Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kaku belum menciptakan pemerataan kesejahteraan akibat haluan kebijakan yang didikte kekuatan pasar. Pembangunan industri manufaktur dan pertanian yang stagnan membuat kesenjangan pendapatan melebar. (Kompas; 03/4)
Secara faktual, ada dua hal yang bisa dicermati. Pertama: dengan pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun, pada 2015 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta jiwa. Penduduk sebanyak itu memerlukan beras dengan produksi setara 68,47 juta ton gabah kering giling. Untuk memenuhi beras sebanyak itu, dibutuhkan lahan padi 13,38 juta hektare. Namun, pada 2015 hanya tersedia lahan 13,20 juta hektare. Lahan itu saja masih tergerus alih fungsi. Singkatnya, Indonesia akan mengalami defisit lahan pangan seluas 730.000 hektare pada tahun 2015.
Kedua: Indonesia memang tampak belum serius mengurusi sektor pertanian dan masih menjadikannya anak tiri—bahkan sapi perahan bagi industrialisasi dan perdagangan berorientasi ekspor. Hal itu tampak misalnya pada kebijakan anggaran. Alokasi anggaran pada subsidi pangan dan pertanian pada APBN 2013 hanya Rp41,4 triliun, lebih rendah dari Rp42,7 triliun di APBNP 2012.
Nah, apa guna pertumbuhan finansial yang tinggi kalau hanya menguap dan kita kehabisan sumber daya karena sudah habis dijual kepada investasi asing? Bagaimana pertumbuhan yang faktor utamanya dari sektor konsumsi pangan hendak dipertahankan, kalau rakyat kebanyakan pendapatannya makin turun akibat kerusakan struktural di kantong-kantong kemiskinan, terutama di pedesaan?
Kesenjangan Pendapatan Makin Lebar
Harian KOMPAS (03/4) memberitakan pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa memberikan pemerataan kesejahteraan karena masih didikte kekuatan pasar. Pembangunan industri manufaktur dan pertanian yang stagnan membuat kesenjangan pendapatan melebar.
Demikian benang merah laporan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertajuk Kebijakan Ekonomi 5 Tahun Mendatang: Merebut Momentum, Membalik Keadaan, yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (2/4). Laporan ini diluncurkan Direktur Indef Enny Sri Hartati serta pendiri Indef, Didin S Damanhuri, Muhammad Fadhil Hasan, dan Didik J Rachbini.
Laporan ini mengevaluasi kinerja perekonomian 10 tahun terakhir yang disertai analisis peluang dan momentum menggunakan 10 indikator. Hasilnya, rasio gini mencapai 0,413 yang bermakna kesenjangan melebar karena penciptaan lapangan kerja oleh industri berorientasi ekspor, seperti manufaktur dan pertanian, stagnan.
Selain rasio gini, indikator yang diukur antara lain kerapuhan pertumbuhan ekonomi, kelambanan penurunan tingkat pengangguran terbuka, penurunan nilai tukar petani dari 117 pada 2004 menjadi 107 pada 2013, dominasi pekerja informal di pasar kerja (59,58 persen), inefisiensi anggaran, dan defisit neraca perdagangan.
”Pemilu adalah momentum memperbaiki keadaan. Pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas karena meski tingkat pengangguran berkurang, jumlah orang miskin tidak turun signifikan sehingga kesenjangan terus melebar,” kata Fadhil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 28,55 juta penduduk miskin yang tersebar di kota dan desa pada September 2013. Mereka berpenghasilan Rp 292.951 per kapita per bulan.
Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Jawa Timur (4,86 juta jiwa), Jawa Tengah (4,7 juta jiwa), dan Jawa Barat (4,38 juta jiwa). Adapun di luar Pulau Jawa, Sumatera Utara memiliki penduduk miskin terbanyak (1,39 juta jiwa).
Di sisi pengangguran terbuka, sebanyak 7,39 juta orang dari 118,19 juta angkatan kerja pada Agustus 2013 masih menganggur. Masalah lain, 52 juta pekerja (46,9 persen) dari 110,8 juta orang yang bekerja masih berpendidikan SD ke bawah.
Didin mengungkapkan, strategi pembangunan dengan pendekatan produk domestik bruto (PDB) membuat investor lebih tertarik pada sektor bisnis tertentu. Didin mencontohkan, investasi properti di Papua, seperti hotel dan mal, lebih mudah mendapat kredit ketimbang perikanan.
”PDB yang tumbuh 5-6 persen diisi oleh sektor industri bukan penghasil barang berorientasi ekspor yang tidak sensitif terhadap penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Menurut Didin, jumlah penduduk hampir miskin mencapai 125 juta orang. Pertumbuhan ekonomi 5,78 persen pada 2013 tidak banyak menolong mereka dengan pengeluaran 2 dollar AS (Rp 23.000) per hari.
Surplus sektor perkebunan
Enny mengatakan, selama 10 tahun terakhir, Indonesia kehilangan banyak momentum untuk menjadi lebih baik dalam hal ketahanan pangan dan energi. Peluang tersebut sebenarnya bisa terwujud jika pemerintah memiliki niat baik dan konsistensi kebijakan.
Kebutuhan komoditas pangan strategis, seperti beras, jagung, kedelai, dan daging, masih mengandalkan impor. Surplus perdagangan sektor pertanian hanya ada di perkebunan, terutama kelapa sawit. ”Mesti ada transformasi ke industri berbasis pertanian, seperti hilirisasi yang didukung kebijakan,” kata Enny.
Realitas kesenjangan pendapatan yang terus melebar cukup meresahkan kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pemerintah harus melakukan upaya nyata untuk mempersempit kesenjangan pendapatan tersebut agar tidak muncul masalah sosial seperti di Tunisia dan Mesir yang rasio gini-nya mencapai 0,45.
Sofjan meminta pemerintah serius membenahi masalah struktural sektor pertanian yang justru berkembang menjadi kantong kemiskinan di daerah. Pemerintah wajib mendampingi para petani dengan menyediakan tenaga penyuluh dan lain-lain.
Dari 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian pada 2013, sebanyak 14,25 juta rumah tangga (55,33 persen) masuk kategori petani gurem. Pertumbuhan penduduk, keterbatasan ekonomi, dan alih fungsi kawasan pertanian untuk permukiman membuat rata-rata rumah tangga usaha pertanian kini memiliki lahan seluas 0,89 hektar saja.
Sementara untuk sektor industri padat karya, Sofjan meminta pemerintah membenahi regulasi ketenagakerjaan agar iklim investasi menjadi kondusif.
Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia Elisa Sinaga menuturkan, industri keramik tumbuh, tetapi secara umum turun karena hampir semua mesin industri keramik masih datang dari luar. Menurut Elisa, hal ini karena belum ada produsen mesin keramik di Indonesia.
Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri beserta jajaran menggelar pertemuan di Jakarta, Selasa petang. Mereka membahas peningkatan pertumbuhan industri yang diiringi efisiensi barang impor berupa barang modal dan bahan baku penolong.
Kemenperin dan Kemenkeu akan menyiapkan kebijakan tersebut bersama. Chatib mengatakan, tujuan ke depan bukan semata menurunkan impor, melainkan juga untuk menumbuhkan industri dasar di dalam negeri mulai dari besi baja hingga petrokimia.
Di tempat terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Prof Dwi Andreas Santosa mengatakan, sejak 2003 hingga 2013, sebanyak 5,1 juta rumah tangga petani kehilangan lahan pertanian. Sebelumnya mereka mempunyai 1.000 meter persegi. (HAM/CAS/MAS)
Tidak Pro Rakyat
Sementara itu, masyarakat mengomentari beragam. Hansen Hansen misalnya menyebut arah pembangunan kita memang sudah tidak pro-rakyat. “Semenjak sekitar 20 tahun yang lalu, di ujung masa Orba, kemudian reformasi 1998 arah pembangunan kita memang sudah semakin tidak pro rakyat. Pendidikan dianaktirikan sehingga saat ini kita menuai hasilnya dimana angkatan kerja saat ini tidak memiliki kompetensi dan kemampuan untuk bersaing dan tidak produktif. Kesenjangan ini ya cuma dampak dari ketidakmampuan angkatan kerja dalam mendapat pekerjaan yang layak atau kemampuan mereka dalam menciptakan lapangan kerja yang produktif.
Hal senada juga dikatakan soegeng syndicate, katanya Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono serta para menteri bidang ekonomi perlu membaca laporan ini. Semua itu dimata rakyat benar adanya, bukan fitnah dan bukan gosip. Tapi fakta. Oleh sebab itu, para pejabat pemerintah mulia dari SBY, Boediono, para menteri ekonomi dan pejabat terkait, sebelum lengser hendaknya minta maaf kepada rakyat, karena anda sekalian tidak berhasil mengemban misi suci, panggilan sejarah menyejahterakan rakyat Indoneia. Anda sekalian SBY, Boediono, dan para menteri ekonomi sudah kaya raya dan menikmati fasilitas negara, tapi rakyat masih tertinggal jauh di belakang. Harusnya seperti kapal dan Nahkoda. Kalau ada apa-apa, justru nahkoda PALING BELAKANG turun dari kapal dan mendahulukan seluruh penumpang. Itulah sebabnya, Jokowi tanpa kampanye pasti menang, karena sebagai pendulum, kebalikan SBY yang hanya hobi pencitraan belaka. Semua diseting untuk pencitraan, termasuk rapat kabinet tiap pekannya, itu hanya pencitraan. Buktinya banyak rapat kabinet tidak mengubah apa-apa tetang harkat dan martabat rakyat untuk sejahtera.
Sementara itu kritik juga diberikan kepada kalangan pengusaha. Kepada Bpk Sofjan Wanandi selaku Ketua APINDO, alex silalahi menyatakan “Soal kesenjangan, janganlah salahkan pemerintah saja. Pengusaha yang mesti jujur dengan margin keuntungannya, serta tanggung jawab sosial yang mesti tulus. Pemerintah dan negara ini telah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas sangat besar ketimbang rakyat biasa dan pekerja. Pengusaha di negeri ini banyak yang serakah dan tamak, penyebab kesenjangan.” Jangan tamak donk..!
Rep: SC
Foto: get/kompas