Bina Desa

Krisis dan Konsolidasi Agraria

“Perjuangan Melawan Penguasa adalah perjuangan melawan lupa.” Milan Kundera.

Ekspansi kapitalisme internasional segera saja mengakibatkan hilangnya petani atas tanahnya dan perubahan fungsi tanah, dari tanah dalam kerangka hubungan produksi yang feodalistis – yang oleh Maurice Dobb disebutnya sebagai bentuk-bentuk ekstra ekonomi, yaitu perhambaan/serfdom dan Paul Sweezy yang menekankan pada pertumbuhan produksi untuk pertukaran/exchange – berubah menjadi untuk memenuhi kebutuhan komoditas pasar internasional dalam rangka akumulasi modal dagang yang dikuasai oleh para tuan-tuan tanah (landed capitalist property) dari negara-negara Barat dan perubahan status petani menjadi buruh tani sebagaimana hubungan-hubungan produksi yang kapitalistis, hal ini menunjukan terjadinya peralihan dari cara produksi komoditi sederhana menjadi cara produksi komoditi kapitalis atau transisi dari feodalisme ke kapitalisme yang ditandai dengan adanya proses akumulasi primitif, yaitu sebuah proses sejarah dalam perubahan cara produksi produsen kelas menengah (secara prinsip petani upahan) menjadi buruh upahan, dan alat produksi serta uang menuju mode produksi kapitalis, dan kerja mendasar yang didasarkan pada perkembangan kekuatan produksi dan pertumbuhan relasi komoditi uang.

Kolonialisme mengakibatkan peralihan ke kapitalisme di Indonesia mengalami perkembangan yang berbeda (uneven development of capitalism) dengan di Eropa, yaitu bukan dari feodalisme ke kapitalisme, bukan terjadi artikulasi cara produksi, di mana cara produksi kapitalis yang dominan kemudian menggusur cara produksi pra kapitalis, tetapi kombinasi yang terartikulasi (articulated combination) yang khas dari cara produksi kolonial, yaitu eksploitasi atas petani (perubahan fungsi lahan petani, tanam paksa, dan terciptanya buruh tani) yang berdampak pada proses pemelaratan petani terus-menerus (Agricultural ladder), monopoli perdagangan dan penyingkiran kelas pedagang pribumi, serta bersendikan persekutuan antara kapitalisme kolonial dan feodalisme. Secara legal kemudian diatur mulai dari Sistem Sewa-nya VOC, Domeign Theory dan Landrente-nya Raffles, Tanam Paksa-nya Van den Bocsh, serta Agrarisce Wet-nya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Artinya kolonialisme telah menghasilkan tidak hanya dalam pengertian politik yaitu pemerintahan kolonial, melainkan juga meninggalkan problem-problem hegemoni budaya serta pengetahuan dan problem-problem sosial-ekonomi (produksi) akibat terjadinya peralihan ke kapitalisme yang dipaksakan, lantas kemudian menciptakan mode (tata cara) produksi kolonial. Maka kemerdekaan 100 % dalam negara pasca kolonial tidak hanya berarti peralihan kekuasaan pemerintahan dari londo mancanegara ke pihak inlander, tetapi kemerdekaan juga harus dalam pengertian produksi dan pengetahuan. Maka transisi kekuasaan dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan nasional memerlukan perubahan struktur agraria melalui progam landreform dan pembaruan hukum agraria, dari hukum kolonial ke hukum agraria nasional  melalui UUPA 1960.

Menteri Agraria Sardjawo di dalam pidatonya tanggal 12 September 1960, yang mengantarkan Rancangan UUPA di muka Sidang Pleno DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), antara lain menyatakan, bahwa tujuan landreform di Indonesia adalah: (1) Untuk mengadakan pembagian yang adil atau atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian yang adil pula. Merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial; (2). Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani. Supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; (3). Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik. Hak milik adalah hak yang terkuat yang bersifat perorangan dan turun-temurun; (5). Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian ada pemberian perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.

Sejarah telah menunjukan bahwa krisis keuangan yang menyertai tumbangnya pemerintahan Soekarno, dan yang mengantar rezim militer Orde Baru, serta tumbangnya Orba dan berdirinya pemerintahan pasca Orde Baru, kekuasaan negara bukannya tidak peduli dengan masalah agraria, sangat memperhatikan, tetapi bukan dalam rangka reform, melainkan bagaimana menjual sumber-sumber agraria secara cepat dan pengusahaan sumber-sumber agraria dengan padat modal, seperti perkebunanan, kehutanan, pertambangaan, sumber daya air, pesisir, biofuel (agrofuel) dan food estate.

Mengikuti diskursus krisis semenjak 1998 hingga kini, maka ada dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, krisis tidak kemudian memicu reform apalagi revolusi, meski telah memunculkan  gejolak sosial terbatas. Dan kedua, bahwa krisis juga memiliki arah yang berkelanjutan (tahan lama). Upaya mengatasi krisis, negara kemudian memunculkan produk-produk hukum yang pada umumnya ditujukan untuk menarik masuk investasi asing dan pengurangan hak-hak normatif kaum buruh dan hak atas tanah kaum tani.

Krisis ekonomi tahun 1997-1998, telah memicu krisis sosial dan krisis politik, hingga membawa kemenangan gerakan reformasi yang dipelopori gerakan mahasiswa -menumbangkan – rezim militer Orde Baru. Namun, tumbangnya Negara Orde Baru, harus dilihat juga sebagai reorganisasi dan rekonsolidasi modus operandi nasional kapitalisme internasional (imperialisme baru), dari developmentalism yang lebih mengandalkan kekuatan sepatu lars, bedil dan ujung bayonet, menjadi neo liberalism yang mengandal produk-produk hukum dari hasil demokrasi prosedural yang bertumpu pada kekuatan the old reactionary regime yang merupakan perpaduan dari ancient regime dan oligarki partai-partai besar yang berbasis politik aliran.

Dari kurun waktu 1998-2001 aksi-aksi petani (gerakan reclaiming) cukup tinggi untuk menuntut kembali hak atas tanahnya. Menyoroti aksi petani ini, presiden Gus Dur menyatakan bahwa tidak tepat jika rakyat dituduh menjarah, karena “sebenarnya perkebunan yang nyolong tanah rakyat, ngambil tanah koq nggak bilang-bilang.”

Turunnya Gus Dur dari kursi ke presidenan, bisa dikatakan sebagai runtuhnya konsolidasi demokrasi, karena transisi demokrasi yang mensyaratkan pergantian rezim otoriter (turunnya Pak Harto dan ditolaknya laporan pertanggungjawaban mister Habibie oleh MPR), kemudian pemilu yang demokratis (Pemilu 1999), dan harusnya disusul dengan pelembagaan demokrasi, namun yang terjadi pasca Pemilu 1999 adalah konflik elit yang melibatkan massa dan justru terjadi persekutuan politik dengan kekuatan orbais-soehartois oleh kekuatan politik anti Gus Dur.

Maka naiknya Ibu Mega ke kursi kepresidenan berbarengan dengan lemahnya pelembagaan demokrasi, sehingga di level negara, artikulasi kepentingan nasional dikalahkan dengan intenasionalisasi modal. Sebut saja; Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-undang ini merupakan bagian dari syarat World Bank untuk pencairan US$ 300 juta, pinjaman (utang luar negeri) untuk program restrukturisasi air yang biasa disebut WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) yang telah ditandatangani pada bulan April 1998. Progam LAP (Land Administration Project) dan dilanjutkan dengan Land Policy Management Reform progam dari Bank Dunia melahirkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria untuk menggantikan UUPA 1960.

Dampaknya adalah penguasaan sumber-sumber agraria oleh pihak asing, yang berarti memang investasi masuk, tetapi dibayar dengan meluasnya konflik agraria dengan kekerasan bersenjata yang berdampak hilangnya akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria dan sumber-sumber pangan.

Pun demikian dengan presiden SBY, guna menggenjot investasi di bidang infrastruktur, dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,  selain bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria; Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan menafikan protes masyarakat, semakin menghilangkan akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria, dan semakin hilangnya lahan pertanian untuk kepentingan infrastruktur akan membawa dampak pada situasi rawan pangan. Di lapangan agraria, pemerintah memfasilitasi perkebunan besar, hal ini, justru memperkeras konflik agraria antara petani dengan perusahaan perkebunan.

Akhir cerita negara tetap gagal mengatasi krisis dan kemiskinan tetapi justri melakukan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat. Dan setiap perjuangan masyarakat mempertahankan hak-haknya, dijawab dengan represifitas, stigmatisasi, dan kriminalisasi yang dilakukan oleh pemerintah (pelanggaran hak sipil politik).  Fakta kerasnya adalah apa yang tergambarkan dalam konflik agraria dan konflik perburuhan (industrial) sebagai acuan dari kerusakan struktural yang terjadi di perdesaan.

Sekarang pada kalender waktu kita yang menunjuk 2013, sejauh itu Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah mengesahkan dan turut menandatangani instrumen Hak Asasi Manusia yang memberikan tanggungjawab dan kewajiban negara untuk menjalankan reforma agraria. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, negara telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Di mana Pasal 11 Kovenan tersebut  menyebutkan, dalam melaksanakan kewajiban Negara dalam pemenuhan dan perlindungan hak atas pangan, mengharuskan negara memperbaiki sistem agraria (reforming agrarian systems). Di dalam “Revisi Pedoman tentang Bentuk dan Isi Laporan yang Harus Dilaporkan oleh Negara-negara Pihak Berdasarkan  Pasal 16 dan 17 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,” reforma agraria adalah materi pelaporan dari setiap negara.

Selain itu Di Porto Algre, Brazil, 7 – 10 Maret 2006, delegasi pemerintah mengikuti dan menandatangani hasil ICARRD (International Conference on Agrarian Reform and Rural Development/Konferensi Internasional tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Desa) yang diselenggarakan oleh FAO. Deklarasi Akhir ICARRD menyandarkan diri pada, pertama, hasil akhir dari WCARRD pada tahun 1979 dan Piagam Petani (Peasants’ Charter), yang menekankan kebutuhan akan perumusan berbagai strategi nasional yang tepat untuk pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan, dan integrasinya dengan berbagai strategi pembangunan nasional lain secara keseluruhan. Demikianlah, seperti di tulis Ketua IHCS, Gunawan, dalam salah satu makalah di Jurnal “Agricola” (2011) bahwa Reforma Agraria adalah hak rakyat dan dengan demikian adalah kewajiban negara yang jika tidak dilaksanakan berarti ada pelanggaran atas hak. Sedang bagi kita, hak rakyat untuk sejahtera, layak di perjuangkan dan di bela. Sejauh ini kita sudah dan sedang memperjuangkan, tapi memang belum apa-apa sehingga konsolidasi rakyat terutama di level perdesaan harus terus dikuatkan agar pada momennya bisa menjadi daya dongkrat yang kuat.[SC]

Sumber: Kalender Bina Desa, 2013

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top