
KENDAL, BINADESA.ORG—Persoalan pertambangan semen di Rembang, Jawa Tengah ternyata menjalar kemana-mana, yang kemudian menyebabkan keresahan warga bahkan sampai ada yang di penjara, dikriminalkan.
Masyarakat desa Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah beberapa tahun ini direpotkan dengan masalah serius sejak lahan garapannya ditetapkan sebagai kawasan hutan. Masyarakat yang merupakan petani melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan lahannya. Cerita selanjutnya mudah ditebak, terjadi penangkapan dan pemenjaraan terhadap petani.
Menurut tim Hukum warga, kriminalisasi 3 orang Petani Surokonto Wetan bermula saat lahan garapan warga secara sepihak ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui SK Menhut No: SK.0321/Menhut-VII/KUH/2014, tertanggal 17 April 2014. Penetapan kawasan hutan itu sendiri lahir setelah sebelumnya lahan garapan masyarakat dijadikan objek lahan pengganti (tukar guling) kawasan hutan yang dipakai oleh PT Semen Indonesia di Rembang untuk pendirian Pabrik Semen
Awal mula petani Desa Surokonto Wetan Kendal berurusan dengan proses hukum sejak 3 Mei 2015 lalu. Aparat kepolisian dari Polsek Pageruyung, Kendal mendatangi rumah kediaman Nur Aziz untuk mengantarkan surat panggilan. Dua personil kepolisian yang datang tersebut mengaku sudah dan hendak mengantarkan surat serupa kepada dua orang lainnya (selain Nur Aziz) di rumah kediaman yang berbeda, yakni Sutrisno Rusmin (64 tahun) dan Mujiyono (40 tahun). Nur Aziz ditetapkan sebagai tersangka sesuai dengan UU P3H dalam perkara pembalakan liar dan penyerobotan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Konflik ini kemudian berlanjut dalam persidangan. Sidang terakhir yang digelar pada pada Rabu, 18 Januari 2017 di PN Kendal dengan agenda pembacaan Putusan 3 orang Petani Desa Surokonto Wetan, Pageruyung, Kendal. Sebelumnya 3 Orang petani yang dikriminalisasi tersebut dijadikan terdakwa dengan menggunakan pasal 94 ayat (1) huruf a dan b UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Dalam putusannya, Majelis Hakim menghukum para terdakwa dengan hukuman masing-masing 8 tahun penjara dan denda masing-masing 8 milyar.
Dalam putusannya majelis hakim tidak bulat, Ketua majelis hakim disenting oponion dan menyebutkan masih ada upaya persuasif yg dapat dilakukan perhutani agar warga dapat menggarap dilahan tersebut. Tetapi majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana dan oleh karenanya itu majelis yg disenting opinion menyampaikan, terdakwa 1 (Nur Aziz) pidana selama 3 tahun, terdakwa 2 (Sutrisno Rusmin) dan terdakwa 3 (Mujiono) dihukum masing masing 2 tahun.
Seusai dibacakan putusan para terdakwa menyatakan secara pribadi permohonan bandingnya. Ironi, petani yang telah puluhan tahun mengelola dan memanfaatkan lahan kini telah menyandang status sebagai terpidana.
Mengenai putusan tersebut, Kahar Muamalsyah mewakili tim advokasi menyatakan “bahwa majelis hakim dalam putusannya gagal memahami tentang ketentuan dalam pasal pidana dalam UU P3H, hal ini terlihat dengan pendapat majelis hakim yg menyebutkan pengecualian pemidanaan hanya diperuntukkan pada masyarakat adat. Padahal masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan dalam hal ini masyarakat desa surokonto seharusnya juga masuk kedalam pengecualian pidana”.
Lebih lanjut lagi, kahar menjelaskan “pasal 11 ayat (3) UU P3H dengan sangat jelas menyebutkan pada pokoknya ancaman pidana tidak ditujukan kepada kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar hutan yg melakukan perladangan tradisional.”
“Atas putusan tersebut kami dari Tim Kuasa Hukum akan mengajukan banding sebagai upaya hukum yg akan kami tempuh” tutup kahar.(###)