Bina Desa

Ironi Negeri Bahari Makin Menjadi

”Akibat maraknya pencurian ikan kapal asing, Natuna ditaksir rugi Rp30 triliun per tahun. Secara keseluruhan, Indonesia telah mengalami kerugian Rp 80 triliun akibat illegal fishing. Sayangnya, Pemerintah sendiri nyaris tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pencurian ikan (illegal fishing) karena umumnya kapal asing beraksi dengan memanfaatkan musim Utara di mana kapal-kapal patroli Indonesia tidak mampu melawan alam, sementara kapal-kapal asing dengan segala yang lebih canggih sudah terbiasa dengan gelombang dan cuaca ekstrim. Tragis …” 

Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP RI pada tahun ini saja telah memeriksa 1.150 kapal, dan menangkap 39 (tiga puluh sembilan) kapal, terdiri dari 11 (sebelas) kapal berbendera Indonesia sebagai modus pencurian ikan oleh kapal asing, dan 28 (dua puluh delapan) kapal berbendera asing. Kementerian Kelautan dan Perikanan memprediksi setiap tahunnya Indonesia telah mengalami kerugian Rp 80 triliun akibat illegal fishing.

Ironisnya, data kementrian perdagangan menunjukan Kementerian Kelautan dan Perikanan memproyeksikan impor ikan pada tahun ini meningkat 35 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Tahun 2012, impor ikan ditargetkan sekitar 610.000 ton atau naik dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 450.000 ton.

Sementara untuk garam, realisasi impor garam konsumsi hingga 30 April 2012 tercatat sebesar 215.800 ton, atau 74,28 persen dari izin impor tahap awal yang diterbitkan pemerintah sebesar 290.500 ton. Tahun 2012 ini, kebutuhan impor garam konsumsi ditetapkan sebesar 533.000 ton. Sebagai informasi, impor garam ke Indonesia terbanyak berasal dari Australia yaitu 1,7 juta ton dengan nilai USD85,95 juta (Januari-November 2011). Impor garam di Indonesia selanjutnya berasal dari India sebanyak 976 ribu ton senilai USD52,15 juta. Indonesia juga mengimpor garam dari Selandia Baru, Jerman, dan negara-negara lain.

Kesepakatan pemerintas atas volume impor garam konsumsi tahun ini sekitar 500.000 ton,rupanya adalah rekor terbesar dalam sejarah impor kita. Alasannya klise, untuk mengisi kekosongan stok hingga satu bulan sebelum panen dan industrialisasi perikanan nasional mandek akibat kelangkaan bahan baku yang di curi. Jika di tanya, jawaban pemerintah begini; Kekurangan bahan baku industri olahan saat ini diatasi dengan impor bahan baku, baik untuk kepentingan reekspor maupun untuk usaha pengalengan. Tahun 2012, impor ikan ditargetkan 610.000 ton atau naik 35 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang 450.000 ton.

Tidak cukup sampai di situ, parahnya bahkan dari dari 79 produk perikanan yang diimpor, sebanyak 40 jenis ikan di antaranya adalah produk perikanan yang dapat ditemukan di perairan maupun pertambakan Indonesia. Akibatnya, serangan produk impor pangan perikanan telah berdampak langsung terhadap keterpurukan ekonomi keluarga nelayan maupun memburuknya kualitas pangan perikanan bagi konsumen domestik.

Untuk diketahui, terus merangkak naiknya laju volume impor kita, Data dari KIARA menunjukan (2010) mendapati bahwa volume impor pangan perikanan menunjukkan peningkatan dari 184 ribu ton (2006) menjadi 318 ribu ton (2010) atau meningkat sebesar 57,86 persen. Sebanding dengan itu, kinerja ekspor perikanan juga mengalami peningkatan jauh melebihi kuota impor: dari 926 ribu ton (2006) menjadi 1. 053 juta ton (2010).

Tapi, dalam konteks ini, ditemukan sebanyak 12 jenis komoditas perikanan yang justeru diekspor oleh Indonesia merupakan bahan baku utama industri perikanan dalam negeri, di antaranya tuna, udang, cakalang, dan bandeng. Dan ini lah kenyataan sebenarnya dari alasan industri perikanan nasional kita yang kian terpuruk karena kelangkaan bahan baku, yang sebenarnya malah di eksport keluar!

Bagaimana dengan kesejahteraan hidup nelayan?

Kontribusi kelautan Indonesia hanya menyumbang 22% dari produk domestik bruto (PDB), dari sektor perikanan masih di angka 3,5%. Sementara negara China, Korea dan Jepang yang luas lautnya separuh dari luas laut Indonesia kontribusi sektor kelautan terhadap PDB di atas 35%. Padahal menurut Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri, potensi pendapatan negara yang bisa diperoleh dari kelautan sebesar Rp 7.200 triliun, enam kali lipat dari nilai APBN Indonesia. Tapi kenyataanya bahkan impor periknan kita tahun ini terbesar dalam sejarah import yang pernah terjadi?!

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) permaret 2011 terdapat 30,02 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dan tercatat jumlah nelayan miskin mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari jumlah penduduk miskin nasional. dan mayoritas adalah nelayan tradisional, nelayan yang menggunakan armada perahu di bawah 5 gros ton (GT).

Sementara dalam catatan Kiara, jumlah buruh pengolahan dan pemasaran hasil perikanan meningkat dari tahun ke tahun yaitu 3.791.682 jiwa di 2007 menjadi 6.214.727 di 2011. Bagaimana dengan nasib perempuannya? Perempuan nelayan pada masyarakat pesisir dan kelautan memiliki kontribusi sebesar 48 persen untuk pendapatan keluarga tiap bulannya. Tampak betapa strategisnya perempuan di daerah pesisir berpeluang mengubah keadaan krisis. Sayangnya, peran perempuan nelayan tidak diakui dalam konteks kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan yang masih sangat bias gender.  Ketidaksetaraan gender dalam masyarakat dan bertambahnya beban akibat dampak pembangunan menjadikan perempuan di pesisir sulit keluar dari keterpurukannya. “Padahal perempuan nelayan memiliki peranan penting dalam hal ketahanan pangan.  Riset lembaga KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan) menyebutkan 85% waktu perempuan nelayan digunakan dalam kegiatan memproduksi, mengolah, dan mendistribusi produk perikanan.” Ujar Aktivis KIARA, Mida Saragih dan Halim.

Pertanyaan kita, Negara kemana? sementara hak dalam wilayah hukum adalah wilayah tangkap nelayan tradisional yang sebagaimana diatur dalam Kepres No. 80 tahun 1980 tentang larangan beroperasinya kapal pukat trawl dan SK Mentan No. 392 tahun 1999 dengan tegas diatur soal jalur-jalur penangkapan kapal ikan. Tidak hanya itu bahkan konstitusi kita melalui putusan Juducial Review atas UU 27/2007 dengan tegas mennyebutkan perlindungan terhadap hak-hak nelayan tradisional seperti yang telah disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, di antaranya bahwa nelayan memiliki hak untuk: hak untuk mengakses laut, hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut, dan hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang bersih dan sehat; (2) penghentian impor pangan perikanan; dan (3) konsistensi menegakkan amanah UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mengharuskan pemerintah untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan produksi dalam negeri.

Negara rupanya bukan hanya absen dan mengabaikan hajat hidup dan hak-hak konstitusional nelayan, sebaliknya praktek perampasan dan pengrusakan lingkungan hidup yang disertai penggusuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil makin marak terjadi akibat pemberian izin penambangan pasir besi yang tengah terjadi di antaranya di Dusun Bungin, Desa Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang oleh PT Purna Taru Murni; penambangan pasir laut di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang oleh PT Jetstar; penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia Tbk. dengan wilayah konsesi seluas 1.000 ha di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah; penambangan timah dengan menggunakan kapal hisap di perairan Bangka Belitung yang berpotensi menenggelamkan Pulau Pemain; penambangan di Pulau Halmahera, Maluku Utara oleh PT Weda Bay Nickel. Di pulau ini juga terdapat 160 izin penambangan; penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo, Yogyakarta; penambangan pasir besi di pesisir Kabupaten Kaur, Bengkulu; dan penambangan pasir besi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara oleh PT Mikgro Metal Perdana.

Kondisi ini menjadikan nelayan kian sulit menangkap ikan di laut akibat dikaplingnya wilayah pesisir, dan bahkan harus melaut lebih jauh dengan resiko terenggutnya jiwa di tengah cuaca ekstrem. Pada Oktober 2011, KIARA juga melaporkan mendapati temuan sebanyak 77 nelayan meninggal dunia di laut akibat cuaca ekstrem selama periode Januari-Oktober 2011.

Lalu apa artinya kita menjadi negeri bahari kepulauan terbesar dan terpanjang ke empat du dunia setelah Amerika, Kanda dan Rusia? Kita negara kepulauan terbesar dengan luas lautan tiga per empat dari luas daratan, 17.480 pulau berada di sini, garis pantai kita terpanjang terpanjang keempat di dunia dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer (km). renungkan saja, faktanya di sini, ironi negeri bahari makin menjadi…***

**di olah dari berbagai sumber; sabiq carebesth, 2012

 

INDUSTRIALISASI PERIKANAN DAN TRANSFORMASI NELAYAN

Nelayan kita berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa, namun belum ada angka pasti tentang jumlah nelayan yang tergolong tradisional, komersial, maupun industrial. Yang paling memungkinkan adalah dengan melihat data armada-armada perikanan. Pada 2011 armada tradisional (perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan perahu motor kurang dari 5 GTT) berjumlah 498.020 unit (89,38%), sisanya nelayan komersial dan industrial. Situasi di Indonesia ini sebenarnya menggambarkan kondisi nelayan dunia.

Melihat data FAO (2009) ternyata nelayan di dunia ini terkonsentrasi di Asia dengan jumlah 37,3 juta jiwa atau 85% dari total nelayan dunia. Namun, nelayan Asia memiliki produktivitas paling rendah, yaitu 2,5 ton/tahun. Sementara Amerika Latin punya nelayan 1,4 juta jiwa (3,2%) dengan produktivitas 12,7 ton/ tahun, dan Eropa sebanyak 725.000 (1,75%) dengan produktivitas 21,4 ton/ tahun. Apakah dengan melihat kondisi nelayan kita yang masih tradisional, industrialisasi bisa dikembangkan? Bagaimana transformasi nelayan yang mestinya dilakukan?

Industrialisasi Perikanan dan Langkah Transformasi yang berbudaya

“Ini semua bergantung desain industrialisasi perikanan yang akan kita kembangkan. Dengan industrialisasi perikanan tentu tidak berarti terjadi transformasi nelayan tradisional menjadi nelayan industrial dengan semua atributnya. Jepang juga tidak memaksakan nelayan kecil (tradisional) harus menjadi nelayan besar (industrial), yang penting adalah produktivitas dan mutu produk.“  Pendapat tersebut dinyatakan Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB.  “Upaya tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya dalam industrialisasi perikanan yang terpenting adalah kesiapan nelayan.” Imbuhnya.

Menurutnya, industrialisasi perikanan mestinya dimaknai sebagai upaya transformasi budaya yang membawa perubahan dari sekadar produksi menjadi produksi dengan mutu produk yang baik: memiliki nilai ekonomi, memperhatikan keamanan pangan, serta keberlanjutan sumber daya. Karena itu, nelayan tetap didorong untuk meningkatkan produksi sesuai daya dukung sumber daya. Hal ini penting untuk memenuhi kebutuhan pasar konsumsi maupun industri pengolahan.

Saat ini industri pengolahan hanya mampu berproduksi 50% dari kapasitas terpasangnya karena kekurangan bahan baku yang kemudian berujung pada meningkatnya impor ikan. Untuk itu, menurut Arif Satria, perlu sejumlah insentif agar mereka tetap mau melaut, baik insentif input maupun output yaitu:

Pertama, insentif input mencakup akses pada penyediaan sarana produksi. Saat ini yang paling krusial adalah terkait isu harga bahan bakar minyak (BBM). Untung saja pada 1 April 2012 pemerintah menunda kenaikan harga BBM sehingga tidak mempersulit operasi penangkapan ikan oleh nelayan. Kedua, insentif input berupa modernisasi armada penangkapan harus bersifat adaptif. “Modernisasi bukanlah sematamata bagi-bagi kapal. Saat ini pemerintah memiliki target 1.000 kapal untuk dibagikan kepada nelayan. Upaya ini rawan masalah bila tidak diiringi dengan peningkatan adaptasi nelayan terhadap kelembagaan usaha baru.

“Di sinilah transformasi nelayan sebagai perubahan orientasi budaya, kemampuan manajemen usaha, serta kebiasaan- kebiasaan lain menjadi penting.” Jelasnya.

Ketiga, sistem informasi tentang cuaca harus dilembagakan dan mudah diakses nelayan. “Saat ini perubahan cuaca yang semakin sulit ditebak menjadi salah satu faktor penghambat operasi penangkapan ikan. Keempat, perlu inovasi teknologi penangkapan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim telah berpengaruh terhadap perubahan musim, daerah penangkapan (fishing ground), serta migrasi spesies ikan tertentu. “ papar arif. Kelima, untuk menjamin mutu ikan memiliki nilai ekonomi, aman dikonsumsi, serta diproduksi ramah lingkungan, perlu sistem penyuluhan yang andal. Apalagi saat ini beberapa negara importir telah mensyaratkan ada traceability yang berarti informasi asal-usul ikan, khususnya informasi kegiatan di tingkat nelayan harus tersedia.  Keenam, insentif output berupa jaminan harga ikan melalui mekanisme penyanggaan sehingga harga ikan bisa terjaga pada ambang batas yang menguntungkan. Untuk itulah, sistem logistik perikanan perlu segera diwujudkan.

“Jadi industrialisasi bukanlah semata transformasi teknologi, melainkan lebih merupakan transformasi sosial.“ Pungkas Arif. Yang juga merupakan Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia tersebut.***

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top