JAKARTA, BINADESA.ORG – Persoalan implementasi UU Desa hingga hari ini masih dipandang tidak menempatkan masyarakat desa sebagai subyek, hanya berkutat pada dana desa dan tidak menyentuh praktik eksploitasi sumber-sumber agraria di desa, yang sebenarnya menjadi akar persoalan kemiskinan di desa. Pernyataan ini terkemuka dalam Evaluasi 3 tahun pelaksanaan UU Desa yang digagas oleh koalisi masyarakat sipil dari 12 lembaga. Sri Palupi, peneliti Ecosoc Institute yang juga ketua panitia kegiatan menambahkan bahwa pengaturan desa juga mendasarkan pada asumsi yang bersifat mitos (desa yang harmonis, bekerja sama, dan saling membantu) serta dalam penerapannya UU Desa belum cukup melindungi warga desa dari perilaku buruk elite desa.
Hadir menyampaikan keynote speech adalah dua organisasi besar di Indonesia, PBNU dan Muhammadiyah. M. Imam Azis, PBNU menyampaikan bahwa harapan baru pada UU Desa banyak teralihkan oleh sekadar alokasi penggunaan dana desa dan disibukkan hal-hal teknorasi yang cukup kuat. “Padahal pemenuhan hak-hak sebagai manusia secara utuh itulah yang diharapkan” pungkasnya.
Isnaeni Muallidin dari Muhammadiyah memulai paparannya dengan refleksi “mau dibawa kemana desa sebenarnya?” Terus meningkatnya dana desa dari 2015 hingga 2017 justru tidak mampu menyelesaikan persoalan dasar di desa, yaitu kemiskinan. Besarnya dana desa yang disalurkan belum mampu menekan angka kemiskinan di desa. Muhammadiyah juga menekankan kritiknya terhadap UU Desa pada beberapa aspek yaitu terkait posisi dan kewenangan desa, kelembagaan desa, pendekatan pembangunan dan pelibatan stakeholders.
Ditemui di tempat yang sama, seorang peserta dari Aceh menyampaikan pengalamannya “Semenjak adanya UU Desa, geuchik (sebutan kepala desa di Aceh –red) menjadi sangat berkuasa dan tidak mendengar aspirasi warga, bahkan BPD yang harusnya memberikan masukan malah terlibat dalam pengerjaan proyek-proyek di desa, masyarakat miskin tetap miskin karena proses pemberdayaan kurang berjalan”. Peserta tersebut, yang namanya minta dirahasikan, juga mempertanyakan bagaimana bisa tidak semua wakil kelompok masyarakat dilibatkan dalam tahapan musyawarah di dusun dan desa. Bahkan sikap kritis beberapa perangkat desa dan BPD berujung pada pemecatan oleh kepala desa.
Dengan segala persoalan yang melingkupinya, faktanya UU Desa juga memberikan peluang bagi masyarakat desa. Kepala Desa Warungbanten, Lebak yang akrab disapa Jaro Ruhandi memandang bahwa UU Desa dapat mendukung pembangunan sarana prasarana di desa serta mampu menyelaraskan peran kelembagaan adat yaitu kasepuhan dengan desa. Walaupun ragu otonomi desa sudah berjalan, ia tetap yakin bahwa untuk mendobrak keterpinggiran desa, UU Desa mampu menawarkan kreasi baru dalam pemberdayaan, yaitu dengan gerakan literasi dan pemberdayaan ekonomi melalui BUMDes. “Kami di Warungbanten memilih untuk tidak mengutuk kegelapan, tetapi menyalakan lilin-lilin untuk memberikan manfaat kepada masyarakat” tegas Jaro Ruhandi.
Hasil dari refleksi pelaksanaan 3 tahun UU Desa ini disusun dalam rekomendasi yang diserahkan oleh perwakilan peserta kepada Kemendesa pada kamis lalu 25 Januari 2018 , diterima oleh Taufik Madjid, Dirjen PPMD Kemendesa PDTT. Dua hari kegiatan ini mampu menarik lebih dari 190 peserta dari berbagai kalangan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Panitia Bersama Refleksi 3 Tahun pelaksanaan UU Desa, terdiri dari:
Ecosoc Institute, Lakpesdam-PBNU, Partnership for Governance Reform, WALHI Nasional, TuK Indonesia, School of Democratic Economics (SDE), KAPAL Perempuan, Sajogyo Institute, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Desantara, Bina Desa.#