Bina Desa

Dwi Astuti: Sekian Koreksi, Tapi Pemerintah Seperti Tak Menggubris…

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementrian Desa (Puslibangdes Kemendesa) menyelenggarakan diskusi meja bundar dengan topik “Membangun Desa dan Desa Membangun”. Diskusi tersebut melipatkan 24 perwakilan dari aktivis pedesaan, ormas, NGO, pemerintah dan akademisi.

Anharudin, ketua penyelenggara diskusi dalam pengantarnya menyampaikan  bahwa forum tersebut digelar sebagai awal dialog kritis antara pemerintah dengan masyarakat sipil untuk memberikan koreksi terhadap konsep dan implementasi pembangunan pedesaan yang selama ini menjadi andalan sekaligus menggali gagasan memperkuat konsep Desa Membangun  dan menemukan gambaran ideal tentang kemajuan desa baik versi pemerintah maupun versi masyarakat sipil.  Sementara Kapuslitbangdes, Ibu Nora Ekaliana Hanafie mengatakan, Puslitbangdes membuka diri menerima kritik dan masukan apalagi pemerintah (Menteri Desa) telah berencana akan melakukan revisi UU Desa.

Dalam diskusi yang diselenggarakan pada tanggal 10 Nopember di Surabaya, Direktur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti, turut hadir sebagai peserta sekaligus fasilitator dalam salah satu sesi diskusi. Apa kesan dan pandangan beliau terkait pembangunan desa terkait adanya UU Desa sekarang ini? Berikut adalah petikan wawancara khusus Bulletin Bina Desa dengan Dwi Astuti, selengkapnya:

Banyak tumpang tindih dan paradoks terkait pembangunan desa selama ini, kecenderung menjadikan desa dan masyarakatnya sebagai obyek di dalam pembangunan masih jadi paradigma, apa tidak ada koreksi?

Asumsi-asumsi tentang bagaimana mewujudkan masyarakat  desa yang sejahtera sesungguhnya telah mendapat koreksi total dari kalangan masyarakat sipil. Apa yang telah dilakukan di masa lampau dan terbukti gagal perlu didekonstruksi untuk memperoleh asumsi baru yang ideal. Tetapi koreksi tersebut tidak menjadi perhatian pemerintah dan desa terus menjadi obyek pembangunan.

UU Desa bisa jadi peluang yang dapat merubah kondisi desa dan paradigma pembangunan desa di masa lalu?

Sebagian kalangan meyakini, rakyat Indonesia yang berada pada strata bawah di pedesaan hanya dapat mencapai kemandirian jika desa-desa diberi kesempatan, kewenangan, dan kebebasan untuk membangun dirinya.

Maka dengan lahirnya UU Desa muncul harapan terjadi perubahan mendasar dalam paradigma, asumsi, filosofi, strategi (metodologi) pembangunan di pedesaan. Entitas kehidupan desa yang selama puluhan tahun telah dijadikan obyek pembangunan dengan segala bentuk perlakuan dan intervensi kini diberi kewenangan secara otonom. Konsep Desa Membangun yang disebut sebagai Self Governing Community sebagai bentuk demokrasi di desa menjadi andalan dalam UU Desa dengan menyatakan bahwa desa-desa pada dasarnya memiliki kekuatan besar, yang perlu diperhitungkan dalam proses transformasi menuju kemajuan (kemandirian), dan kekuatan itu antara lain berupa adat, ulayat, asal-usul sejarah, gotong royong (partisipasi), kearifan (wisdom),   kepemimpinan, demokrasi lokal, kepercayaan, magis, dll, yang dapat dan harus dijadikan sebagai basis kekuatan desa untuk membangun dirinya.

Apa pandangan kalangan sipil sejauh UU Desa berjalan sekarang ini?

Sebagian kalangan memandang skeptis terhadap UU Desa karena sangat teknokratis dan terdapat banyak dualisme dalam pasal-pasalnya. Selain itu, nuansa ekonominya lebih kuat dan cenderung liberal dibandingkan dengan penguatan sosial-budaya dan sosial politiknya. UU Desa juga dipandang masih lemah dalam melindungi dan menjamin hak asasi perempuan dan masyarakat marjinal di Desa. UU No 7/1984 sebagai ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tidak menjadi salah satu konsideran.

Apa titik berat koreksi pada persoalan desa dan penyelanggara pembangunan dalam hal ini pemerintah?

Harus ada refleksi pembangunan pedesaan secara menyeluruh mulai dari idiologi, paradigma, strategi dan metodologi membangun desa. Kedua melakukan konstruksi Desa membangun.  Seluruh kompenen masyarakat sipil mau pun negara harus sama aktif dan kritis menguarai pandangan, jujur terhadap pengalaman pembangunan desa selama ini sehingga paradigma lama yang cenderung eksploitatif tidak terulang. UU Desa memberi harapan dan dorongan akan perubahan hal itu, tapi itu tidak mencukupi selagi tidak ada perubahan standar politik pembangunan yang lebih jujur dan melibatkan masyarkat desa sendiri sebagai aktor utama.

Memang apa yang terjadi selama ini?

Bahwa idiologi, paradigma, konsep, strategi dan metodogi membangun desa selama ini tidak menempatkan masyarakat (manusianya) sebagai subyek yang mandiri agar mampu membangun desanya. Cara pandang terhadap desa yang identik dengan kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan menjadikan desa hanya sebagai pihak yang harus diatur dan dikontrol oleh pemerintah diatasnya. Konsep membangun Desa bahkan gagal dalam membangun karakter masyarakat desa yang mandiri, jujur dan bertanggungjawab.

Misalnya? Apa relasinya dengan adanya UU Desa sekarang?

Berbagai proyek pembangunan desa justru melahirkan elit-elit desa yang korup dan masyarakat desa yang materialistik. Oleh karena itu UU Desa perlu disikapi secara kritis karena banyak jebakan atau gaming yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencari untung seperti pada proyek-proyek pembangunan desa sebelumnya.

Jebakan? Siapa yang sekiranya akan diuntungkan?

Meskipun kapitalisasi di desa bukan menjadi tujuan, tetapi beberapa pasal dalam UU Desa dapat digunakan untuk melancarkan jalan tumbuh suburnya kapitalisme di pedesaan. Sebagian (besar) masyarakat desa menangkap UU Desa adalah dana 1,4 Miliar rupiah dan BUMDes. Lain dari hal itu?

Lagi pula, berkaitan dengan otonomi desa, UU Desa masih ambigu dalam memberi otoritas kepada desa karena program-program yang direncanakan oleh desa meskipun telah melalui musyawarah desa yang partisipatif tetapi keputusan akhir tetap berada di supra desa karena harus sesuai dengan program  pemerintah diatasnya (kabupaten).

 

Penutupan RTD oleh Kabadan Litbang Kemendesa
Penutupan RTD oleh Kabadan Litbang Kemendesa

 

 

Bagaimana dengan persoalan keadilan gender baik bagi laki-laki mau pun perempuan khususnya yang dalam takaran pembangunan selalu ada dominasi?

UU Desa belum memberikan perhatian terhadap masalah perempuan dan masyarakat marginal pedesaan lainnya. Meskipun peran dan kontribusinya signifikan dalam kehidupan rumah tangga dan desa tetapi UU Desa tidak secara tegas memberi amanat agar perempuan dapat terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan di desa. UU No 7/1984 sebagai ratifikasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tidak menjadi salah satu konsideran UU Desa.

Lalu apa rekomendasi yang harus ditindaklanjuti pemerintah dalam hal ini Kementerian Desa khususnya?

Pemerintah harus merubah cara pandang terhadap desa dan menguatkan proses demokratisasi di desa berdasarkan pada pengalaman budaya demokrasi masyarakat desa Indonesia (local wisdom) yang beragam. Hal yang paling mendasar dalam desa membangun adalah karakter orang-orang desa yang tangguh, mandiri, jujur dan bertanggungjawab.

Dengan cara pandang ini maka strategi desa membangun harus menempatkan masyarakat desa laki-laki, perempuan dan masyarakat marjinal  lainnya sebagai subyek agar mampu menyelenggarakan kehidupan desa secara otonom. Revisi UU Desa harus menyentuh pada persoalan ini untuk mengakhiri sejarah panjang desa sebagai obyek yang selalu di ‘obok-obok’ atas nama pembangunan. (*)

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top