Komunitas Swabina Pedesaan Bansr (KSP BANSR) yang meliputi Bunta, Nuho dan Simpang Raya di Banggai Sulawesi Tengah, menggelar diskusi konsolidasi jaringan lingkar tambang, (14-15/6) . Acara yang dikemas dalam bentuk diskusi tematik terpadu tentang UU Minerba tersebut dimaksudkan sebagai upaya konsolidasi kekuatan rakyat terutama yang berada di pedesaan untuk selanjutnya mengupayakan usaha-usaha advokasi sehubungan banyak munculnya perusahaan tambang yang ditengarai dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat setempat, selain potensi munculnya berbagai masalah lingkungan dan ekologis akibat eksploitasi sumberdaya alam (nikel) melalui beroperasinya perusahaan-perusahaan tersebut.
“Di tengah maayarakat dibangun opini bahwa tambang-tambang ini dapat menguntungkan karena akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Benar atau tidak, itu tak mengurangi keyakinan dan tekad kita bahwa beropetasinya tambangbtak boleh sampai justru berbalik merugikan masyarakat setempat karena hilangnya hak-hak mereka. Gejala timbulnya hilangnya hak rakyat atas sumber-sumber agraria ataupun dampak lingkungan sudah mulai ada”, kata Ebhit, anggota KSP Bansr sekaligus koordinator jaringan advokasi Lingkar Tambang.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh kader KSP BANSR yang mengikuti kegiatan sebalumnya, ditemukan fakta bahwa investasi tambang yang hari ini telah dan akan beroperasi di wilayah Bunta, Nuho dan Simpang Raya telah mulai banyak menimbulkan dampak ekologi, sosial, budaya, ekonomi maupun dampak secara politik. Konflik yang terjadi antara petani dan aparatur pemerintahan setempat terkait soal dampak lingkungan dan praktek perampasan tanah oleh elit politik lokal mulai tampak dari proses pembebasan lahan yang intimidatif dan melukai rasa keadilan masyarakat di wilaya tersebut.
Usaha lobby dan advokasi yang sejauh ini dilakukan oleh rakyat untuk menuntut hak pun dihadapkan berbagai kendala karena adanya berbagai iming-iming pembukaan lapangan kerja dan perbaikan ekonomi, hinga upaya intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan.
“Kami tidak mau hanya diam sebagai korban, karenanya usaha-usaha konsolidasi untuk upaya menuntut hak akan tetap kami lakukan”, tambah Ebhit.
Acara yang diikuti oleh sedikitnya 22 orang perwakilan dari 9 desa di wilayah Bunta, Nuho dan Simpang Raya serta 1 perwakilan lembaga adat tersebut dilaksananakan di desa Gonohop. Selain dihadiri perwakilan dari Jatam dan PBHR Sulteng, ikut hadir pula dalam kesempatan tersebut Eva Bande yang menyampaikan materi tentang hak-hak rakyat atas sumber agraria (Ldj)