladangnya yang kekeringan di perdesaan mulai oleng setengahnya putus asa harus berbuat apa. Masing-masing punya pilihan merespon kekeringan dan perubahan iklim ekstrim yang seperti nasib itu. ada yang duduk menunggu dan mundur selangkah, ada yang maju selangkah dan bekerja keras. Demikianlah sebuah kronik. Dan pada novel ‘Kemarau’ karya A.A Navis ini mungkin ada pelajaran bisa dimanfaatkan.
***
Novelette ini berkisah mula pada terjadinya kemarau panjang yang melanda sebuah kampung. Tanah jadi retak dan sawah pun jadi kering kerontang. Orang kampung pun mulai resah dan gelisah.
Sebetulnya, ada sebuah danau dekat kampung itu. akan tetapi, orang kampung ternyata lebih suka pergi ke dukun. “Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembah yang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.”
Hanya sutan Duano yang berbuat lain.”Pada ketika bendar-bendar tak mengalirkan air lagi, sawah-sawah sudah mulai kering dan matahari masih terus bersinar dengan maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bamboo. Lalu disandangnya di kedua ujung bamboo itu. dan dua belek minyak tanah digantungkannya di kedua ujung bamboo itu. diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya.” Akan tetapi, apakah orang kampung mengikuti perbuatan Sutan Duano?
Itu lah babak kunci novel berjudul “Kemaru” karya pengarang cerpen yang kesohor dengan “Robohnya Suarau Kami” ini, A.A. Navis.
Apa inti gagasan dan pesan yang ingin disampaikan A.A. Nafis dalam karya “Kemaru” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1957 itu? seperti dalam cerita pendek “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah dari majalah ‘Kisah’ itu, Navis ingin mengingatkan kita akan pentingnya mencari nafkah, bekerja keras, mengucurkan peluh dan keringat di dunia ini—di samping menyebut-nyebut dan memuji nama Allah. Kerja keras adalah bagin penting dari ibadah kita. Dalam ‘Kemarau’ perhatian navis terhadap pentingnya kerja keras itu muncul kembali.
Dengan latar musim kemarau yang berkepanjangan, seperti apa dikatakan Sapardji Djoko Damono dalam ulasannya atas novelette ‘Kemarau’ ini, mengungkapkan usaha tokoh bernama Sutan Duano untuk meyakinkan penduduk kampung itu untuk bekerja keras melawan kekeringan. Ciri yang segera mengungkapkan kita kepada ‘Robohnya Surau Kami’ adalah sindirannya. Di awal novel ini digambarkan bagaimana penduduk kampung itu, yang umumnya petani, menghadapi musim kering yang telah merusak sawah mereka:
“setiap pagi dan setiap sore para petani selalu menadang langit ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulai lah mereka berpikir, ada beberapa orang pergi ke dukun…tapi dukun itu juga tidak bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggang bersama sekepal kemenyan…dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi hasil, barulah mereka ingat kepada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke masjid mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga…lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetes pun tak mereka harapkan lagi…dan untuk membunuh rasa putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di lepau-lepau.
Dalam kutipan itu, jelas-jelas Navis menyindir segala usaha yang telah dilakukan manusia untuk mengubah keadaan. Dalam upaya manusia tersebut, tampaknya dukun, Tuhan, dan kartu domino menduduki posisi yang tak berbeda; mereka semua merupakan tempat pelarian manusia dari putus asa. Segala hal yang telah dilakukan menjadi tampak absurd, konyol,atau setidaknya mirip karikatur di mata kita. Berbagai tindakan manusia yang mungkin sekali dilakukan dengan tulis dan yakin itu seolah-seolah menjadi sia-sia dan sedikit lucu. Apakah Navis membiarkan situasi demikian itu begitu saja?
Sutan Duano adalah tokoh yang di ciptakannya untuk menjawab berbagai masalah tersebut. Di tengah musim kering yang telah menyebabkan kebanyakan orang kampung putus asa, Sutan Duano digambarkan mengambil:
“….sekarat bamboo. Lalu disandangnya kedua ujung bamboo itu. dan dua belek minyak tanah digantungkannya di kedua ujung bambu itu. diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawah. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam Sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan ia berhenti pada waktu magrib hampir tiba. Dan beberap akali angkut tak dilupakknya mengisi kedua kolam ikannya.”
Sutan Dauno, lelaki berusia sekitar 50 tahun itu, adalah setu-satunya manusia yang “berbuat lain”. Siapa gerangan tokoh iyu? Tidak begitu jelas asal-usulnya; ia muncul di kampung itu pada akhir masa pendudukan jepang.lelaki itu (ketika datang berusia sekitar 40 tahun) diberi tempat berteduh oleh kepala kampung, yakni sebuah surau tua yang telah lapuk dan tak terurus. Ia tampaknya lebih suka hidup menyisih. Orang setengahnya mengharapkan, atau setidaknya memiliki anggapan, bahwa tinggal di surau, “ adalah untuk menghabiskan sisa umurnya sambil berbuat ibdah melulu, sembahyang, dzikir, dan membaca Qur’an sampai mata jadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini.” Namun, ternyata Sutan Dauno berbuat lain. Ia rupanya tidak begitu memberi perhatian terhadapan kegiatan rohani semacam itu, tetapi memusatkan perhatian pada kola ikan dan sawah. Ketika orang-orang kampung itu tertarik untuk meninggalkan pekerjaan “kasar “itu, dan lebih suka pada “pengetahuan umum,” ia justeru mengumpulkan uang dengan berbagai jenis pekerjaan kasar. Dengan kerja kasarnya itu, ia berhasil mengumpulkan kekayaan dan akhirnya menjadi orang yang dihormati di kampung.
Tampaknya dalam kemarau ini Navis juga ingin menekankan pentingnya memeras keringat sebagai kegiatan snagat penting, terutama sekali di daerah yang tandus seperti yang digambarkannya itu. ia menunjukan kokonyolan usaha manusia melawan kemarau, yang tentunya merupakan lambing kesulitan hidup atau cobaan Allah; digambarkannya betapa absurd manusia memerlukan dukun, Tuhan, dan kartu domino. Navis rupanya menawarkan kepada kita tokoh Sutan Duano sebagai alternative—yang ternyata sama absurd-nya. Kita bayangkan seorang lelaki setengah baya di musim kemarau yang memikul dua belek seharian berjalan mondar-mandir mengambil air dari danau untuk dituangkan ke sawah dan kolamnya. Seperti penduduk lain dalam kampung itu, Suran Dauno juga seperti sebuah karikatur; cirri itu ditebalkan oleh sifatnya yang tak suka bergaul dan asal-usulnya yang tak begitu jelas. Ia muncul begitu saja dikampung itu, bekerja keras dan membujuk penduduk kampung untuk mengikuti teladannya.
Novelet ‘Kemarau’ karya Navis ini, menurut Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar untuk buku ini, ditinjau dari segi komposisi, kisah yang agak sentimental yang menyangkut Sutan Dauno, Gudam, Acin, dan masa lalunya itu merupakan semcam imbangan bagi sindiran tajam yang merupakan ciri utama novelet ini. Kalaupun alur karya Navis ini sulit meyakinkan kita, sindiran itu mungkin bisa menggoda kita untuk mempertimbangkan kembali pandangan kita tentang nasib manusia.
*Sabiq Carebesth, Pecinta buku dan kesenian, tinggal dan bekerja di Jakarta,