Bina Desa

Jungkir Balik Penguasaan SDA di Indonesia

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia memperoleh devisa dari ekspor minyaknya, meskipun bukan satu-satunya. Krisis bahan bakar dunia bermula pada 1973 ketika harga minyak mentah melonjak dari US$ 2 menjadi US$ 12 per barel. Pemerintah ketika itu memandang periode 1973 sampai 1979 sebagai masa kejayaan sektor minyak, walaupun produksinya hanya 2,13 persen dari total produksi minyak dunia.

Krisis tersebut ternyata merupakan awal kebangkitam masyarakat dunia untuk beralih ke energi terbarukan dan mengembangkannya. Sayangnya, kebangkitan yang satu ini tidak dicermati oleh Indonesia. Kini, negara ini telah turun peringkatnya menjadi net oil importer.

Krisis dan Kemandirian Energi

Menurut, Atmonobudi Soebagio, Guru Besar Teknik Energi dan Ketua Center for Research and Policy Study of Renewable Energy Applications—UKI, suatu negara dikatakan memiliki ketahanan nasional yang kuat apabila memiliki kemandirian di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu pilar utama dari kemandirian ekonomi adalah tingginya tingkat keamanan suplai energinya.

“Lemahnya kepekaan akan krisis energi di awal 1970-an tersebut tampaknya terulang kembali. Ekspor batu bara telah meningkat tajam dalam lima tahun terakhir, padahal hanya 25 persen yang diperlukan untuk kebutuhan domestik. Menurut International Energy Agency (IEA) potensi batu bara Indonesia 4,8 miliar ton, sedangkan menurut Direktorat Pengusahaan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Kementerian ESDM adalah sebesar 104,76 miliar ton.” Kata  Atmonobudi Soebagio lebih lanjut.

Apakah data pemerintah tersebut yang menjadi penyebab lonjakan ekspor? Apa yang terjadi bila data IEA lebih akurat? “Ini hanya sebuah contoh dari masih adanya kontradiksi kebijakan yang berpotensi memperlemah kedaulatan dan keamanan energi nasional di tengah krisis ganda yang sedang kita alami.” Jawab Atmonobudi Soebagio.

Lebih jauh menurutnya, definisi pembangunan berkelanjutan, sebagaimana tercantum pada Brundtland Report (WCED, 1987) berbunyi: “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

“Bila definisi tersebut diaplikasikan ke dalam konteks energi, tampak jelas bahwa pemberian izin ekspor batu bara secara besar-besaran sangat bertentangan dengan prinsip kemandirian energi nasional yang seharusnya kokoh dan berkelanjutan.” Ujarnya.

Dalam kurun waktu empat puluh lima tahun terakhir pengelolaan SDA di Indonesia ditantang oleh sejumlah kekuatan-kekuatan internasional berupa konteks baru perampasan tanah global untuk kepentingan produksi-produksi energi nabati dan pangan. Secara prinsipil hal itu sesungguhnya bertentangan dengan tujuan menyemestakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat karena para pemain utama bisnis produksi-produksi energi nabati dan pangan berskala global tersebut adalah perusahaan-perusahaan transnasional seperti industri-industri perminyakan, perlistrikan, otomotif, transportasi, agroindustri, petrokimia dll, maka tantangan itu tidak boleh dipandang remeh.

Tantangan mana meningkat menjadi ancaman setelah negara menyediakan sejumlah kemudahan-kemudahan hukum. ”Dukungan hukum mana dibuktikan melalui pengesahan Undang-undang Penanaman Modal 1967:1, Undang-undang Kehutanan 1967:5 dan Undang-undang Pertambangan 1967:11 oleh  Suharto, yang pada intinya mendukung (bahkan mengundang dengan segala suka cita kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut untuk beroperasi di seluruh wilayah Indonesia.” Kata pakar Hukum Agraria Maria Rita Ruwiastuti.

Data ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria menunjukan ketimpangan yang tengah berlangsung.

BPN (Badan Pertanahan Nasional) menyebut bahwa 56% dari seluruh asset berupa properti-properti, tanah dan perkebunan-perkebunan besar di Indonesia dikuasai hanya oleh 0.2% orang-orang terkaya di Indonesia; sementara di lain pihak terdapat 56% rumah tangga petani yang sama sekali tak bertanah atau menguasai tanah pertanian seluas kurang dari 0.5 ha. Sementara data dari JATAM (Jaringan Tambang) menyebut bahwa 35% daratan di Indonesia sudah dialokasikan oleh pemerintah untuk mendukung keperluan pertambangan (mining) yang sudah tentu dilengkapi dengan suatu hak resmi bersertifikat (legaly) bagi perusahaan-perusahaan pertambangan swasta baik bermodal nasional maupun patungan. Perkebunan sawit dan wilayah pesisi yang menjadi jagad mental dan penghidupan petani gurem perkebunan dan nelayan tradisional tidak jauh berbeda kondisinya. SAWIT WATCH mencatat bahwa hingga Juni 2012 Pemerintah Indonesia telah menerbitkan hak resmi bersertifikat kepada sejumlah enam ratus buah perusahaan guna menguasai tanah yang luas seluruhnya mencapai 9.400.000 ha; luasan mana akan terus bertambah menjadi 26.700.000 ha pada tahun 2020. (Sumber: Tajuk Rencaana harian umum KOMPAS, “Pesan dari pengunjuk rasa” Sabtu, 14 Januari 2012 hlm 6.) Sementara analisis KIARA menunjukan, ada 240 kota pantai di seluruh Indonesia menjadi target reklamasi yang mengakibatkan sedikitnya 17.000 kepala keluarga yang hidup di wilayah pesisir di Indonesia kehilangan haknya mengolah kawasan dan bahkan tergusur oleh politik reklamasi dan penguasaan asing atas kelola pesisir Indonesia. Sampai saat ini, total pengkavlingan lahan pesisir yang dikonversi dalam bentuk daratan hasil reklamasi seluas 5.775,3 ha. Salah satu yang terluas (dikavling untuk kawasan komersil) adalah Teluk Jakarta, mencapai 2.700 ha dan menghabiskan 330 juta m3 bahan uruk.  Celakanya, proyek yang menelan  biaya sebesar Rp. 3.499 triliyun atau US$ 350 miliar tersebut, hanya memberikan nilai ekonomis jauh lebih rendah, yakni hanya sebesar Rp. 572 triliyun atau US$ 57 miliar (Herdianto WK, 2005).

Sasaran dari kecenderungan global perampasan tanah untuk kepentingan produksi energi dan pangan itu meliputi baik tanah-tanah pertanian kecil yang dimiliki oleh petani-petani individual, tanah-tanah luas yang menghidupi kelompok-kelompok setengah-peramu maupun tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara.

”Dengan  kecenderungan baru ini para petani kecil di negara-negara berkembang dan beriklim tropis kembali menjadi sasaran penggusuran dan Peminggiran setelah digusur dan dipinggirkan oleh program nasional revolusi hijau dan liberalisasi pertanian pada era sebelumnya.” Tegas Maria.

Contoh nyata dari liberalisasi pengelolaan dan penguasaan sumberdaya yang merugikan Negara tampak nyata pada kasus Kontrak Karya Freepot. Laporan dari IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), menyebutkan Negara dirugikan besar-besaran oleh freepot yang selama puluhan tahun hanya membayar royalti tembaga 1% (sejumlah:seratus sepuluh juta tiga ratus tiga puluh lima ribu enam ratus dua puluh lima dolaar Amerika/110.335.625) yang jika merujuk pada kewajiban membayar royalti 3% mestinya PT. Freepot harus membayar sebesar dua ratus lima puluh enam juta seratus tujuh puluh sembilan ribu empat ratus lima dollar Amerika. ($ 256.179.405.00)

“Selama kurang lebih 25 tahun, Freepot hanya membayar royalty tembaga kepada pemerintah. Sejak masuk ke Papua berdasarkan Kontrak Karya Generasi Peratama tahun 1967, Freepot hanya melaporkan pihaknya menambang tembaga, padahal pada tahun 1978, terbukti selain mengekspor tembaga, Freepot juga mengekspor emas.” Terang Gunawan.

Bahan tambang sebagai bagian dari material yang terkandung dalam bumi dan mempunyai nilai strategis sudah selayaknya juga dikuasai oleh negara. Hal ini diamanatkan oleh konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Adapun konsep Hak Menguasai Negara (HMN). “Menurut Mahkamah Konstitusi mempunyai pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad). Selanjutnya, konsep HMN juga harus disambungkan dengan tujuan penguasaan negara, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Jelas Gunawan. Nasionalisasi…??  [pubin/bindes/XII/sabiq/012]

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top