MAJENE, BINADESA.ORG–Sulit dipungkiri, dengan tergerusnya pengetahuan lokal (local knowledge) para petani terkait budidaya pertanian, serta banyaknya bantuan input kimia bagi petani yang juga banyak menimbulkan masalah, menjadikan petani kian kelimpungan dalam mengatasi masalahnya. Efek yang paling kentara ialah petani tak berdaya menangani serangan hama. Selain itu, petani tidak bisa berpikir aktif dalam menemukan solusi terhadap permasalahan kehidupan dirinya dan tanahnya.
Realitas demikian yang menjadi dasar Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat (LIAR) berkerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Agroteknologi Universitas al Asyaria Mandar (Himagrotek Unasman) mengadakan pendidikan penyuluh pertanian bagi mahasiswa pertanian di Kampus II Unasman, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Peserta dalam kegiatan itu berasal dari mahasiswa dari beberapa kampus Unasman yang terpisah, di antaranya Kampus III Mamasa, Kampus Induk Polewali Mandar, dan Kampus II Malunda Majene selaku pelaksana kegiatan.
Kegiatan yang berlangsung selama 3 hari dari tanggal 14-16 Januari 2017 itu menitikberatkan kepada lahirnya pemahaman di kalangan mahasiswa sebagai generasi pelanjut dalam membangun dunia pertanian yang berkelanjutan berbasis kearifan lokal.
“Mahasiswa pada gilirannya nanti akan memegang peran penting membangun dunia pertanian. Jadi harapan kami, lahir penyuluh-penyuluh yang punya rasa peduli terhadap realitas petani,” papar Lukman Rahim selaku fasilitator dari LIAR.
Selain pemberian materi, peserta melakukan kunjungan lapangan serta mencari informasi dan mendalami masalah petani di desa yang menjadi tempat kunjungan, yakni Desa Kayuangin, Kecamatan Malunda.
“Alasan kenapa kami memilih Kayuangin karena kami sudah sepakat dengan Kepala Desa untuk menjadikan Desa Kayuangin ini menjadi desa mitra kami untuk mengembangkan pertanian yang berkelanjutan,” ujar Amir selaku Ketua Himagrotek Unasman.
Dari hasil kunjungan lapangan yang dipresentasikan masing-masing kelompok peserta ditemukan bahwa jika petani di Desa Kayuangin banyak mengalami masalah seperti serangan hama, penurunan hasil produksi, pencemaran air sawah dengan bahwan kimia yang mengakibatkan rasa gatal ketika terkena kulit, serta ketergantungan petani terhadap produk kimia dan tidak efektifnya peran penyuluh pertanian.
“Penyuluh hanya datang membawa pupuk dan memberi tahu cara pemakaian tanpa mengetahui dulu masalah petani,” ungkap Rian, salah satu peserta.
Selain itu, berdasarkan hasil penulusuran peserta, nilai gotong royong petani mulai berkurang karena banyaknya program yang datang memberikan uang ongkos transportasi saat pelatihan atau pertemuan manjadikan petani sudah enggan duduk bersama guna membicarakan masalah mereka.
Sementara pada bagian akhir pendidikan, peserta berdiskusi merumuskan langkah-langkah dalam mengembangkan pertanian di Desa Kayuangin berbasis kearifan lokal yang berkelanjutan. (###)