Bina Desa

Lihat, mereka sudah berani bicara tentang dirinya dan lingkungannya

Dengan bekal yang dimilikinya, manusia tidak hanya mampu menyesuaikan diri dengan realitas, tapi ia juga memiliki kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.

Manusia Kritis Dalam Pendidikan Musyawarah

Dalam sebuah pertemuan pendidikan di desa Taraju, kabupaten Tasikmalaya ketika itu, Romo Dijktra – salah seorang sesepuh dan pendiri Bina Desa–   tiba-tiba tertawa takjub melihat peserta yang sebagian besar petani-petani miskin dan bersahaja mulai bicara,  bertanya, menyanggah dan berpendapat tentang masalah-masalah di lingkungannya. Ia berkata pada salah seorang fasilitator, … coba lihat, sungguh ajaib, mereka sudah berani bicara tentang dirinya, tentang lingkungannya ….. luar biasa. Awal mulanya si fasilitator bingung, apa yang dimaksud dengan ucapannya Romo. Belum sempat ia berpikir panjang, Romo sambil menepuk-nepuk pundak si fasilitator, berkata …. itulah dikmus.

Apa yang diungkapkan Romo Dijktra merupakan intisari dari Pendidikan Musyawarah (dikmus). Itulah tanda-tanda perubahan, tandasnya. Dalam masyarakat yang terbelenggu, kesadaran tentang realitas –terutama di kalangangan rakyat kecil– sangat bergantung pada orang lain. Kata-kata diubah menjadi mitos, ia menjadi mantra yang selalu diulang-ulang sehingga menciptakan keyakinan massal di masyarakat.Pak bupati berkata, panen padi tahun ini harus mencapai 150 ton, karena itu para petani disarankan menggunakan benih unggulan baru, kalau tidak akan terjadi bencana kelaparan. Pak camat berkata yang sama kepada kades-kades. Kades berkata yang sama kepada elit-elit desa dan masyarakat. Petani berkata yang sama kepada keluarga dan teman-temannya. Jadilah, kata-kata sang bupati sebagai mantra yang mensihir kesadaran semua orang. Tak ada ruang untuk bertanya, apakah benar? Kenapa 150 ton? Kenapa harus pake bibit unggul yang baru?

Kata-kata menciptakan keyakinan, keyakinan menciptakan gerak, gerak menciptakan kebudayaan, lahirlah kebudayaan-kebudayaan yang tidak diciptakan sendiri oleh rakyat, kebudayaan para penguasa. Ini terbentuk karena rakyat terus menerus mengetroyeksikan (menanamkan)  kesadaran budak yang diintroyeksikan (ditanamkan) oleh kaum penindas ke dalam inti kesadaran rakyat – istilah yang sering digunakan Paulo Freire–. Masyarakat mengalami proses massifikasi, artinya tanpa disadari mereka dimanipulasi oleh kaum elit untuk dijadikan kelompok yang tidak berpikir dan mudah dikendalikan. Lawan dari massifikasi adalah konsientasi, yakni proses untuk mencapai kesadaram kritis. Itulah sebabnya kekuasaan yang menggunakan pola penindasan semacam ini dapat bertahan lama karena mereka menciptakan struktur penindasan yang impersonal, yakni tak terlihat siapa penindasnya, atau membuat batas-batas yang kabur antara si penindas dan tertindas. Para tengkulak di desa-desa tetap dianggap sebagai pelindung oleh petani, karena sewaktu-waktu bila panennya gagal bisa pinjam uang meskipun bunganya tinggi. Samar-samar apakah itu moralitas ataukah eksploitasi.

Dikmus adalah bagaimana menjadikan orang (baca: rakyat kecil) mempunyai kesadaran yang tidak bergantung pada orang lain (penguasa atau kaum elit). Ia tidak hanya bisa mengulangi kata-kata yang telah menjadi mitos, tapi mempertanyakan hal-hal yang tersembunyi di balik kata-kata tersebut, atau sering disebut mendekonstruksi kata-kata atau nilai-nilai yang telah ditanamkan kaum penindas kepada rakyat. Ini pekerjaan yang tidak mudah, membongkar kesadaran palsu di masyarakat.

***

IMG_2941Dalam konsep dikmus, menjadi manusia berarti mengalami dunia sebagai realitas obyektif, artinya dalam memahami realitas tidak tergantung pada siapapun. Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Menghadapi tantangan-tantangan di lingkungannya, reaksinya tidak hanya terbatas satu pola saja. Ia selalu kreatif, dapat mengatur diri, mengintegrasikan diri dengan lingkungan, memilih yang terbaik, bertindak, merefleksikan, merenung dan mengatasi, mengubah tindakan-tindakannya, mengujinya kembali. Mereka mengerjakan semua itu secara sadar. Semua itu menjadikan manusia tidak hanya ada di dalam dunia, dalam pengertian pasif dan menerima (adaptasi), tapi lebih dari itu ia ada dan bersama dengan dunia (integrasi).

Dengan bekal yang dimilikinya, manusia tidak hanya mampu menyesuaikan diri dengan realitas, tapi ia juga memiliki kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas. Seseorang tidaklah sempurna bila ia kehilangan kemampuan memilih, bila pilihannya adalah pilihan orang lain, dan bila keputusan-keputusannya berasal dari luar, bukan keputusannya sendiri. Bila begitu, ia hanya beradaptasi, hanya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Ini menempatkan manusia sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Manusia yang sempurna adalah manusia sebagai subyek. Manusia yang hanya mampu beradaptasi adalah manusia sebagai obyek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas. Menyesuaikan diri adalah ciri khas tingkah laku binatang, yang bila diperlihatkan kepada manusia merupakan gejala dehumanisasi .

Ketika petani-petani dalam pertemuan tersebut sudah angkat bicara, menggugat persoalan-persoalan, membuat pilihan-pilihan, mengambil keputusan-keputusan berdasarkan nalar dan keyakinannya sendiri, tidak tergantung pada orang lain, semua itu adalah tanda-tanda ke arah pembebasan atau humanisasi (proses menjadi manusia kembali). Menjadikan manusia-manusia desa yang kritis, terlibat dan mampu mengubah realitas. Itulah dikmus, pantas sang Romo tersenyum lebar melihat semua itu sambil menghisap cerutu kampung yang selalu bertengger di bibirnya (*)

Scroll to Top