Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara (JPP Nusantara) merupakan jaringan atau perkumpulan perempuan pertama di Indonesia yang lahir dari gerakan perempuan pedesaan, yang didalamnya termasuk perempuan petani dan nelayan. Setelah melalui proses panjang membangun kesadaran kritis perempuan pedesaan terhadap banyak bentuk ketidakadilan gender akibat patriarki, budaya yang mengakar kuat dalam setiap aspek kehidupan pedesaan. Proses panjang yang intensif dalam membangun kesadaran adalah melalui pengorganisasian dan pendidikan kesetaraan gender bagi perempuan pedesaan.
Pembentukan JPP Nusantara bertujuan untuk membangun solidaritas dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi) guna mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Program ReCoERDO-Asia yang dilaksanakan oleh Bina Desa telah memberikan banyak dukungan dalam prosesnya.
“Dalam pengorganisasian masyarakat, kami melihat sangat penting untuk tidak meninggalkan perempuan dan membiar-kan nasib perempuan tidak berubah. Pada awalnya, tidak ada program bantuan untuk kelompok perempuan pedesaan. Saat kami di lapangan, peran perempuan pedesaan hanya menyajikan makanan dan mereka selalu duduk di belakang pintu dan sangat jauh dari ruang diskusi.” – Dwi Astuti, Ketua Pengurus Bina Desa.
Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, beban ganda, stereotip, dan kekerasan seringkali dialami secara berlapis oleh perempuan pedesaan dan hal ini membuat perempuan pedesaan memiliki rasa percaya diri yang rendah untuk dapat mengambil peran non domestik dan menyuarakan pendapatnya dalam kehidupan sehari-hari di ruang publik. Salah satu bentuk kekerasan yang sering terjadi adalah perkawinan anak dan hal ini akan memberikan efek domino yang akan menyebabkan mereka mengalami kekerasan lain, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tentunya memaksa perempuan pedesaan untuk meninggalkan pendidikannya.
Seperti yang dialami Usrek, perempuan petani asal Lumajang, Jawa Timur, yang terpaksa putus sekolah dan menikah pada usia 15 tahun. Setelah sekian lama mengenyam berbagai pendidikan bersama Bina Desa, kini ia memiliki keberanian untuk mulai mensosialisasikan Pertanian Alami dan mengorganisir organisasi petani, namun kendala yang paling sering ia temui adalah masyarakat sering merendahkan dirinya karena ia perempuan dan tidak berpendidikan tinggi.
“Apa gunanya mengikuti mereka, penyelenggara tidak berpendidikan, tidak berpengalaman, tidak punya apa-apa, tidak mungkin melangkah jauh?” Usrek mengatakan tentang apa yang sering dikatakan orang tentang dia.
Ketidakadilan yang dialami perempuan disebabkan oleh budaya patriarki yang mengakar, dalam hal ini tidak diberikannya akses pendidikan yang sama karena narasi yang terus menerus dibangun bahwa peran perempuan tidak lebih dari ‘kasur, sumur, dapur’ (beranak, nyuci, dan masak) atau sebatas pada kerja-kerja domestik dan juga sebatas objek pemenuhan nafkah batiniah bagi Laki-laki.
Ketidakadilan semacam ini tidak hanya menimpa Usrek tetapi juga pada perempuan pedesaan asal Aceh, Yuliana, dimana dia tidak diberikan akses pendidikan yang sama seperti saudara laki-lakinya. Ketika ia berhasil melakukan pekerjaan di ruang publik, pekerjaan rumah tangga masih menjadi kewajibannya dan pembagian peran seringkali sulit dinegosiasikan dengan pasangan sehingga ia harus mengalami beban ganda dan juga stigma buruk dari masyarakat seperti dianggap sebagai “perempuan nakal” karena sering keluar malam, bepergian sendiri tanpa pasangan sah atau wali laki-lakinya, sehingga tidak jarang tetangga, keluarga, bahkan sang pasangan juga ikut berpikiran negatif tentang dirinya.
Selain itu, perempuan pedesaan yang aktif dan berkiprah di berbagai organisasi juga masih mengalami subordinasi dimana perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak strategis dalam pengambilan keputusan suatu organisasi. Contohnya, sangat sulit bagi perempuan untuk menjadi ketua organisasi, dan ini juga adalah hasil refleksi dengan para perempuan pedesaan yang berkumpul dalam kegiatan Rembug Perempuan Pedesaan (Forum Perempuan Pedesaan) pada tahun 2017 di Takalar, Sulawesi Selatan. Forum ini kemudian menghasilkan Deklarasi PEDASS (Jaringan Perempuan Pedesaan Sulawesi Selatan) dan mendorong peserta dari empat kabupaten: Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba untuk mem-bentuk organisasi/komunitas perempuan.
Pada 3 Desember 2018, Perempuan Pedesaan (PP) kembali menggagas forum nasional dengan meng-hadirkan perwakilan dari pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan NTT di Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Dalam kegiatan ini, PP sepakat untuk menyatukan semangat dan solidaritasnya dengan membangun forum bersama yaitu Jaringan Perempuan Pede-saan (JPP) dengan tujuan agar perempuan mampu mengorganisir diri dan komunitasnya untuk me-lindungi kepentingan perempuan dari berbagai ketidakadilan yang dilakukan oleh individu dan organisasi lain, hingga negara, untuk memperkuat gerakan perempuan pedesaan untuk mencapai hak mereka yang terabaikan. Forum juga telah mem-presentasikan makalah posisi perempuan pedesaan yang meminta pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dengan menghentikan konversi lahan, ruang bagi keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pede-saan hingga nasional, penyediaan ruang aman bagi
korban kekerasan, penghapusan praktik perkawi-nan anak, penghapusan praktik diskriminasi, pe-mulihan dan pengakuan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan petani kecil dan nelayan.
Lalu pada tanggal 9 Desember 2019, JPP Nusantara resmi terbentuk dalam kongres pertama yang dihadiri oleh perwakilan 24 organisasi perempuan pedesaan dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan NTT. Deklarasi JPP Nusantara dibacakan dan disampai-kan sebagai rekomendasi bagi para anggota untuk mendorong organisasi perempuan pedesaan lain-nya untuk bergabung dalam gerakan dan juga ikut memperkuat aksi dari setiap aksi organisasi perempuan pedesaan. Perjalanan panjang hingga terbentuknya jaringan perempuan pedesaan tentu membawa dampak perubahan bagi perempuan pedesaan, baik pada dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar. Kesadaran kritis mereka terha-dap ketidakadilan yang mereka alami mendorong mereka untuk mengambil tindakan dan menolak diam atas kondisi yang selama ini membungkam mereka.
Kehidupan setelah terbentuknya JPP Nusantara terasa berbeda bagi sebagian anggota. Misalnya, Sri Murtirahayu (Ngudi Mulyo, Gunungkidul, Yogya-karta) dan Sri Koko (SPS Salassae, Bulukumba) yang merasakan meningkatnya rasa kepercayaan diri, pengetahuan, dan keberanian untuk berpen-dapat dan kemampuan berorganisasi. Perubahan ini termasuk mempengaruhi kualitas cara untuk berkomunikasi dan membicarakan berbagai hal termasuk soal keadilan gender kepada orang-orang terdekat. Juga soal pembagian peran yang seim-bang antara suami dan istri yang dapat dilakukan melalui hasil berdialog Hal ini sangat penting karena pada akhirnya perempuan dengan peran sebagai istri atau ibu dapat mengatur dan mampu meningkatkan kapasitas disertai dukungan penuh pasangan. Meski tidak mudah dan tentu beban –
ganda akan dialami pada tahap awal hingga pada masa yang tidak dapat ditentukan, namun upaya untuk terus mengedukasi dan memberi pengertian akan kesetaraan gender pada orang-orang dalam lingkaran terkecil menjadi sangat penting. Setelah itu beranjak ke lingkaran yang lebih besar dan seterusnya termasuk dalam kasus Sri Murtirahayu, kepada organisasi perempuan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang masih meng- anggap kesetaraan dan keadilan gender sebagai ancaman.
“Yang salah bukan perspektif gender, apa yang saya pikirkan tentang gender berbeda dengan apa yang mereka (yang tidak tahu) pikirkan tentang gender. Perspektif keadilan gender tidak mengubah perempuan yang berwatak lembut menjadi tidak terkendali,” Ucap Sri Murtirahayu.
Begitu pula dengan Sri Koko yang merasa hidup-nya selama ini berjalan dengan baik namun setelah mengikuti dan mengenyam pendidikan keadilan gender barulah ia menyadari bahwa ada kondisi yang ia rasa telah “membentuk” dirinya. Sri Koko adalah perempuan yang malu untuk berbicara dan takut untuk mengutarakan pendapat, lalu menjel-ma menjadi perempuan yang percaya diri dan berkomitmen untuk ikut bermusyawarah di lingkungan keluarga pun publik hingga akhirnya ia sebagai perempuan memiliki keterlibatan yang kritis.
Salah satu perubahan nyata yang terjadi dari proses pengorganisasian perempuan pedesaan melalui JPP adalah bahwa anggota perempuan telah memperoleh akses-akses yang lebih luas ke ruang publik melalui partisipasi mereka dalam perencanaan desa. Perempuan pedesaan terus berupaya melakukan advokasi agar hubungan dan keterlibatannya dalam proses pembangunan desa baik dengan diskusi rutin dengan pemerintah desa,
kecamatan bahkan pemerintah kabupaten. Sebagai contoh, perempuan desa anggota JPP Nusantara membuktikan bahwa mereka mampu berpartisi-pasi aktif dalam tim Rencana Pembangunan Jang-ka Menengah Desa (RPJMDes). Dari hasil pelibatan dalam tim perencanaan ini, pendidikan gender menjadi salah satu agenda utama yang dibiayai dalam kegiatan desa dalam kurun waktu 5 tahun pemerintahan.
Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara dan Pembaruan Agraria
Salah satu karakter kuat anggota JPP Nusantara adalah mereka sadar dan memiliki banyak pengetahuan tentang sistem pertanian berkelan-jutan, dengan memperdalam dan mempraktikkan pertanian alami secara teratur, dan terus melaku-kan analisis sosial tentang masalah agraria di tingkat desa. Pengetahuan dan keterampilan ini tidak hanya diturunkan kepada orang-orang di sekitar mereka tetapi juga meningkatkan kritik mereka terhadap kondisi ketidakadilan proses pembangunan di daerah sekitar mereka.
Usrek dan organisasi kelompoknya adalah salah satu organisasi yang terus meningkatkan praktik pertanian alami dan mengusulkan kepada peme-rintah untuk mengadopsi praktik tersebut ke lingkup yang lebih luas. Salah satu inisiatif mereka, Pawon Urip (Dapur Hidup), kegiatan menanam pangan alami di pekarangan masyarakat agar masyarakat tidak bergantung pada pangan yang dibeli dari luar, diakui Pemerintah kabupaten Lumajang sebagai inisiatif penguatan kapasitas masyarakat menuju kedaulatan pangan di masa pandemi Covid19 lalu.
Sementara dari pesisir Jeneponto, Kasmawati dan organisasi perempuan nelayan (KPN Sipittangari ) akhirnya berhasil mematahkan anggapan bahwa nelayan hanya laki-laki dengan menunjukkan per-
-an aktif perempuan. Komunitas perempuan di Jeneponto menyadari adanya ketidakadilan yang dialami masyarakat pesisir akibat kehadiran perusahaan asing di desa mereka. Perusahaan asing tersebut melanggar kesepakatan dengan membuang limbahnya ke laut yang mengakibatkan rusaknya tanaman rumput laut milik warga. Protes warga yang berujung pada penahanan 3 petani rumput laut oleh polisi. Melihat hal tersebut, Kasmawati memimpin proses advokasi dan berjejaring dengan aktivis kecamatan untuk menggelar mobilisasi massa yang akhirnya membebaskan ketiga warga tersebut.
Ketua terpilih JPP Nusantara, Irma Daeng So’na, juga memimpin perlawanan panjang terhadap pe-nambang pasir di Takalar. Dimana lahan pertanian di desa diubah menjadi area penambangan pasir. Hal ini menimbulkan masalah seperti hilangnya lahan produktif persawahan, daerah penangkapan ikan, dan bekas galian danau juga menelan korban jiwa. Ia menggalang dukungan masyarakat dengan memperkenalkan praktik pertanian alami yang dimulai pada 2015. Setelah empat tahun berjuang, akhirnya pada 2019 Irma mengajukan gerakan menentang pertambangan yang ditandatangani perwakilan warga kepada pemerintah desa. Hal tersebut ditanggapi oleh pemerintah desa dengan dikeluarkannya surat pernyataan menolak adanya kegiatan pertambangan di desa mereka. Selain itu, Pemerintah Desa secara khusus menganggarkan dana desa untuk pertanian alami.
Pada masa pandemi Covid19 lalu, aktifitas komunitas perempuan banyak yang terhenti, namun tidak dengan JPP Nusantara yang tetap bergerak di tengah situasi sulit saat ini. Solidaritas pangan yang dilakukan oleh kelompok perempuan pedesaan dimana mereka membagikan hasil pertanian alaminya kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid19.
Tak hanya itu, gerakan sembako lainnya, seperti mendorong masyarakat desa untuk turut serta memanfaatkan tanaman pekarangan, juga dilaku-kan oleh para anggota JPP di desa masing-masing. Kegiatan daring berskala nasional juga beberapa kali diselenggarakan, seperti diskusi tentang ke-daulatan pangan dan diskusi tema agraria dimana JPP Nusantara terus menyuarakan perspektif gender.
Inisiatif untuk mengembangkan jaringan perem-puan pedesaan juga disampaikan pada pertemuan regional Asia Tenggara. Pada kegiatan pertemuan ASEAN Public-Private-People (PPP) ke-8 dalam Rural Development and Poverty Eradication (Forum ASEAN-RDPE 2019), good practice JPP Nusantara dipresentasikan oleh AsiaDHRRA sebagai bentuk konkrit pengarusutamaan gender dalam pemba-ngunan pedesaan melalui penguatan peran dari wanita pedesaan. Presentasi tersebut mendapat respon yang baik, terutama dengan menjadikan hal ini sebagai pemicu penguatan pengarusutamaan gender di ASEAN-RDPE, melalui deklarasi pelaksa-naan pembangunan pedesaan yang responsif gender dari masyarakat di ASEAN sebagai mani-festasi dari visi ASEAN 2025 dan realisasi SDGs. Maka JPP Nusantara melalui program-programnya antara lain: Pengorganisasian, Pendidikan Kritis, Advokasi (berfokus pada reforma agraria, pangan, dan UU Desa) dan Jaringannya merupakan cikal bakal pelibatan kritis dengan pemangku kepenti-ngan lainnya untuk mewujudkan hak-hak perempuan pedesaan yang berkeadilan dan mandiri dalam bidang sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan sosial ekologi.