Catatan ini disampaikan oleh Suwarto Adi, anggota Dewan Pembina Bina Desa yang mewakili Bina Desa untuk hadir di acara S. Rajaratnam Endowment (SRE), ASEAN Community Forum di Singapura pada tengah Maret 2017, selamat menyimak…
SINGAPURA, BINADESA.ORG–Kegiatan yang diselenggarakan oleh ASEAN Foundation (AF) pertengahan Maret 2017 ini nama lengkapnya adalah S. Rajaratnam Endowment (SRE), ASEAN Community Forum. Kegiatan diikuti komunitas masyarakat sipil –yang diwakili oleh NGO dan beberapa ormas . Ada tiga kelompok dalam forum ini: (1) kelompok usaha mikro-kecil-menengah [UKM], (2) Pembangunan Perdesaan, dan (3) Pemberdayaan Perempuan. Delegasi Indonesia ada 5 orang mewakili tiga kelompok itu.
Kalau melihat tujuannya, kegiatan ini lebih merupakan sosialisasi tentang nilai Asean, yaitu: engagement, inclusive, sustainable, resilience, dan dynamics. Melalui kelima prinsip atau nilai itu diharapkan dalam masyarakat ASEAN akan tumbuh pemihakan pada kelompok miskin. Hanya, sayangnya ketika dielaborasi lebih lanjut, forum ini lebih mempopulerkan pentingnya keterbukaan program keuangan (financial inclusion) dan mendorong tumbuhnya pasar bersama ASEAN (access to market). Diharapkan dengan dua program besar di atas, tiga bidang itu akan mengalami perluasan dan pertumbuhan. Bagi UKM terbukanya akses permodalan, bagi perempuan terbukanya lapangan-lapangan kerja, dan bagi pembangunan pedesaan adanya akses pasar dan jaringan infrastruktur mendukung pasar.
Sambutan oleh Direktur AF, Ms. Elaine Tan, dan disusul oleh Mr. Lim Hock Chuan, mewakili SRE. Penjelasan singkat perkembangan ASEAN tiga topik pembahasan tersebut diatas. Sayangnya, lebih menekankan pada pentingnya pasar sebagai instrument perkembangan ekonomi. Termasuk, para nara sumber tematik juga berkutat soal pasar dan kewirausahaan. Singkatnya, forum ini merupakan upaya untuk membangun spirit kewirausahaan supaya terjadi ekspansi pasar.
Masalahnya, kemiskinan tidak bisa diselesaikan secara tunggal oleh pasar. Atau, keterbelakangan itu jalan keluarnya hanya lembaga keuangan (financial institution), sehingga menafikan hal-hal yang lain. Padahal, dalam tema Pembangunan Mansia (Human Development), seharusnya yang dibahas adalah manusia sebagai subyek pembangunan. Sebab, kalau hanya modal, maka itu bukan human development, tetapi lebih pembangunan yang berorientasi ekonomi/pasar (economic-oriented development), dan itu biasanya parsial dan kurang memberi tempat bagi peningkatan kemampuan manusia.
Manusia sebagai Subyek Pembangunan
Karena, waktu kita mengangkat salah satu issue penting dalam pembangunan pedesaan, yaitu land reform, hal ini kurang diberi tempat atau tidak dielaborasi lebih mendalam. Konteks Indonesia, bagaimana mungkin mencegah para pemuda migrasi ke kota, kalau di desa tidak lagi mempunyai tanah memadai? Tanah merupakan alat produksi, menghasilkan pangan dan atasi pengangguran. Kalau, aspek penting itu sudah dikuasai pihak lain, jelas para pemuda merasa tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, kecuali merantau, bermigrasi.
Sekadar menyediakan modal uang tidak cukup, kalau akses tanah sangat terbatas. Maka, upaya pembangunan lembaga keuangan meski dibarengi dengan reforma agraria. Kalau itu terjadi, tidak hanya tersedia akses atas modal, tetapi sekaligus pertanian akan berkembang. Jadi fokus pada orang (tanah) dan pada modal (lembaga keuangan). Sayangnya, mereka hanya menyatakan reforma agraria adalah persoalan kompleks pada hampir setiap negara ASEAN. Sulit membuat platform bersama untuk persoalan tersebut.
Namun, ketika terjadi diskusi kelompok kecil, pada kelompok pembangunan pedesaan hal itu muncul kembali. Pada berbagai negara, ternyata land reform adalah persoalan serius. Misalnya, Laos, Kamboja, atau Vietnam juga mengalami proses itu. Ide dasarnya, intervensi negara menjadi penting pelaksanaan reforma agraria. Negara harus mampu menjadi regulator yang adil soal pertanahan. Kalau negara sudah dibeli oleh pemodal, maka sulit menjadikan rakyat kecil memiliki tanah. Bukan sekadar kolektivitas, tetapi hak penguasaan dan regulasi tanah harus berada di tangan negara.
Negara yang kuat yang berpihak pada rakyat mesti didorong, dan peran NGO cukup besar di sini. Reforma agraria bukan sekadar negara beri sertifikat kepada rakyat. Melainkan, bagaimana negara mendorong rakyat semakin berdaya, keadilan penguasaan dan pemilikan lahan akan mendukung terwujudnya kesejahteraan sosial.
Pada akhir diskusi disepakati bahwa ada tiga hal besar disampaikan ke ASEAN untuk dibahas lebih dalam, yaitu: (1) Inovasi sosial pedesaan, (2) Penguatan kapasitas masyarakat pedesaan, dan (3) akses dan infrastruktur desa sebagai penunjang kemajuan desa.
Terakhir Soal pasar, itu memang penting sekarang ini. Tetapi, jangan terjebak pada konsep pasar semata tanpa memperkuat masyarakat. Sebab, pasar yang baik adalah pasar yang mendukung tumbuhnya suatu masyarakat yang lebih berdaya, berpengetahuan, dan martabat-manusiawi. Artinya, pasar harus berjalan seiring dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat. Sebab, tanpa itu pasar akan menjadi anak harimau, kelihatannya jinak, suatu saat ketika dewasa akan menerkam kita sendiri. (###)