Bina Desa, Yogyakarta: UU Desa harus dikawal dalam pelaksanaannya termasuk memberikan kritikan, karena ditemukan cukup banyak tantangan dalam pelaksanaanya. Secara prinsip pelaksanaan UU desa belum ditunjang dengan kesiapan pemerintah daerah, pemerintah desa, dan kelembgaan masyarakat desa. Belum lagi situasi desa sedang mengalami penyakit kronis, akibat dr kebijakan sebelumnya baik di sektor kehutanan, penananam modal dan khususnya pertanian dan pangan.
Hal itu terungkap dalam Lokakarya Membadah UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa “Menakar Peluang dan tantangan operasionalisasi Undang-Undang Desa Bagi Rakyat Desa”. Yogyakarta 22-23 Oktober 2015 atas kerjasama Bina Desa, Satunama dan Mitra kerja Misereor.
Seminar pembukaan menghadirkan tiga narasumber, Purwoko (TA DPR Budiman Sudjatmiko) membahas tema skenario pelaksanaan UU Desa, Mia Siscawati (Pusat Studi Kajian Gender UI) dengan fokus tema perempuan desa adalah subyek pengambil keputusan dan pembangunan berkelanjutan : telaah kritis tentang UU Desa, dan Achmad Yakub (Bina Desa) dengan tema rancangan normatif dan praktik empirik Berdesa. Seminar di moderatori oleh Dwi Astuti.
Menurut mia, pelaksaan UU Desa dapat dipastikan kurang akan menyentuh peningkatan kualitas hidup perempuan, hal ini dikarenakan UU Desa haya memandang situasi desa secara normatif, padahal di desa kaum perempuan adalah kelas masyarakat yang paling terpinggirkan akibat kebijakan masa lampau.
“Belum lgi di desa diketahui adanya lapis relasi kuasa bebrbasis gender, usia,status pekawinan,entitas dan agama.” Tutur Mia Siscawati.
Perempuan desa, masih menurut Mia, mestinya diposisika sebagai subyek pembangunan desa, sebab selama ini mereka memiliki kontrol dan kuasa terhadap kehidupan di desa, namun ketika prosesnya di arahkan pada level formal perempun pasti tertinggal. “
“Oleh karenanya kita mesti mendorong dan memberikan perhatian lebih tehadap pelibatan perempuan dalam pelaksanaan UU Desa.” Tegasnya.
Kepala Jaringan dan Komunikasi Bina Desa, Achmad Yakub menyatakan UU Desa memiliki banyak ambiguitas dan harus dipandang dengan kacamata sangat kritis supaya tidak malah makin membenamkan masyarakat desa dalam keterpinggirkan.
Yakub memberikan catatan kritis di antaranya, dalam implementasi UU Desa harus ada catatan kritis atas terhadap Undang-Undang Desa dari perspektif mitra Misereor. Lokakarya juga merekomendasikan supaya ada catatan peta jalan desa berdaulat sebagai panduan advokasi masyarakat desa atas implementasi UU Desa ke depan.
“Kita juga memastikan akan ada pengetahuan dan paradigma baru atas isu-isu pokok dalam UU Desa seperti Musyawarah Desa, Perencanaan dan Pembangunan Desa, Peraturan-peraturan di desa, Pengelolaan Keuangan Desa, Pengembangan Ekonomi Desa, dan Pendamping Desa.” Kata Yakub. “Kita berusaha dari lokakarya ini menghasilkan rekomendasi rumusan untuk menguatkan jaringan untuk pemenuhan hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budayarakyat laki-laki dan perempuan melalui sistem yang demokratis menuju kesejahteraan rakyat desa.” Imbuhnya.
Rencana Tindak Lanjut juga disepakati dalam lokakarya tersebut yaitu hasil dan ringkasan diskusi akan jadi bahan position paper dan grand design pembangunan desa yang berdaulat.
Materi juga akan ditindaklanjuti dalam praktek berdesa dan agenda audensi dengan pemangku kebijakan desa khususnya Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
“Singkatnya implementasinya UU Desa oleh kemendes sejauh ini masih terlalu teknokratik, banyak jebakan.” Tegas Yakub.
Jaringan kerja Misereor Indonesia melihat ada beberapa hal utama yang harus didorong dalam implementasi UU Desa meliputi perbaikan ekologis, peningkatan pendapatan dan kemakmuran rakyat desa dan desa; dan revolusi mental dan kepemimpinan: voluntary, kegotong royongan, kekeluargaan.
“Kalau ini bisa berjalan dalam waktu dekat akan muncul kepemimipinan yang orisinil dari desa dan juga pemantapan posisi perempuan dalam struktur yang lebih adil di desa, berkembang terus ke struktur supra desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional.” Harap Dierektur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti.
Kegiatan lokakarya ini atas kerjasama Bina desa, Satunama dan Misereor yg dihadiri oleh 12 mitra Misereor di Indonesia. (*)