JAKARTA, BINADESA.ORG– Hak atas air, yang telah ditetapkan sebagai Hak Asasi Manusia bersama dengan sanitasi melalui resolusi PBB pada bulan Juli tahun 2010, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Indonesia, sebagai negara yang turut menandatangani resolusi Majelis Umum PBB tersebut, selama ini juga belum secara konsisten menjalankan kewajiban HAM. Yakni dalam bentuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak atas air warganya.
Untuk konteks saat ini sejak dibatalkannya UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada 2015 lalu, praktek pengelolaan air masih belum berubah seperti sebelum adanya putusan MK. Pemerintah Pusat, bersama dengan DPR, yang sekarang sedang memproses pembuatan RUU Air lebih fokus menjamin keberlangsungan kontrak dan ijin eksploitasi air dan wilayah kawasan konservasi air. Baik BUMN maupun swasta. Mengabaikan konservasi sebagai bagian penting dari keberlanjutan ketersediaan air. Belum terlihat usaha pemerintah secara serius untuk melakukan perlindungan terhadap ekosistem air yang berarti juga usaha perlindungan terhadap hak atas air.
Dengan demikian, Pemerintah telah mengabaikan gugatan Constitutional Review dan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005 dan Keputusan Nomor 85/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa air adalah hak publik (res commune), yaitu suatu hak yang dimiliki oleh masyarakat, perempuan dan laki-laki, secara bersama-sama.
Reza, Ketua Kruha menyatakan bahwa pada moment peringatan Hari Air Sedunia, 22 Maret 2017, mendukung setiap perjuangan rakyat dalam melawan upaya-upaya yang mengancam hak asasi manusia atas air. “Kami melihat bahwa seremoni Hari Air Sedunia yang setiap tahun diperingati, selama ini tidak disertai dengan adanya upaya yang serius dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat” Ujar Reza saat aksi di depan Kantor Kementrian BUMN. Kasus-kasus perampasan air dalam bentuk privatisasi, monopoli, dan komersialisasi sumber dan layanan air, pencemaran, hingga perusakan ekosistem penunjang keberlangsungan sumber air masih terus terjadi.
Tercatat kasus privatisasi layanan air publik di Jakarta yang telah diputuskan oleh pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bentuk pengingkaran kewajiban negara dalam memenuhi hak atas warga Jakarta. Kasus lain seperti semakin berkembangnya investasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), oleh perusahaan asing maupun dalam negeri seperti Aqua Danone di Sukabumi maupun Mayora di Banten telah dan akan membuat dan rakyat kehilangan sumber airnya. Begitu pula pencemaran sumber air oleh perusahaan seperti di Tumpang Pitu, Ciujung, Mojokerto, dan lainnya.
Kawasan Karst sebagai Sumber Kehidupan
Rencana investasi industri semen di Pegunungan Karst Kendeng merupakan salah satu contoh paling kasat mata untuk menunjukkan bahwa pemerintah Republik Indonesia selama ini telah mengesampingkan hak asasi manusia atas air demi kepentingan industri. Pemerintah Pusat melalui Kementerian-kementerian seperti BUMN, ESDM, hingga lembaga seperti BKPM, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, selama ini terus ngotot untuk memastikan pabrik semen dapat segera beroperasi di Rembang. Putusan MA yang telah menetapkan keharusan pencabutan ijin, telah dibelokkan dan diselewengkan demi menjamin keberlanjutan usaha.
Kekhususan karst yang berperan sebagai media penyimpan air dapat berkontribusi sebagai penyedia aliran andalan bahkan pada periode kekeringan yang panjang. Hal tersebut sebenarnya juga telah diketahui oleh pemerintah sehingga ada penetapan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang tidak boleh diganggu dan dirusak. Sebab, sekali terjadi perusakan pada KBAK maka seluruh ekosistem karst tidak dapat diperbaiki kembali. Sehingga penambangan karst yang pasti akan merusak ekosistem karst, dan dengan sendirinya merupakan bentuk perampasan air dan pelanggaran hak atas air warga, bahkan dapat mengakibatkan bencana ekologi seperti banjir.
Berdasarkan penelitian, jika investasi PT. Semen Indonesia diteruskan akan mengakibatkan fenomena terjadinya perampasan air dan hak atas air warga sekitar. Sebab, kerusakan akibat pertambangan yang akan dilakukan PT Semen Indonesia di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Pegunungan Kendeng seluas 131,55 hektare berdasar ijin akan memunculkan potensi hilangnya air 4.054.500 m3. Selain itu, data (PDAM, 2013) juga menujukkan bahwa kebutuhan air untuk masyarakat di 14 Kecamatan Kabupaten Rembang dengan estimasi memenuhi kebutuhan 607.188 jiwa, sebagian besar juga disuplai dari CAT Watuputih. Maka pemerintah dengan segala instrumennya sudah seharusnya melindungi kawasan konservasi seperti CAT Watuputih.
Menurut Achmad Yakub dari Bina Desa kasus kesulitan air yang terdampak pertama adalah perempuan dan anak-anak. “Karena perempuan dalam kehidupan punya peran sentral dalam hal menyediakan dan melestarikan sumber air” Tegas Yakub. Perjuangan perempuan Kendeng merupakan satu bukti keterikatan perempuan dengan alam sebagai ruang hidupnya, dan secara khusus pegunungan karst sebagai sumber airnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Aliza dari Solidaritas Perempuan bahwa persoalan air menimbulkan dampak yang berbeda bagi perempuan. “Beban perempuan dalam memastikan kebutuhan keluarga akan air akan meningkat dan berlapis di kala krisis air terjadi” kata Aliza. Hal ini juga terjadi di Kawasan Karst Lhoknga – Aceh. Pertambangan semen PT Semen Andalas Indonesia (yang kemudian diambil alih oleh Lafarge Cement Indonesia dan sekarang PT Holcim Indonesia) yang selama 35 tahun ini terus mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhoknga serta menguasai sumber air masyarakat, tetap mengundang perlawanan dari masyarakat.
Setelah aksi di depan Kementerian BUMN, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari KRuHA, WALHI, KPA, JATAM, Solidaritas Perempuan, IHCS, JMPPK, Ciliwung Institute, debtWatch Indonesia, FPPI dan Bina Desa melanjutkan aksi di depan Kementerian ESDM. Aksi Hari Air Sedunia di akhiri di depan Istana Negara Jakarta, bergabung dengan para petani dari pegunungan Kendeng. Puluhan aktivis bahkan ikut bersolidaritas dengan menyemen kaki sebagai tanda protes atas kebijakan Gubernur Jawa Tengah yang memberikan ijin pertambangan semen di Rembang. (###)