“Indonesia akan mengusung setidaknya dua agenda yang ingin dicapai dalam KTM Ke-9 di Bali, yaitu fasilitas perdagangan dan paket untuk negara-negara kurang berkembang. Ini akan menjadi batu loncatan dalam menyelesaikan isu-isu yang masih tertinggal di bawah agenda WTO, termasuk penyelesaian Putaran Doha,” ujar Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Hal ini dia ungkapkan dalam Pertemuan Kecil Para Menteri Perdagangan (Mini Ministerial Meeting of Trade Minister) di Hotel Morosani, Davos, Swiss, seperti tertuang dalam siaran pers, Senin (28/1/2013).
Mendag juga menekankan pentingnya membangun sistem perdagangan multilateral kuat, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. “Permasalahannya adalah masih adanya kecenderungan dari negara-negara untuk melakukan proteksi perdagangan. Ini harus dicegah dengan, tentunya, tetap menjaga prinsip perdagangan yang adil (fair trade),” ujarnya.
Namun demikian, opini yang berbeda justeru mencuat dari dalam negeri Indonesia, yang menilai perdagangan dunia di WTO tidak pernah berlangsung dengan adil terutama untuk negara berkembang. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebaliknya justeru dianggap melemahkan daya saing Indonesia dan menimbulkan praktek korupsi melalui impor komoditas.
Mandeknya negosiasi putaran Doha menunjukan betapa timpang dan tidak adilnya organisasi perdangan dunia ini. Di satu sisi negara maju meminta pembukaan pasar domestik negara berkembang dan pemotongan subsidi pertanian, tapi negara maju seperti Amerika justeru memproteksi ekonominya dengan subsidi besar-besaran kepada petaninya. Indonesia pun di desak keluar dari WTO yang kian merugikan Indonesia. Opini tersebut terutama muncul dari Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme) sebagaimana disampaikan dalam konferensi pers mereka di Jakarata, (15 Februari 2013.)
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik mengatakan, keikusertaan dalam WTO membuat Indonesia banyak membuat perjanjian perdagangan dengan negara lain. Perjanjian ini menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia. “WTO telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia,” ujarnya. “Kami mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR untuk mengeluarkan Indonesia dari WTO,” ungkap Riza di Rumah Makan Dapur Selera, Jakarta.
Karena merugikan, lanjut Riza, Presiden didesak melakukan moratorium terhadap perjanjian-perjanjian perdagangan internasional yang diikuti dengan evaluasi terhadap perjanjian yang sudah terjadi.
Sementara itu pengamat Globalisasi Dwi Astuti mengungkapkan nada pesimis yang sama atas keterlibatan Indonesia di WTO. Ia menilai sudah tidak mungkin lagi melakukan negosiasi di pertemuan WTO untuk agenda kerakyatan. “satu-satunya jalan adalah mendesak Indonesia keluar dari keanggotan WTO. Kenapa? WTO adalah organisasi yang sangat tertutup dan tidak demokrastis, tidak mungkin melakukan pembelaan atau masukan di forum WTO. Menyewa pengacara arbritase global saja, disamping ongkosnya yang sangat mahal, juga tidak akan berpengaruh banyak seperti jika Indonesia mengalami gugatan perdagangan dari negara maju anggota WTO.” Ujar Dwi Astuti yang juga Direktur Ekskutif Bina Desa, di Jakarata.
“Penolakan atas WTO harus disuarakan karena Indonesia memang dirugikan dan kerap dibuat tergantung dengan modal asing dalam perdagnagan yang tidak fair. Oleh karenanya menggagalkan pertemuan WTO di Bali nanti harus menjadi sutau gerakan sosial, ini bukan sentimentil, tapi ini menyangkut nasib jutaan rakyat Indonesia terkait kebutuhan pangan dan perkembangan dunia pertanian dan perdagangan yang sehat di dalam negeri. Ini soal kedaulatan bangsa.” Pungkasnya.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengungkapkan hal senada, keikutsertaan Indonesia dalam WTO berdampak langsung terhadap meningkatnya impor pangan. Pada 2012, impor produk pangan Indonesia telah menghabiskan anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana sebesar itu digunakan untuk mengimpor gandum, beras, kedelai, ikan, garam, hingga daging sapi.
Menurut dia, rezim perdagangan bebas WTO telah mengancam hak bangsa dan negara Indonesia untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian untuk kepentingan bangsa. Pasal-pasal dalam WTO, kata dia, telah menggerus kedaulatan pangan karena persaingan perdagangan bebas yang tidak sehat. “Dengan bergabung ke WTO, perlindungan ke petani justru hilang. Misalkan itu tetap berlangsung maka kedelai kita akan kalah bersaing dengan produksi Amerika yang luas lahannya sepanjang sungai Amazon,” ujar Henry.
WTO adalah organisasi yang mengatur perdagangan dunia dengan menuntut negara-negara anggotanya membuka pasar secara luas melalui penghapusan berbagai hambatan dalam perdagangan. Indonesia resmi menjadi anggota WTO melalui ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Pembentukan WTO. Bergabungnya Indonesia dalam WTO semakin membunuh sektor pertanian. Padahal, selama ini kontribusi sektor pertanian untuk pembangunan nasional masih tergolong kecil. Target pertumbuhan sektor pertanian juga belum mencapai target.
“Sepanjang 2012, total eskpor Indonesia US$ 190,04 miliar, sedangkan impornya US$ 191,67 miliar. Artinya, masih ada defisit perdagangan US$ 1,6 miliar. Sektor pertanian hanya menyumbang 0,94 persen dari total ekspor non-migas Indonesia,” ujarnya. Total ekspor non-migas Indonesia sebesar US$ 153,07 miliar, namun ekspor produk pertanian dalam kategori non-migas hanya sebesar US$ 5,55 miliar.” Ungkap Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU)[]