Pendokumentasian bagi perempuan pejuang kedaulatan pangan sangat penting dilakukan untuk mencegah dekonstruksi narasi besar sistem pangan yang dibangun oleh neoliberalisme yang terbukti tidak adil terhadap manusia dan alam, dan tidak berkelanjutan. Hal ini sering dialami oleh perempuan baik dalam internal (keluarga), maupun eksternal (masyarakat, penguasa, pemerintah, pihak swasta, bank-bank multilateral dan negara-negara maju) dengan mengeksklusi (mengeluarkan) perannya dalam pengelolaan pangan, mulai dengan benih pabrikan, alat-alat pertanian yang tidak ramah terhadap perempuan, makanan cepat saji, perbedaan upah buruh pertanian antara perempuan dan laki-laki, pertanian komersial untuk eksport yang semuanya membuat ruang perempuan untuk bertani menjadi kian sempit. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh perempuan tani di Indonesia tetapi juga di kawasan Asia Pasifik dan negara- negara berkembang lainnya, seolah tidak ada good practices sebelumnya yang patut menjadi acuan.
Untuk menjawab keresahan perempuan terhadap dekonstruksi narasi besar sistem pangan ini, perlu adanya upaya pelatihan agar perempuan pejuang kedaulatan pangan untuk mendokumentasikan segala hal dalam baik saat mencari atau mengumpulkan bahan pangan, memproduksi, mengolahnya menjadi konsumsi keluarga, mengelola kecukupan pangan keluarga setiap hari sampai mendistribusikannya.
Karena keresahan tersebut kak Suci, periset muda dari Komunitas Pesisir Jeneponto dengan didampingi oleh ibu Dwi Astuti dari Bina Desa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan FPAR on Food Sovereignty atau Feminist Participatory Action Research tentang Kedaulatan Pangan yang diselenggarakan oleh APWLD (Asia Pacific Women Forum in Law and Development) untuk enam organisasi yang yang lolos seleksi dalam proses Call For Proposal: FPAR on Food Sovereignty pada tanggal 1-5 November 2023 di Chiang Mai, Thailand.
Menurut APWLD dalam pengantar training, FPAR mendukung tujuan APWLD dalam mendukung dan mengembangkan gerakan hak-hak perempuan dan memajukan hak asasi perempuan. FPAR juga menciptakan bentuk-bentuk baru hubungan kolaboratif yang penting untuk menguatkan kemampuan perempuan dan memperkuat suara mereka serta menumbuhkan agensi. FPAR bisa disebut sebagai pilihan politik yang dimulai dengan keyakinan bahwa pengetahuan, data, dan keahlian bersifat gender, dibangun untuk menciptakan otoritas yang memiliki hak istimewa, dan bahwa perempuan memiliki keahlian yang harus menjadi kerangka pengambilan keputusan kebijakan.
FPAR merupakan sebuah metode penelitian untuk mengungkap, mendengar dan mendokumentasikan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam memperjuangkan kedaulatan pangan. Peserta yang mengikuti training ini berjumlah 11 orang perempuan dari Bangladesh, India, Indonesia, Nepal, Philippines dan Sri Lanka, mewakili enam organisasi. Setiap organisasi diwakili oleh dua orang; satu orang perempuan peneliti muda dan satu orang mentor.
FPAR dalam metodenya menggunakan pendekatan feminis. Di mana pendekatan ini mempertimbangkan hambatan praktis terhadap partisipasi perempuan dalam kegiatan dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan semua orang mampu berkontribusi dalam kegiatan. FPAR menggunakan metode yang mendukung dan mengembangkan gerakan hak-hak perempuan dan memajukan hak asasi perempuan. Sehingga FPAR menciptakan bentuk-bentuk baru hubungan kolaboratif yang penting untuk memberdayakan perempuan dan memperkuat suara mereka serta mendorong agensi mereka.
FPAR memiliki sembilan prinsip yakni: perubahan struktural, memperkuat suara perempuan, dimiliki oleh komunitas, pendekatannya lintas sektoral, mengubah kekuasaan, mendorong gerakan/aksi kolektif, membangun kapasitas semua orang, melibatkan FPIC, memprioritaskan keselamatan, kepedulian dan solidaritas. (Red)