Sulitnya upaya pengentasan kemiskinan salah satunya disebabkan salah kaprah dalam pengumpulan data yang mengakibatkan kesalahan analisis dan tidak efesiennya program pengentasan kemiskinan. Disamping kecenderungan indicator data dalam skala makro yang tidak mencukupi untuk melihat keragaman dan kompleksitas perkeluarga dalam dairah yang berbeda, kecenderungan data seperti bisa diguanakan BPS (Badan Pusat Statistik) cenderung sentralistik.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Menurut Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik, Hamonangan Ritonga. Data BPS selama ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak.
“Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.” Ujar Hamonangan Ritonga.
Secara konseptual, masih menurut Hamonangan Ritonga, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) memang dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. “Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.”Terang Hamonangan Ritonga lagi.
“Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.”
Tak cukup dengan bantuan langsung.
Program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin.
Namun menurut Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik menilai upaya pengentasan kemiskinan dengan bantuan langsung tidak akan berpengaruh besar. “Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.” Ujarnya.
Menurutnya, Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Laksanakan Land Reform
Namun demikian menurut Prof. Maksum, terlepas dari persoalan tidak akuratnya data, dan meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai program anti kemiskinan dan skema kredit yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, namun persoalan fundamental yang hingga kini belum terselesaikan adalah land reform. ”Persoalan ini cukup penting untuk dibenahi mengingat banyak petani kita yang saat ini makin kehilangan akses terhadap tanah. Banyak faktor di luar pertanian itu sendiri yang berkontribusi terhadap semakin berkurangnya akses dan kepemilikan tanah serta terjadinya fragmentasi lahan di kalangan petani mulai dari faktor budaya, desakan ekonomi, laju konversi lahan, penguasaan tanah lahan oleh korporasi secara masif dan sebagainya.”
Oleh karena itu, seperti latar historis lahirnya UUPA, prof. Maksum menyatakan kepentingan memajukan kesejahteraan rakyat pedesaan adalah esensi utama diundangkannya UUPA yang semangat revolusionernya didokumentasikan sebagai konsideran atas terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus 1963 tentang Penetapan 24 September sebagai Hari Tani. Hidup petani !!