JAKARTA, BINADESA.ORG– Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium terhadap Indonesia-European Union- Comprehensive Economic Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) yang sedang dirundingkan saat ini. Hal ini karena Pemerintah Indonesia belum pernah melakukan analisis dampak terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan dari kerjasama yang akan dibangun tersebut.
Desakan ini disampaikan IGJ dalam surat masyarakat sipil kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk merespon putaran kedua perundingan IEU CEPA yang berlangsung pada 24-28 Januari 2017 di Indonesia untuk mengukuhkan kerjasama ekonomi komprehensif di antara kedua negara. Surat ini diinisiasi oleh IGJ, EU-ASEAN FTA Network Campaign, SOMO, Transnational Institute, dan BothEnds serta didukung oleh puluhan organisasi masyarakat sipil dari Indonesia, ASEAN, dan Uni Eropa.
Konsep kemitraan CEPA yang diusulkan saat ini telah melingkupi sejumlah langkah menuju liberalisasi dan deregulasi. Pengaturan demikian berpotensi menimbulkan kerugian yang serius terhadap masyarakat, individu, dan lingkungan.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa selama ini seluruh perundingan perdagangan bebas selalu bersifat rahasia dan tertutup untuk publik. Tidak ada dokumen yang bisa diakses oleh publik, bahkan proses persetujuan oleh DPR pun jauh dari pantauan publik, dan tiba-tiba perjanjian perdagangan bebas sudah mengikat dan berlaku bagi Indonesia.
“Perundingan CEPA harus dimoratorium untuk membuka kesempatan kepada publik agar dapat mengkritisi kerjasama yang akan dibangun antara Indonesia dengan Uni Eropa. DPR pun harus secara aktif mengkritisi isi perundingan dan memantau proses perundingan guna memastikan bahwa perjanjian tidak bertentangan dengan konstitusi” terang Rachmi
Menurut Rachmi, dari catatan IGJ, IEU CEPA akan mengatur hal-hal yang lebih memfasilitasi kepentingan perusahaan transnasional ketimbang kepentingan masyarakat secara luas. “Dalam ketentuan jasa dan investasi, EU CEPA didorong untuk mengatur standar tinggi perlindungan investor termasuk dengan menerapkan mekanisme gugatan investor terhadap Negara. Bahkan dalam kegiatan pengadaan barang pemerintah ada keinginan untuk menghapus kewajiban Joint venture, tingkat kandungan local, hingga penghapusan pembatasan ekspor khususnya raw material” jelas Rachmi.
Rachmi membandingkan disatu sisi bab-bab yang mengatur liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja dibuat mengikat, tetapi disisi yang lain bab yang mengatur syarat pembangunan berkelanjutan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat dan lingkungan hanya bersifat sukarela.
“CEPA penuh dengan ketimpangan keadilan. Penerapan mekanisme sanksi mengikat baik melalui penyelesaian sengketa antar Negara maupun gugatan investor terhadap Negara (ISDS). Namun, terkait aturan pembangunan berkelanjutan, tidak ada satu pun mekanisme sanksi tegas yang dapat diterapkan bagi investor yang merusak lingkungan ataupun tidak menghormati penegakan HAM”, tegas Rachmi.
Untuk itu, IGJ bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, ASEAN, dan Eropa mengirimkan surat kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk menuntut penghentian perundingan IEU CEPA. Pertimbangan terhadap segi sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia wajib diutamakan di atas perdagangan bebas dan pemberian perlindungan bagi perusahaan trans-nasional.
“Negosiasi CEPA tidak dapat dilanjutkan sebelum adanya analisis dampak yang komprehensif terhadap keberlanjutan hidup dan hak asasi manusia”, tegas Rachmi.
Tentang AS Keluar Dari TPP
IGJ memandang bahwa keluarnya Amerika Serikat (AS) dari keanggotaan Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) tentu akan mempengaruhi peta perdagangan global. Walaupun ada beberapa upaya dari Australia dan Jepang untuk tetap melanjutkan TPP tanpa AS, tentu TPP tidak akan menarik tanpa AS. “bila TPP tetap dilanjutkan, tentu ekspektasinya akan berbeda dibandingkan RCEP. Dari jumlah pasar maupun GDP, TPP 12 minus 1 akan kalah dari RCEP”, terang Rachmi.
Dengan atau tanpa AS, TPP tetap menjadi masalah. Hal ini karena TPP telah menciptakan standar emas aturan liberalisasi perdagangan dan investasi yang telah ditiru di dalam RCEP dan CEPA. “Bagi kami, soalnya bukan AS keluar dari TPP, tetapi apa yang sudah TPP wariskan kepada dunia. Bahkan walaupun Indonesia tidak gabung TPP, tetapi ancaman serupa dari TPP akan berpotensi dihadapi Indonesia dari pelaksanaan RCEP dan EU CEPA”, tambah Rachmi.(###)