Rakyat atau komunitas desa yang kuat adalah syarat mutlak untuk membangun Komunitas Swabina Pedesaan (KSP).
Oleh: Kartjono WS*
Gagasan pengembangan Komunitas Desa Swabina (KDSB) yang diajukan dalam makalah ini merupakan serangkaian pemikiran teman-teman Bina Desa yang sudah lama menjadi topik pembicaraan dilingkungan Bina Desa. Pemikiran KDSB belum menjadi sebuah konsep baku, tapi baru sebatas gagasan yang dikembangkan dari hasil proses refleksi yang panjang selama melakukan pendampngan komunitas pedesaan. Jadi, tulisan ini masih sangat terbuka untuk memperoleh masukan-masukan baik yang bersifat teoritik maupun pengalaman.
Pengembangan KDSB secara garis besar meliputi dua wilayah, yaitu wilayah teoritik atau konsep dan wilayah pengalaman. Namun intinya, KDSB merupakan rekonstruksi pengalaman Bina Desa dalam mewujdukan visi, misi dan tujuannya dalam tataran realitas pedesaan. Dengan proses hubungan dialektik antara teori dan pengalaman maka akan dapat dilahrikan suatu konsep tentang masyarakat alternatif pedesaan, yang kini disebut sebagai Komimitas Desa Swabina.
Yang Harus Diperkuat Adalah Komunitas
Kemunculan gagasan KDSB dilatarbelakangi oleh berbagai aspek, yang meliputi aspek-aspek visi dan misi, tujuan, strategi dan pendekatan Bina Desa dalam merealisasikan sebuah model masyarakat alternatif di pedesaan. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama: Timbulnya gejala-gejala di masyarakat industri yang cenderung individualistik untuk mencari komunitas sebagai perpangkalan sosial, akrean individualisme yang berlebihan tanpa ada akomodasi pada tingkat komunitas akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan di antara lapisan masyarakat. Sehingga hubungan-hubungan dalam format baru antara komunitas dan individu sebagai alternatif yang akan merubah pola hubungan yang timpang (komunitas terlalu dominan atau sebaliknya individu terlalu dominan) perlu selalu dicari pemecahannya di dalam masyarakat itu sendiri.
Kedua: Institusi-institusi lama yang ada di pedesaan yang berakar kuat di masyarakat sudah tidak fungsional lagi untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, sedangkan institusi-institusi baru yang dibentuk negara untuk melakukan modernisasi tidak berakar sama sekali di masyarakat, sehingga praktis juga tidak fungsional. Sehingga diperlukan institusi-institusi baru yang berakar dalam masyarakat dan fungsional dalam menajwab persoalan-persoalan baru (modernisasi, globalisasi, liberalisasi ekonomi, dan lain-lain). Organisasi-organisasi Rakyat (OR) di pedesaan diharapkan menajdi kekuatan alternatif dalam lingkungan komunitas bersama-sama komunitasnya berperan melakukan transformasi sosial.
Ketiga: Berkembangnya pemikiran-pemikiran baru bahwa demokrasi berdasarkan sistem perwakilan saja dipandang tidak mencukupi lagi, sehingga perlu diperkuat oleh komunitas di tingkat basis sebagai pelaku langsung demokrasi dan pelaku kontrol sosial. Untuk itu perlu ada upaya jangka panjang untuk memperkuat komunitas sebagai basis demokrasi.
Keempat: Tumbuhnya kritik-kritik masyarakat internasional terhadap sistem perwakilan pada tingkat internasional dimana ternyata masyarakat tidak terwakili, karena perwakilan yang ada sebenarnya adalah perwakilan pemerintah-pemerintah, sedangkan pemerintah tidak selalu mewakili rakyat (people), masyarakat (society) dan komunitas (community). Oleh karena itu perlu ada perwakilan dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mempunyai akses langsung pada komuntias.
Kelima: Banyaknya LSM-LSM yang bekerja pada tataran pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang cenderung bersifat parsial dan eksklusif dalam suatu wilayah sehingga menciptakan enclave-enclave di dalam lingkungan masyarakat yang teralienasi dengan realitas struktural yang mereka hadapi. Dengan demikian perlu pendekatan baru yang dapat melibatkan proses partisipasi penuh dari komunitas untuk secara bersama-sama melakukan transformasi sosial.
Berdasarkan pengalaman, perkembangan-perkembangan pemikiran, munculnya fenomena-fenomena baru dalam kehidupan masyarakat, maka untuk menghadapi dunia yang makin kompleks (rumit) dan kontras (penuh pertentangan, kontraversi, berlawanan, kesenjangan, ketimpangan) disimpulkan bahwa untuk menciptakan realitas yang lebih baik yang harus diperkuat adalah komunitas, oleh karena itu pendekatan komunitas dalam program-program pengembangan masyarakat pedesaan merupakan pendekatan yang strategis.
Pokok-pokok Pikiran
KDSB secara sederhana diartikan sebagai komunitas desa yang membina dirinya sendiri. Didalamnya secara implisit memiliki kemandirian, baik dalam mengelola dan menjalankan institusi-institusi kemasyarakatan (sosial, ekonomi, politik dan budaya), pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya sosial-ekonomi yang ada di lingkungan komunitas.
Kemandirian yang dimaksud dalam gagasan ini adalah kemandirian relatif, bukan kemandirian absolut. Karena saat ini sebagian besar desa-desa di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera adalah desa-desa yang telah lama terbuka dan terintegrasi dengan sistem luar yang direpresentasikan oleh kekuatan-kekuatan negara maupun non-negara. Jauh sebelum kemerdekaan, formasi sosial di wilayah pedesaan telah banyak berubah sebagai akibat penetrasi kapitalisme yang dibawa oleh pemerintahan kolonial. Bersamaan dengan itu institusi negara kolonial dibangun menggantikan pranata-pranata sosial-ekonomi pedesaan yang tadisional. Struktur ini terus menerus diwariskan hingga sekarang. Bahkan sejak periode 1970-an penertrasi kapitalisme semakin meningkat dengan dijalankannya program revolusi hijau.
Sangat sulit bagi kita sekarang ini untuk membayangkan adanya komunitas desa yang steril dari campur tangan kekuatan luar. Meskipun ada, jumlahnya tidak begitu banyak. Dengan begitu konsep kemandirian yang tercermin dalam KDSB adalah bukan kemandirian yang sama s ekali tidak tersentuh dengan relasi-relasi kekuatan luar, tapi kemandirian dalam menentukan posisi tawar dalam rangka tranformasi sosial. KDSB bukan berarti harus kembali surut ke belakang sebagaimana tawaran pendekatan budaya dalam arti sempit, kembali ke tradisionalisme, mengisolasi diri dari dunia luar, atau menolak modernisasi. Yang terpenting adalah bagaimana merombak struktur masyarakat yang eksploitatif menjadi masyarakat yang egaliter dengan muatan visi dan nilai-nilai sosial baru.
KDSB adalah komunitas baru yang merupakan transformasi dari komunitas yang ada sebagai hasil dari perubahan-perubahan internal dalam komunitas itu sendiri dan pengaruh-pengaruh eksternal yang masuk. Jadi KDSB adalah komunitas baru yang maju dan tetap berdiri diatas akar sosial budayanya. Ia juga merupakan kekuatan rakyat pedesaan yang sesungguhnya karena dibangun atas dasar kepentingan dan oleh warga komunitas desa sendiri.
Hal pokok untuk sampai pada KDSB adalah adanya manusia-manusia pedesaan yang merdeka. Syarat utama terciptanya kemandirian atau kemampuan membina dirinya sendiri adalah kemerdekaan. Basis materil pembangunan manusia merdeka adalah dimilikinya atau dikuasainya alat produksi oleh mereka sendiri. Tanma pemiliki alat produksi, setiap orang gtergantung pada pihak lain dan tidak memiliki kekuasaan untuk memutuskan segala kebijakan yang menentukan jalan hidupnya. Karena itu, KDSB tidak bisa dilepaskan dengan persoalan-peersoalan yang berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan alat produksi, dalam hal ini tanah dan sumber-sumber agraria lainnya.
Secara garis besar ada tiga transformasi yang harus dilalui dalam pembangunan KDSB. Pertama, transformasi di bidang politik. KDSB akan sulit diwujdukan bila struktur politik yang ada tidak demokratis. Kemandirian dalam pengambilan keputusan dapat terjadi bila tatanan politik di tingkat komunitas memberi ruang yang bebas bagi anggota-anggotanya tanpa ada tekanan dalam bentuk apapun dari pihak lain. Iklim kebebasan akan menciptakan partisipasi penuh bagi anggota-anggota komunitas dalam proses politik di tingkat lokal. Karena itu, sistem demokrasi yang dianut KDSB adalah demokrasi langsung, bukan demokrasi perwakilan. Selain itu, KDSB juga menganut prinsip desentralisasi kekuatan. Karena inti dari demokrasi sejati adalah power sharing.
KDSB tidak bisa terwujud dengan institusi-institusi politik yang ada saat ini di pedesaan. Karena sebagian besar institusi-institusi politik yang ada tidak lain adalah perpanjangan tangan dari negara atau kekuatan-kekuatan politik di luar komunitas desa. Dengan demikian tranformasi politik dan pembangunan institusi-institusi politik yang berakar pada kepentingan komunitas menjadi persyaratan bagi terwujudnya KDSB.
Kedua, transformasi di bidang sosial-ekonomi, KDSB sulit terwujud bila struktur sosial-ekonomi yang ada bersifat eksploitatif. Eksploitasi sosial-ekonomi terjadi karena adanya dominasi dan ketergantungan komunitas dengan pihak luar yang menguasai alat dan akses produski serta pasar. Membangun realasi dan interaksi dengan pihak luar tidak berarti menciptakan dominasi dan ketrgantungan, tapi menciptakan kesetaraan dalam posisi tawar. Yang terjadi saat I ni di pedesaan adalah sebaliknya. Akar masalah tersebut adalah adanya ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya sosial-ekonomi, seperti sumber-sumber agraria, teknologi, dan pasar. Jalan yang ditempuh untuk membangun KDSB adalah dengan cara melakukan perombakan dan penataan kembali struktur sosial-ekonomi yang ada di komunitas pedesaan, dan melahirkan struktur sosial-ekonomi yang lebih adil. Reforma Agraria sebagaimana yang seringkali dibicarakan selama ini adalah jalan yang strategis untuk mengubah struktur yang eksploitatif tersebut. Semua itu sebagai syarat untuk mewujudkan KDSB.
Ketiga, transformasi di bidang budaya. KDSB akan sulit terwujud bila lbudaya yang ada masih mengandung sifat-sifat feodalisme, patriarki, pragmatisme, dan konsumerisme. Jenis-jenis budaya ini adalah hasil reproduksi dari sistem sosial, ekonomi dan politik yang eksploitatif, diskriminatif dan tidak demokratis. Konsep budaya yang ada didalam KDSB adalah budaya yang dilahirkan dari proses emansipasi sosial.
Agenda dan Strategi
Bagi Bina Desa, upaya untuk mewujudkan KDSB, tahun-tahun terakhir penyebutannya menjadi “Komunitas Swabina Pedesaan” (KSP) adalah menciptakan persyaratan-persyaratan transformasi tersebut melalui pengembangan dan penguatan organisasi-organisasi masyarakat sipil pedesaan. Strategi yang ditempuh adalah dengan cara melakukan pendampingan atau pengorganisasian komunitas pedesaan. Di dalam pendampingan terkandung upaya penumbuhan kesadaran kritis melalui proses pendidikan dan penguatan jaringan di tingkat komunitas basis. Hasil yang diharapkan dari proses pendampingan adalah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi rakyat di pedesaan.
Upaya untuk mewujudkan KSP adalah menciptakan persyaratan-persyaratan transformasi tersebut melalui pengembangan dan penguatan organisasi-organisasi masyarakat sipil pedesaan. Strategi yang ditempuh adalah dengan cara melakukan pendampingan atau pengorganisasian komunitas pedesaan. Di dalam pendampingan terkandung upaya penumbuhan kesadaran kritis melalui proses pendidikan dan penguatan jaringan di tingkat komunitas basis. Hasil yang diharapkan dari proses pendampingan adalah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi.
GBHO (Garis Besar Haluan Organisasi) Bina Desa salah satunya menyebutkan bahwa tujuan umum Bina Desa adalah penguatan rakyat untuk menciptakan kondisi rakyat yang kuat dan berdaulat oleh rakyat sendiri yang didasari oleh kesadaran transformatifnya.
Ciri-ciri rakyat yang kuat adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan praktis dan kepentingan-kepentingan strategis rakyat, yang meliputi: a) meningkatnya kondisi sosial ekonomi dan posisi tawarnya; b) pertumbuhan solidaritas sosial; c) perkembangan vokasionalisme di kalangan rakyat, yaitu personal-personal yang memiliki wawasan dan ketrampilan serta memiliki komitmen yang kuat untuk transformasi sosial; d) peningkatan tuntutan komunitas akan pemerataan (politik, ekonomi, sosial dan budaya); e) kemajuan dalam kesadaran akan kesetaraan gender; f) peningkatan kontrol sosial; g) sikap dan tindakan yang kongkrit dan positif dalam pelestarian lingkungan hidup; h) tumbuhnya keberanian untuk menuntut hak-hak dasar sosial, ekonomi, politik dan budaya yang lebih adil.
Rakyat atau komunitas desa yang kuat adalah syarat mutlak untuk membangun Komunitas Swabina Pedesaan (KSP). Ada beberapa agenda utama dalam rangka mencapai tujuan tersebut;
Pertama: Pengembangan dan penguatan organisasi-organisasi rakyat di pedesaan melalui pendampingan komunitas;
Kedua: Pengembangan dan penguatan jaringan organisasi-organisasi rakyat di pedesaan melalui pembangunan aliansi strategis;
Ketiga: Advokasi kebijakan yang berkaitan dengan masalah-masalah pedesaan yang dilakukan langsung oleh organiasi-organisasi rakyat dengan dukungan kelompok-kelompok civil society lainnya (NGO, mahasiswa, dll);
Keempat: Pengembangan sosial-ekonomi pedesan yang berorientasi pada penggunaan sumberdaya lokal dan berkelanjutan.
Diharapkan dengan berbagai masukkan agenda dan program setidaknya prasyarat dalam pembangunan KSP dapat diwujudkan, meskipun dalam realisasinya di tingkat komunitas sangat bervariasi karena tergantung pada kondisi lokal di masing-masing komunitas.
Lagi pula komunitas bersifat chaostik yang keberadaan dan perkembangannya tidak bsia direkayasa sebagaimana keberadaan benda-benda mati. Yang bisa kita perbuat adalah menciptakan kondisi dan ruang untuk terwujudnya Komunitas Swabina Pedesaan. (*)
*Disunting Sabiq Carebesth dari makalah “Komunitas Desa Swabina Dalam Perspektif Pembangunan Civil Society Di Pedeasan” oleh Direktur Ekskutif Bina Desa periode 1900-an (alm) Kartjono. Makalah tersebut disampaikan penulisnya dalam seminar sehari tentang Konsep Desa Swabina, diselenggarakan pada tgl. 26 Januari 2001 di Guest House Graha Kencana BKKBN – Jakarta.