Judul Buku : Land Reform dari masa ke masa
Penulis : Noer Fauzi Rachman
Penerbit : Tanah Air Beta
Ketebalan buku : XVIII + 164 Halaman, 14 x 21 cm
Tahun terbit : 2012
ISBN : 978-602-18099-0-7
Peresensi : Rassela Malinda
“Kemiskinan agraris itu bukanlah suatu kondisi, melainkan suatu akibat yang ternyata berpangkal pada politik agraria, yang memiliki sejarah panjang melebihi panjangnya umur Republik Indonesia. Memahami kemiskinan sebagai akibat, akan membimbing kita pada upaya menelusuri rantai penjelas sebab-sebab dari kemiskinan dan kesengsaraan rakyat (Rachman, 2012 : 124)
Upaya untuk memahami bagaimana dinamika land reform terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu adalah agenda utama kehadiran buku yang berjudul Land Reform dari Masa ke Masa, Yang ditulis oleh Noer Fauzi Rachman, seorang Scholar cum Activist di kancah wacana Ke-agraria-an. Buku ini adalah salah satu produk pengetahuan yang cukup penting untuk kembali dibaca dalam situasi konflik agraria yang kerap melanda Indonesia dan ditengah kembali mencuatnya agenda Nawacita Jokowi yang kembali memproduksi wacana kebijakan ‘Reforma Agraria’.
Melalui naskahnya, secara berurutan penulis menjelaskan bagaimana rute-rute perjalanan panjang yang telah dilalui land reform dari satu periode kekuasaan ke periode kekuasaan lainnya dalam konstelasi kebijakan pertanahan nasional : bagaimana ia keluar-masuk dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tentu saja tidak hanya sekedar penjelasan mengenai periodisasi berjalannya land reform, ia menampilkan argumentasi kuat tentang bagaimana kontur politik yang berubah-ubah, serta ragam kekuatan sosial-politik yang memungkinkan agenda-agenda terus berjalan. Namun, penulis telah menjelaskan di awal bahwa naskah ini secara fokus menampilkan perjalanan implementasinya hanya di Pulau Jawa saja.
Bagian awal dalam buku ini (Bab II hingga Bab VII ) menggambarkan periodisasi awal dekolonisasi yang bermula dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945 hingga dilahirkannya UU Pokok Agraria 1960. Sistem agraria warisan kolonial Belanda mewujudkan dirinya dalam UU Agraria 1870 , Atau yang dikenal dengan agrarische wet . UU ini adalah wadah yang digunakan kolonial untuk tujuan akumulasi kapital perusahaan eropa di Hindi Belanda. Rakyat jajahan dipaksa untuk memproduksi komoditi ekspor : Gula , Karet, Kopi, yang keuntungannya mengalir ke kas-kas negara penjajah. Agrarische wet inilah yang juga memberikan hak konsesi perkebunan kepada perusahaan asing untuk memanfaatkan tanah milik negara, sepaket dengan agenda pengadaan buruh murah. Pada periode sistem agraria kolonial ini bermunculan pemberontakan petani di banyak tempat yang mengalami represi sedemikian rupa.
Era kolonial fasisme Jepang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Belanda, hanya saja pada awal pendudukan, kebijakan politik agraria Jepang cukup populis , yakni dengan mendorong pengambil alihan tanah-tanah partikelir, perkebunan asing dan tanah hutan. Rakyat mengira bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengubah nasib buruk penindasan yang selama ini mereka alami di masa kolonialisme Belanda, nyatanya tidak sama sekali, justru mereka mengalami bentuk penindasan yang sama buruknya, setelah berhasil menduduki tanah-tanah tersebut, yakni : dipaksa bekerja diatas tanah tersebut dan menyerahkan hasil kerjanya kepada pemerintahan fasis militer Jepang (Rachman 2012 : 9)
Setelah memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia masuk pada periode Revolusi Indonesia, yang salah satu “kemajuan paling penting” adalah dengan disahkannya UU Pokok Agraria 1960. Soekarno mempercayai seutuhnya bahwa kehadiran UUPA adalah cara untuk mengembalikan struktur penguasaan agraria yang berkeadilan dan berpihak kepada Rakyat kecil, serta merombak struktur agraria yang feodal dan kolonial secara radikal. Salah satu Kata kunci penting dalam momentum disahkannya UUPA adalah penghapusan azas domein negara yang tercantum dalam UU agraria 1870 dan UU Kehutanan 1874, 1875, dan 1897. Azas ini menyatakan bahwa semua tanah yang tidak mempunyai status hukum akan dianggap sebagai milik negara. UUPA 1960 hadir dan menggganti azas domein negara dengan sebuah konsepsi politico-legal (Rachman 2012 : 15), yang disebut dengan Hak Menguasai Negara. Azas ini lah yang merupakan salah satu jantung utama praktik ketidakadilan yang diderita oleh pribumi Indonesia selama ini. Menurut UUPA azas ini “adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rayat Indonesia dan azas dari pada Negara yang merdeka dan modern”. Selain itu komitmen kebijakan agraria berikutnya adalah memordenisasi hukum adat agar lebih bersesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagian ini juga menjelaskan tentang beberapa program politik awal yang mengiringi implementasi UU pokok agraria 1960, diantaranya adalah :
- Penghapusan hak-hak istimewa desa Perdikan di Wilayah Banyumas di Jawa Tengah
Desa Perdikan memiliki hak istimewa berupa pengecualian pajak tanah sebagai tanda pengakuan atas jasa pengabdian yang pernah diberikan pendiri desa kepada raja sebelum ataupun sesudah masa kolonial (Soemardjan, 1962). .
- Penghapusan hak-hak konversi dalam wilayah pemerintah otonomi di Yogyakara dan Surakarta
Yang dimaksud dengan Hak-Hak Konversi dikutip oleh Noer Fauzi dalam Gautama dan Harsono (1972 :3-4) dan Gouwgioksion (1960: 35-8), merupakan sekumpulan hak untuk menggunakan tanah, buruh dan air yang diberikan oleh sultan Yogyakarta atau Surakarta kepada perkebunan-perkebunan milik orang Eropa. Pada tahun 1940, terdapat 42.544 Hektar tanah yang diatasnya terdapat hak-hak konversi dihapuskan, dan diserahkan kepada petani lokal.
- Likuidasi tanah-tanah partikelir
Tanah partikeli adalah suatu bentuk hak atas tanah yang disertai kewenangan untuk membentuk sistem pemerinthan tersendiri di dalam wilayah tanah yang sangat luas itu, karnanya ia dijuluki dengan negara dalam negara (Rachman, 2012 : 23). Terdapat 1.150.000 tanah partikelir yang diambil alih oleh negara
Selain gebrakan politik yang mengawali jalannya land reform, secara garis besar, penulis memaparkan 5 agenda pokok dan utama perombakan struktur ketimpangan agraria tersebut, yakni : Pertama , melakukan pembaruan atas hukum agraria nasional. Kedua, melakukan Penghapusan atas hak dan konsesi yang dimiliki oleh pihak asing. Ketiga, mengakhiri feodalisme secara berangsur-angsur. Keempat, merombak penguasaan dan pemilikan tanah , serta relasi hukum yang terkait dengan penguasaan tanah. Yang kelima adalah melakukan perencanaan persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai kemampuan yang dimiliki. Meskipun kehadiran UU Pokok Agraria dianggap sebagai alat politik paling mutakhir yang akan membawa Indonesia pada cita-cita Revolusi masyarakat sosialis seutuhnya, namun pada implementasinya, penulis juga menyoroti beberapa lubang-lubang yang mengganggu jalannya agenda land reform, seperti : Bagaiman Perkebunan Kolonial tidak menjadi target program land reform 1960-1965, dan Bagaimana Hutan dipisahkan dari tanah pertanian , dan tanah kehutanan tidak menjadi target program land reform 1960-1965.
Bagian adalah narasi mengenai ‘Tanah untuk pembangunan’, sebuah proyek pembebasan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan proyek-proyek pembangunan. Bagian terakhir ini juga kembali menjelaskan lompatan yang dilalui agenda land reform setelah jatuhnya kekuasaan orde baru : kembali masuk dalam kancah kebijakan nasional, berkat kelompok-kelompok masyarakat sipil yang secara terus menggalakkan wacana land reform di permukaan, serta peran penting pejabat reformis yang duduk di kekuasaan reformasi.
Secara garis besar buku ini telah menampilkan secara kritis dinamika historis land reform dari masa ke masa. Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat sebagai sebuah pembelajaran bersama, pertama rute perjalanan reforma agraria mengalami redup-terangnya sendiri tergantung kontur politik seperti apa yang sedang dilalui, dan apa kekuatan yang mampu mendukung implementasinya. Pelaksanaan land reform begantung dengan hukum agraria yang ada pada suatu rezim. Komitmen dan ideologi politik penguasa akan mewarnai jalannya agenda reforma agaria. Yang terakhir tentu saja Land reform harus benar-benar didudukkan sebagai alat untuk merombak kekuasaan dan pemilikan tanah agar berpihak kepada rakyat kecil, tidak semata menjadi alat untuk menggapai kepentingan politis tertentu. Kalau hal yang terakhir terjadi, maka suatu rezim tersebut tidak pernah benar-benar setia pada agenda land reform sejati, dan juga tidak benar-benar menempatkan kesejahteraan rakyat dan petani kecil sebagai tujuan politiknya, hanya sebuah kepalsuan belaka.***