Bina Desa

Lagi, Aktivis dan Petani di Vonis Tahunan Penjara…

Pdt. Sugianto (sebelah Kanan) di dakwa UU KUHP Pasal 160 soal Penghasutan, bersamanya ditangkap juga enam orang petani, salah satunya Rajiman (petani dan guru ngaji) di dakwa UU Darurat soal senjata tajam.  Pokok persoalan penyerobotan tanah oleh korporasi tidak menjadi pertimbangan untuk memberi keadilan bagi petani (Foto:istimewa)

LAMPUNG, BINA DESA.ORG—“Akhirnya panggung pengadilan kriminalisasi perjuangan petani untuk mempertahankan hak atas tanahnya di Pengadilan Negeri Menggala sudah selesai. Sujarno dan Hasanudin di Vonis 2 tahun. Sukirman dan Sukirji di vonis 2 tahun 4 bulan. Pendeta Sugianto di vonis 1 tahun 6 bulan. Terima kasih atas dukungan kawan-kawan semua, yang membuat kami tetap semangat dan meyakini bahwa kebenaran, keadilan, dan perjuangan rakyat pasti akan datang dan kami memang. Kami akan banding.” Demikian sepenggal berita pendek yang diterima Bina Desa dari para pegiat agraria di Lampung, menyampaikan pesan dari Mas Gie (panggilan Pdt. Sugianto). Dua lainnya yakni Rajiman petani yang juga Guru ngaji dan Juanda menyusul atas pelanggaran Undang-Undang Darurat soal senjata tajam.

Berita pendek itu disampaikan Kamis malam (2/3/2017) pasca sidang putusan atas warga melawan PT. Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL) anak perusahaan Bumi waras atau di kenal sebagai Sungai Budi Group, salah satu perusahaan tepung beras dan pemain utama bisnis sawit ini pada pagi harinya di PN. Menggala, Lampung.

Setelah rangkaian persidangan yang cukup panjang (sekitar delapan kali sidang) akhirnya Majelis Hakim PN. Menggala memvonis petani, aktivis,dan  pendeta masing-masing lebih dari satu tahun. Pasal yang disangkakan adalah KUHP 160 soal penghasutan dan UU Darurat soal senjata tajam. Awal mulanya mereka di tangkap adalah pada 2 oktober 2016 lalu  ketika petani dan warga mencoba merebut kembali lahannya dari perusahaan yang kemudian terjadi bentrok antara warga dan pam swakarsa dari PT.BNIL.

Padahal menurut Sakiran  ketua STKGB,”Kejadian ini berawal dari provokasi yang dilakukan Pamswakarsa terhadap warga STKGB yang sedang merebut kembali tanah. Kericuhan akhirnya terjadi setelah warga terpancing emosi”. Menanggapi situasi tersebut, pihak kepolisian langsung memburu para warga hingga keluar desa, mereka diteror, dan berakhir dengan penangkapan enam orang warga STKGB termasuk Pdt. Sugianto yang dituding sebagai dalang kerusuhan alias provokator.

Sementara saat kejadian Pdt. Sugianto tidak ada di tempat. Barang bukti di pengadilan brosur yang dibuat oleh aktivis dan beberapa petani. “tentu kami kecewa atas putusan ini” ujar Alien Setadi dari Lembaga Bantuan Hukum Lampung yang merupakan kuasa hukum petani, pendeta dan aktivis.

Pendeta Karel, dari Koordinator Advokasi Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS), menginformasikan bahwa kemungkinan besar Mas Gie akan mengajukan banding. Sementara enam petani, lainnya masih akan berpikir, dikarena sulit bagi warga menerima putusan ini dan masih trauma dengan proses hukum yang sedemikian panjang, melelahkan fisik dan psikis.

Perwakilan warga Bujuk agung dan Agung Jaya yang berdialog di Kantor Bina Desa sebelum mengadukan persoalan mereka ke Kantor Staff Presiden (KSP) pada Selasa, 28 Pebruari 2017 lalu (Foto: Bina Desa/Heri)

Kriminalisasi dan Hak Atas Tanah bagi petani

Konflik agraria antara PT. Bangun Nusa Indah Lampung (PT. BNIL) dengan warga Bujuk Agung dan Agung Jaya, Tulang Bawang, Lampung, yang terus memakan korban, hanyala satu dari ratusan konflik yang terjadi tiap tahunnya. Sejak tahun 1991, warga konflik dengan PT. BNIL setidaknya 55 warga telah menjadi korban akibat penyerobotan lahan yang dilakukan perusahaan ini , produsen tepung beras dan pemain utama bisnis sawit ini. 21 orang warga dianiaya mulai dari penyiksaan ringan hingga berat, 26 orang dipenjarakan, dan bahkan 8 orang diantaranya mati dibunuh dalam kurun waktu 1991 hingga 2017. Dan terakhir ini Maret 2017 enam orang dipenjarakan, menambah daftar korban PT. BNIL.

Bisa dipastikan setiap konflik agraria selau berkepanjangan. Butuh kesabaran dan stamina yang kuat dari masyarakat untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang sudah puluhan tahun dirampas dengan berbagai modus dan tekanan. “Mulai dari pembohongan dokumen, intimidasi, kekerasan fisik, kriminalisasi bahkan kehilangan nyawa, rakyat selalu jadi korban, terutamanya anak-anak dan perempuan desa” Ujar Achmad Yakub, pegiat dari Bina Desa. Anehnya keberpihakan aparat negara maupun pemeritahan selalu berada di sisi pengusaha. Yakub menegaskan,”Kriminalisasi atau tindakan lainnya itu adalah modus dari pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan masalah utamanya, yakni soal hak atas tanah masyarakat yang di rampas”.

Sementara itu Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyampaikan bahwa “Kasus kriminalisasi yang dialami oleh Pdt. Sugianto dan enam petani STKGB ini kembali menjadi preseden buruk penegakan hukum yang dilakukan aparat di wilayah-wilayah konflik agraria”.

Selama era Jokowi-JK, cara penanganan konflik di wilayah-wilayah konflik agraria masih belum berubah dengan masih memakai cara lama yakni dengan terus melakukan cara-cara represif, teror, hingga pemidanaan paksa kepada petani atau warga yang sedang berhadap-hadapan dengan perusahaan atau pemerintah dalam rangka memperjuangkan hak mereka atas tanah. Selama tahun 2016 saja, KPA mencatat terjadi 177 pejuang agraria dikriminalisasi, 66 orang dianiaya, hingga 13 orang tewas di seluruh wilayah-wilayah konflik agraria. (###)

Scroll to Top