SEPERTI kisah dalam Ripley’s Believe It or Not!, drama lonjakan harga bawang mengungkap statistik perdagangan yang mencengangkan. Jumlah importir bawang kini mencapai 114 perusahaan, dari sebelumnya sekitar 20-an perusahaan. Permohonan rekomendasi impor pun melejit menjadi 5,14 juta ton, dari 203.732 ton pada 2012.
Bagaimana dengan keuntungan? Jika dihitung, pada saat harga tinggi di tingkat konsumen akhir, keuntungan bersih importir bisa mencapai Rp700 juta−Rp1,25 miliar per kontainer. Ini berarti, dalam kasus 200 kontainer bawang yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, importir semestinya mendulang keuntungan Rp380−Rp6.580 miliar dalam sekali “drama” lonjakan harga. Menggiurkan bukan?
Tentu saja pertanyaannya adalah benarkah lonjakan harga komoditas itu berlatar ketimpangan dalam “penawaran dan permintaan”—dalih yang belakangan kerap dikaitkan dengan alasan perubahan iklim sebagai faktor kelangkaan pasokan? Faktanya tak selalu begitu. Dalam banyak kasus, teori itu justru membantu persalinan monopoli dan rekayasa harga di kalangan pebisnis besar yang menerapkan stelsel atas konsumen dan produsen kecil.
Hal yang lebih ironis adalah kebijakan negara yang kerap kontra produktif dari cita-cita mulia menyejahterakan rakyat. Dalam kasus impor komoditas pangan, misalnya, pemerintah mengambil kebijakan pembatasan kuota impor melalui Permentan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, serta pembentukan kawasan terbatas untuk free trade di beberapa pelabuhan. Tapi di saat yang sama, Kementerian Keuangan justru mengeluarkan aturan yang membebaskan bea masuk 59 produk impor bahan baku pangan, termasuk pakan ternak, terigu (gandum), dan beras. Langkah ini tak pelak mengundang banjir produk impor.
Berkaca lebih jauh, ada tiga hal yang bisa kita cermati dari konteks monopoli dan oligopoli perdagangan (pangan) nasional. Pertama, ada kerancuan dalam tata-negara ihwal siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kekacauan tata kelola niaga yang merugikan konsumen dan produsen. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan tidak memberi kejelasan soal ini. Pasal 36 Ayat (3) UU Pangan hanya menyebutkan, “Kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.”
Dalam konteks kemudian tampak menjadi tidak jelas antara menteri penanggung jawab produksi dengan menteri yang mengatur perdagangan pangan. Kalau koordinasi mudah di mulut, bagaimana implementasinya?
Kedua, kekacauan tata niaga. Kendati impor pangan dibolehkan dalam UU Pangan, namun izin itu bersyarat ketat, yakni jika produksi dan cadangan pangan kurang, kebutuhan pangan tidak bisa diproduksi secara nasional, dan adanya jaminan bahwa kebijakan impor tidak merugikan produsen kecil. Namun, yang terjadi justru volume impor tetap saja menunjukkan resonansi yang cukup tinggi, sekalipun beberapa komoditas hortikultura masih bisa dipenuhi produsen lokal.
Tampaknya, para pengusaha berpikir selangkah lebih maju. Ketika harga melambung tinggi, mereka memahami target inflasi terancam, gejolak pasar bakal terjadi dan kerawanan politik pun mengemuka. Bisa ditebak, pemerintah terjerat perangkap yang dibuatnya sendiri—dan sekali lagi masyarakat yang menjadi korban. Pilihan mereka kian sulit: mengalah ke pedagang spekulan komoditas yang memainkan stelsel, atau menahan barang haram masuk ke pasar dengan ongkos inflasi tinggi dan kerawanan politik.
Ketiga, fakta ketidakberdayaan negara di hadapan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) dalam sistem ekonomi pasar. Walau kartel diharamkan dalam UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, praktik kartel sudah jadi rahasia umum dalam perdagangan di dalam negeri. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Perancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Cina, dan bawang merah dari Filipina serta Malaysia. Lalu, di mana nasib petani produsen pangan kita? Tampaknya negara tak terlalu ambil peduli dengan nasib petaninya sendiri. Kenaikan harga bawang (merah dan putih) yang melonjak hampir 50−70 persen pada 2013 ini adalah harga tertinggi sepanjang sejarah.
Menata Negara dan Niaga
Kendati demikian, kita masih beruntung. Krisis lonjakan harga komoditas belum sampai menjadi krisis pangan secara keseluruhan. Tapi sebelum hantu perdagangan itu bermetamorfosis menjadi krisis multidimensi, kita harus menyadari betapa pentingnya tata negara dan tata kelola niaga yang sehat dan bermartabat demi kedaulatan pangan.
Persisnya, kita perlu kelembagaan pangan yang kokoh dan terintegrasi. Kelembagaan pangan sesungguhnya adalah mandat UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan yang kewenangannya di serahkan ke Presiden. Idealnya, tentu saja lembaga pangan yang baru harus bergerak dari proses produksi sampai distribusi. Selain itu lembaga pangan juga harus melindungi produsen pangan, khususnya produsen skala kecil. Lembaga pangan juga diharapkan bisa menjadi tempat tanggung gugat, bila terjadi kasus pangan yang menyimpang seperti fenomena kenaikan harga bawang.
Tak bisa dipungkiri, khusus untuk bawang putih, Indonesia memang bukan sentra produksi utama. Namun, tidak adanya manajemen stok, yang tampak dari tidak adanya gudang dan lembaga yang mengurusi laiknya beras, mengindikasikan pentingnya pembentukan kelembagaan pangan yang kuat. Selain menjalankan fungsi stok dan pergudangan, lembaga juga semestinya menjamin pasokan pangan agar tidak sampai memicu krisis dalam negeri. Dalam hal ini kita harus belajar banyak dari kebijakan ‘pemenggalan’ peran lembaga pangan nasional, Bulog, atas rekomendasi moneter dan fiskal IMF (International Monetary Fund). Krisis dan lonjakan aneka komoditas yang kita rasakan hari ini masih dampak dari rekomendasi membunuh IMF.
Di luar itu, perlu pula pemantapan sektor pertanian sebagai pilar pembangunan dan ekonomi demi pemerataan keadilan. Ekonomi pertanian tidak bisa hanya pada soal distribusi dan konsumsi atau tata niaganya saja, tapi juga harus menyentuh pokoknya, yaitu penataan dan akses produsen kecil ke alat produksi via program pembaruan agraria yang difasilitasi negara.[]
*Sabiq Carebesth, redaktur binadesa.co