Bina Desa

Geliat Pertanian Alami di Jawa Barat dan Aceh

Dalam keterbatasan sempitnya lahan dan rusaknya irigasi, warga di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi, Jawa Barat tetap bergeliat mempraktikan pertanian alami demi cita-cita kemandiriannya.

Musim Tanam Padi sudah tiba, pagi itu 2 Juli 2011 di kampung Babakan Desa Cipeuteuy, beberapa anggota paguyuban Tani Jaya Mukti sibuk menyiapkan bibit padi dalam persemaian. Tidak hanya itu mereka juga telah menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan selama semusim untuk tanaman padi seperti: nutrisi masa pertumbuhan, masa hamil dan masa berbuah.

Sudah dua musim tanam Paguyuban Tani Jaya Mukti mempraktikkan pertanian alami (organik atau cara pertanian yang menggunakan input bahan alami) khususnya di tanaman padi parietas lokal seperti: Pandan Wangi, Mentik Wangi, Segon Beureum.

Ibu Enah (40), salah satu anggota Paguyuban Tani Jaya Mukti, mengaku ia sudah mempraktikan menanam padi organic selama dua tahun dan merasai keuntungannya. Selain dari padi yang akan menghasilkan beras sehat, ia juga mengaku mendapat keuntungan lebih karena biaaya saprodinya lebih murah. Hal itu karena dalam pertanian alami seperti yang ia dapatkan dari para pendamping Bina Desa, menuntut kemandirian dari input sampai hasil panen bahkan pemasarannya nanti.

“Saya sudah mempraktikan dua musim ini, alhamdulillah hasilnya dari musim kemusim ada kenaikan, walau masih belum sebagus seperti yang menggunakan pupuk kimia, tapi kalau dibandingkan dari biaya produksi sudah berkurang” ujar Ibu Enah.

Namun demikian, seperti di beberapa dairah lain yang didampingi Bina Desa untuk praktik pertanian alami, salah satu kendala yang dihadapi adalah mengubah kesadaran para petani yang puluhan tahun kadung terbiasa dengan pertanian konvensional kimiawi.

“petani yang lain masih ragu untuk mempraktikan pertanian alami, kebanyakan masih ingin melihat bukti dulu.” Akunya.

Sebagian besar petani di desa Cipeuteuy masih menggunakan input kimia dalam pertanianya, ketergantungan pada bahan-bahan pabrik sangat kental sekali, padahal jika dilihat dari sejarah dan cerita orang tua dulu mereka bertani cukup dengan abu dapur sebagai bahan penyubur hasilpun sudah bagus. Hanya saja setelah adanya program pemerintah Revolusi hijau, BIMAS, dll. Membuat masyarakat meninggalkan cara-cara pertanian alami.

Hal senada dakui oleh Abah Ata (80) salah satu orang tertua di kampung Babakan. Ia Seorang petani yang mengalami dari beberapa program pemerintah tersebut diatas.

“Dulu mah Abah tanam padi, tidak pernah pakai pupuk, festisida toko (kimia), cukup dengan sampah dapur dan pupuk kandang, dan hasilnyapun bias cukup untuk satu musim tanam bahkan lebih,” Ujar nya

Praktik pertanian alami yang di gagas oleh Paguyuban Tani Jaya Mukti bekerjasama dengan Bina Desa, rupanya bisa memberikan satu alternative bagi masyarakat dalam pertanian. “Dengan pertanian alami masyarakat akan terlepas dari ketergantungan dan sebagai salah atu bentuk perlawanan terhadap kapitalis di pedesaan,” ungkap Agus Bachtiar ketua Paguyuban Tani Jaya Mukti

“Upaya pengembangan pertanian alami yang sedang dilakukan oleh paguyuban, baik melalui pelatihan dan uji coba – uji cobanya, dapat memberikan alternative dalam pertanian pengurus dan anggota saat ini. Tidak hanya itu bahkan dapat meningkatkan perekonomian dengan adanya pengurangan biaya produksi dalam pertanian dan peternakan.” Imbuh Asep di sela sela kesibukannya.

 

 

Kendala Irigasi

Semangat dan kesadaran untuk kembali kepada pertanian alami rupanya tidak selalu mulus dalam perjalan praktiknya. Petani di Desa Cipeuteuy yang mayoritas petani tadah hujan, pada musim tanam sangat tergantung pada air dari hujan.

Kurangnya sarana pengairan (irigasi) membuat petani sawah sangat bergantung pada turunnya hujan, saat dimana para petani mulai mengolah dan menanami kembali sawahnya. Padahal jika dilihat dari potensi kekayaan alam seperti sumber air Ciherang dan Batu Tumpang di kampung Babakan sangat memadai, jika saja ada dukungan dan perhatian dari pemerintah daerah.

“sayang memang karena sepertinya pemerintah tidak melirik potensi ini. Atau memang mereka sengaja mengabaikan kami..” ujar Asep, yang merupakan warga Cipeteuy dan CO Bina Desa.

Sementara itu di tengah keterbatsan yang ada, petani setia menunggu datangnya hujan. Hujan pun akhirnya turun. Pak Udin (40) salah seorang petani yang berada di kampong Babakan bersemangat lagi mendatangi sawahnya yang sempat ditunda dalam proses pengolahan lahannya karena tidak adanya air. “Tidak hanya saya yang sibuk kembali mengolah lahan, Pak Ikin dan Bu Didah tetengga sawah saya juga sibuk kembali membajak di sawah,” ujar nya.

Mayoritas mata pencaharian masyarakat Cipeuteuy bergantung kepada sektor pertanian (berkebun, berladang dan bersawah). Sejak tahun 2000 – saat ini masyarakat menggunakan alat produksi/lahan untuk bertani memnfaatkan lahan eks HGU PT Intan Hepta dan lahan eks perhutani yang saat ini dikelola oleh TNGHS. Cara pertanian masih konpensional dengan hasil produksi: palawija dan sayur mayur yang didistibusi ke wilayah JABODETABEK. Belum adanya lembaga lokal/koperasi desa, maka dalam pendistribusian hasil produksi masih dimonopoli oleh bandar/tengkulak, “kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat.” Tegas Asep.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top