Bina Desa

DESA, KARTJONO, DAN BINA DESA

  • Pengantar
    Pembangunan pedesaan adalah salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah dan penduduk Indonesia berada di pedesaan. Pembangunan pedesaan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, dan demokrasi masyarakat desa, serta mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa, seperti kemiskinan, ketimpangan, marginalisasi, eksploitasi, konflik, dan lainnya.

Pembangunan pedesaan di Indonesia masih didasarkan pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur tentang hak, kewajiban, dan kewenangan desa dalam mengurus dan mengatur urusan pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, dan kebudayaan. UU ini sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan panjang masyarakat desa untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak−hak dan kewenangan mereka. Namun, dalam praktiknya, UU ini masih banyak mengandung ketidakjelasan, ketidakkonsistenan, dan ketidaksesuaian dengan realitas masyarakat desa. UU ini juga masih banyak disalahgunakan oleh pihak−pihak yang berkepentingan untuk memanipulasi, mengintervensi, atau menghambat proses pembangunan pedesaan .

Akibatnya, pembangunan pedesaan masih didominasi oleh pendekatan top−down, sentralistik, paternalistik, dan sektoral yang tidak sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan potensi masyarakat desa. Pembangunan pedesaan juga masih rentan terhadap berbagai intervensi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang tidak menghormati hak−hak dan kewenangan masyarakat desa. Pembangunan pedesaan juga masih belum mampu mengatasi berbagai masalah struktural yang menjadi akar dari kemiskinan dan ketidakadilan di pedesaan. Gagal?

Salah satu cara untuk mengetahui kegagalan pembangunan pedesaan di Indonesia adalah dengan melihat fakta dan data yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa. Beberapa fakta dan data yang menunjukkan kegagalan pembangunan pedesaan di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pertama, menurut sensus penduduk 2020, jumlah penduduk desa di Indonesia adalah sekitar 119 juta jiwa atau 44% dari total penduduk Indonesia. Namun, jumlah penduduk desa menurun sebesar 9% dari tahun 2010 hingga 2020. Hal ini menunjukkan adanya fenomena urbanisasi atau migrasi penduduk desa ke kota akibat ketidakpuasan atau ketidakberdayaan masyarakat desa dalam menghadapi kondisi sosial dan ekonomi di desanya.

Kedua, menurut Susenas 2019, tingkat kemiskinan di desa adalah sebesar 13% atau lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di kota yang sebesar 7%. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan sosial dan ekonomi antara desa dan kota. Selain itu, menurut IKM 2018, sekitar 19% penduduk desa mengalami kemiskinan multidimensi, yaitu kemiskinan yang tidak hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga dengan kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan akses dan kualitas layanan publik bagi masyarakat desa.

Ketiga, menurut IPM 2019, nilai IPM di desa adalah sebesar 0,64 atau lebih rendah daripada nilai IPM di kota yang sebesar 0,72. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat pembangunan manusia antara desa dan kota. Pembangunan manusia adalah sebuah konsep yang mengukur kemajuan suatu negara atau wilayah dalam hal kesehatan, pendidikan, dan standar hidup masyarakatnya. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan potensi dan kapasitas manusia di desa.

Keempat, menurut Democracy Index 2020, nilai demokrasi di Indonesia adalah sebesar 6,36 atau termasuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, negara hukum, dan partisipasi politik. Hal ini juga menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, polarisasi politik, dan konflik sosial yang terjadi di Indonesia, termasuk di desa−desa.

Kelima, menurut World Happiness Report 2020, nilai kebahagiaan di Indonesia adalah sebesar 5,29 atau berada di peringkat ke−82 dari 153 negara. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpuasan atau ketidakbahagiaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang mereka alami. Hal ini juga menunjukkan adanya faktor−faktor yang mempengaruhi tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia, seperti kesehatan mental, kualitas sosial, kepercayaan sosial, dan lainnya.

Dari fakta dan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pedesaan di Indonesia masih jauh dari harapan dan tujuan yang diinginkan oleh rakyat Indonesia. Pembangunan pedesaan di Indonesia masih gagal menciptakan desa−desa yang mandiri, sejahtera, demokratis, dan berbudaya. Pembangunan pedesaan di Indonesia masih gagal menciptakan masyarakat desa yang berdaya, sejahtera, berhak, dan bahagia.

  • Kembali kepada Kartjono dan Paulo Freire: Dua Guru Pembangunan Pedesaan

“Pendidikan bukanlah proses penyesuaian diri, tetapi proses pembebasan diri.” (Paulo Freire) “Desa bukanlah objek pembangunan, tetapi subjek pembangunan.” (Kartjono)

Salah satu konsep penting yang dikembangkan oleh Kartjono adalah pendidikan musyawarah, yaitu sebuah metode pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan pedesaan. Pendidikan musyawarah adalah sebuah proses dialog antara masyarakat desa dengan fasilitator atau pendamping pembangunan pedesaan , yang berdasarkan pada prinsip−prinsip demokrasi, dialogis, pluralis, dan egaliter. Pendidikan musyawarah adalah sebuah proses deliberasi antara masyarakat desa untuk mencapai kesepakatan bersama tentang masalah−masalah publik yang dihadapi oleh desa. Pendidikan musyawarah adalah sebuah proses pembelajaran kolektif antara masyarakat desa untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai−nilai yang diperlukan untuk pembangunan pedesaan .

Konsep pendidikan musyawarah memiliki kesamaan dengan konsep dialogic education (pendidikan dialogis) yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Konsep ini adalah sebuah metode pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan masyarakat tertindas dari berbagai bentuk dominasi dan alienasi. Pendidikan dialogis adalah sebuah proses dialog antara masyarakat tertindas dengan pendidik atau fasilitator, yang berdasarkan pada prinsip−prinsip kemanusiaan, kritis, problematis, dan transformatif. Pendidikan dialogis adalah sebuah proses problem−posing (penyajian masalah) antara masyarakat tertindas untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah−masalah sosial yang dihadapi oleh mereka. Pendidikan dialogis adalah sebuah proses conscientization (penyadaran) antara masyarakat tertindas untuk mengembangkan kesadaran kritis tentang realitas sosial mereka.

Salah satu teori sosial yang mendukung konsep pendidikan musyawarah dan pendidikan dialogis adalah teori communicative action (tindakan komunikatif) dari Jürgen Habermas. Teori ini menyatakan bahwa tindakan komunikatif adalah tindakan yang dilakukan oleh aktor−aktor sosial untuk mencapai pemahaman bersama dan koordinasi tindakan melalui proses dialog dan deliberasi. Teori ini juga menyatakan bahwa tindakan komunikatif harus didasarkan pada prinsip−prinsip rasionalitas, inklusivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Teori ini relevan dengan konsep pendidikan musyawarah dan pendidikan dialogis karena menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses tindakan komunikatif yang demokratis dan emansipatoris.

Konsep penting lain yang dikembangkan oleh Kartjono adalah komunitas swabina pedesaan (KSP), yaitu sebuah model desa yang mandiri, sejahtera, demokratis, dan berbudaya. KSP adalah sebuah desa yang memiliki otonomi dalam mengelola sumber daya dan potensi lokalnya. KSP adalah sebuah desa yang memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. KSP adalah sebuah desa yang memiliki demokrasi dalam mengatur urusan−urusan publiknya. KSP adalah sebuah desa yang memiliki budaya dalam menjaga identitas dan nilai−nilai lokalnya. Poinnya, KSP bukanlah kelompok proyek−proyek.

Konsep KSP memiliki kesamaan dengan konsep cultural action for freedom (tindakan budaya untuk kebebasan) yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Konsep ini adalah sebuah model tindakan sosial yang bertujuan untuk membebaskan masyarakat tertindas dari berbagai bentuk penjajahan budaya. Tindakan budaya untuk kebebasan adalah sebuah tindakan yang mengembangkan budaya sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi, berorganisasi, dan bertransformasi. Tindakan budaya untuk kebebasan adalah sebuah tindakan yang menghargai budaya sebagai sumber pengetahuan, kreativitas, dan resistensi. Tindakan budaya untuk kebebasan adalah sebuah tindakan yang menjaga budaya sebagai identitas, nilai−nilai, dan tradisi.

Salah satu teori sosial yang mendukung konsep KSP dan tindakan budaya untuk kebebasan adalah teori social capital (modal sosial) dari Robert Putnam. Teori ini menyatakan bahwa modal sosial adalah sumber daya sosial yang dimiliki oleh individu atau kelompok sosial melalui jaringan, norma, dan kepercayaan bersama. Teori ini juga menyatakan bahwa modal sosial dapat meningkatkan kesejahteraan, kinerja, dan partisipasi masyarakat. Teori ini relevan dengan konsep KSP dan tindakan budaya untuk kebebasan karena menunjukkan bahwa desa dan budaya adalah sumber modal sosial yang penting untuk pembangunan pedesaan .

Pada bagian lain, konsep penting yang dikembangkan oleh Paulo Freire adalah pedagogy of the oppressed (pedagogi orang tertindas), yaitu sebuah teori dan praktik pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan masyarakat tertindas dari berbagai bentuk penindasan. Pedagogi orang tertindas adalah sebuah pedagogi yang mengkritisi sistem pendidikan tradisional yang bersifat banking (menyimpan pengetahuan), yaitu sistem pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai objek pasif yang harus menerima pengetahuan dari guru sebagai subjek otoriter. Pedagogi orang tertindas adalah sebuah pedagogi yang mengusulkan sistem pendidikan baru yang bersifat liberating (membebaskan pengetahuan), yaitu sistem pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai subjek kritis yang harus menciptakan pengetahuan bersama dengan guru sebagai mitra dialogis. Pedagogi orang tertindas adalah sebuah pedagogi yang mengubah hubungan antara pendidik dan peserta didik, antara pengetahuan dan realitas, antara teori dan praksis.

Konsep pedagogi orang tertindas memiliki kesamaan dengan konsep pembangunan pedesaan kritis yang dikembangkan oleh Kartjono. Konsep ini adalah sebuah teori dan praktik pembangunan pedesaan yang bertujuan untuk memajukan dan membebaskan masyarakat desa dari berbagai bentuk keterbelakangan. Pembangunan pedesaan kritis adalah sebuah pembangunan yang mengkritisi sistem pembangunan tradisional yang bersifat top−down, sektoral, eksklusif, dan tidak

memiliki alternatif. Pembangunan pedesaan kritis adalah sebuah pembangunan yang mengusulkan sistem pembangunan baru yang bersifat bottom−up, holistik, inklusif, dan alternatif. Pembangunan pedesaan kritis adalah sebuah pembangunan yang mengubah hubungan antara pemerintah dan masyarakat desa, antara ekonomi dan sosial, antara elit dan rakyat, antara pusat dan lokal.

Konsep pedagogi orang tertindas dan pembangunan pedesaan kritis ini relevan dengan teori critical theory (teori kritis) dari Frankfurt School. Teori ini menyatakan bahwa teori kritis adalah teori yang tidak hanya menjelaskan realitas sosial, tetapi juga mengungkap kontradiksi, ketidakadilan, dan penindasan yang ada di dalamnya. Teori ini juga menyatakan bahwa teori kritis adalah teori yang tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga politis, yaitu teori yang bertujuan untuk mengubah realitas sosial menjadi lebih adil, demokratis, dan humanis. Teori ini relevan dengan konsep pedagogi orang tertindas dan pembangunan pedesaan kritis karena menunjukkan bahwa pendidikan dan pembangunan adalah proses kritis dan transformatif.

Pemikiran Kartjono Bina Desa dan Paulo Freire tentang pembangunan pedesaan memiliki banyak kesamaan dalam visi dan misi mereka. Kedua tokoh ini memiliki pandangan−pandangan alternatif tentang bagaimana seharusnya pendidikan dan pembangunan pedesaan dilakukan dengan mengedepankan partisipasi, holisme, inklusi, dan kreativitas masyarakat desa. Kedua tokoh ini juga memiliki metode−metode inovatif tentang bagaimana seharusnya pendidikan dan pembangunan pedesaan dilakukan dengan menggunakan dialog, deliberasi, problem−posing, conscientization, dan tindakan budaya. Kedua tokoh ini juga memiliki tujuan−tujuan emansipatoris tentang bagaimana seharusnya pendidikan dan pembangunan pedesaan dilakukan dengan mengarahkan pada otonomi, kemandirian, demokrasi, dan kebebasan masyarakat desa.

  • Merenungkan Kembali Kerja-Kerja Bina Desa

Selama lebih dari empat dekade, Bina Desa telah menghasilkan banyak gagasan pemikiran, program kerja, dan jaringan kerjasama yang berkaitan dengan pembangunan pedesaan di Indonesia. Bina Desa telah menjadi salah satu pelopor dan inspirator gerakan reforma agraria, pertanian alami, perempuan mahardika, swabina pedesaan, dan sekolah pedesaan. Bina Desa juga telah menjadi salah satu mitra dan advokasi masyarakat desa dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa, seperti kemiskinan, ketimpangan, marginalisasi, eksploitasi, konflik, dan lainnya.

Harus diakui, peletak ruh gerakan Bina Desa adalah Kartjono, terutama tentang pengorganisasian komunitas swabina pedesaan. Komunitas swabina pedesaan adalah kelompok−kelompok masyarakat desa yang bergerak secara swadaya dalam membangun desanya sendiri. Komunitas swabina pedesaan adalah wadah−wadah partisipasi masyarakat desa yang berorientasi pada kepentingan bersama dalam membangun desanya sendiri. Komunitas swabina pedesaan adalah jaringan−jaringan kerja sama masyarakat desa yang berbasis pada nilai−nilai lokal dalam membangun desanya sendiri.

Pengorganisasian komunitas swabina pedesaan adalah sebuah strategi perlawanan dan perubahan terhadap pembangunan desa yang top−down dan sentralistik, strategi pembangunan desa yang partisipatif, demokratis, dan berkelanjutan dan sebuah strategi gerakan sosial dan politik untuk perubahan Indonesia yang didorong oleh Kartjono.

Pengorganisasian komunitas swabina pedesaan yang digagas oleh Bina Desa bisa kehilangan makna bila komunitas swabina pedesaan sebagai model masyarakat alternatif pedesaan yang berdasarkan pada pemberdayaan komunitas, pengembangan potensi dan kearifan lokal, serta pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman identitas dan nilai−nilai masyarakat desa hanya menjadi sebuah slogan hampa yang tidak memiliki implementasi nyata di lapangan.

Hal ini bisa terjadi, bila pertama, praktik pengorganisasian komunitas swabina pedesaan cenderung didasarkan pada asumsi−asumsi yang salah atau tidak tepat tentang masyarakat desa. Asumsi−asumsi ini antara lain adalah bahwa masyarakat desa adalah satu kesatuan yang monolitik dan statis yang tidak memiliki perbedaan atau dinamika di dalamnya; bahwa masyarakat desa adalah kelompok yang lemah, ketinggalan, terbelakang, dan tidak berdaya yang harus dibantu atau diselamatkan oleh pihak− pihak yang lebih kuat, maju, modern, dan berpengaruh daripada mereka; bahwa masyarakat desa adalah kelompok yang pasif, apatis, dan tidak kritis yang harus dididik atau diorganisir oleh pihak− pihak yang lebih pintar, berpengalaman, dan berwawasan daripada mereka.

Kedua, bila praktik pengorganisasian komunitas swabina pedesaan cenderung didasarkan pada strategi−strategi yang tidak efektif atau tidak relevan untuk meningkatkan kapasitas, kreativitas, partisipasi, dan kemandirian masyarakat desa. Strategi−strategi ini antara lain adalah bila hanya melakukan pendampingan teknis atau fungsional yang berfokus pada aspek−aspek produksi, distribusi, konsumsi, dan akumulasi barang dan jasa tanpa memperhatikan aspek−aspek politik, sosial budaya, ekologi, dll; bahwa hanya melakukan pendampingan parsial atau eksklusif yang berfokus pada kelompok−kelompok tertentu di dalam masyarakat desa tanpa memperhatikan hubungan− hubungan antar kelompok atau antar lapisan di dalam masyarakat desa; bahwa bila melakukan pendampingan jangka pendek atau proyektif yang berfokus pada target−target tertentu yang ditetapkan oleh pihak−pihak luar tanpa memperhatikan proses−proses pembelajaran atau penguatan di dalam masyarakat desa. Akhirnya, tujuan mulia pengorganisasian komunitas swabina pedesaan mendapat tantangannya ketika komunitas lebih sibuk dengan urusan administratif daripada pengorganisasian komunitas yang pada akhirnya bisa menghilangkan kreativitas dan inovasi dalam pembangunan pedesaan.

Hal ini perlu menjadi perhatian bagi kita semua, agar Bina Desa selalu hadir menciptakan hal−hal baru yang sesuai dengan kondisi dan kepentingan masyarakat desa. Agar Bina Desa menjadi organisasi yang terus bergerak dalam pembangunan pedesaan, desa dimana Bina Desa belajar dan bertumbuh bersama masyarakat pedesaan .

“Desa adalah tempat di mana kita bisa belajar banyak hal, bukan hanya tentang pertanian, tapi juga tentang kehidupan, tentang manusia, tentang masyarakat, tentang budaya, tentang sejarah, tentang politik, dan tentang masa depan.” Kartjono

* Paper ini ditulis oleh Lily Noviani Batara

** Paper ini disiapkan dalam rangka Diskusi Publik Bincang Syukuran Ulang Tahun Bina Desa yang ke − 48 “ Kiprah Bina Desa dalam Pembanguan Pedesaan” 08 Juli 2023.

 

Scroll to Top