BANGKOK, BINADESA.ORG – Untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas dalam melakukan advokasi kebijakan melalui Constructive Engagament, yang dapat diartikan secara bebas yaitu membangun hubungan kritis antara organisasi masyarakat sipil, pemerintah dan sektor privat. AsiaDHRRA menyelenggarakan Training of Trainers (ToT) Regional ke-3, dengan tema ‘Training-Workshop on Policy Advocacy Through Constructive Engagements and Private Sector’. 45 orang berkumpul selama lima hari, sejak tanggal 12 hingga 16 Maret 2018 di Bangkok, Thailand. Mereka berasal dari delapan Negara anggota yang tergabung dalam jaringan AsiaDHRRA, yakni Filipina, Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Thailand, Laos dan Vietnam, dengan latar belakang peran dan aktivitas yang berbeda-beda; Staff Advokasi DHRRA Nasional, Pimpinan Organisasi Tani dan Pedesaan, Perwakilan Pemerintah dan Sekretariat AsiaDHRRA.
Secara umum ada 3 aktivitas yang dilakukan selama kegiatan ToT berlangsung. (1) Training-Workshop tentang Advokasi Kebijakan melalui hubungan yang membangun, (2) Training-Klinik menulis Kertas Posisi dan Kertas kebijakan, (3) Kunjungan lapang ke Kelompok Tani Lokal serta Dialog bersama UNESCAP dan FAO.
Training-workshop tersebut difasilitasi oleh beberapa trainer yang sudah berpengalaman dalam membangun jejaring interaksi antara masyarakat sipil, pemerintah maupun sektor privat, salah satunya adalah Corazon Solliman, Mantan Menteri Kesejahteraan Sosial Filipina, dan Aktivis gerakan masyarakat sipil di Filipina. Dengan latar belakangnya tersebut, Dinky – begitu ia biasa disapa – mampu membawa proses pembelajaran menjadi lebih kaya dan berwarna, ditambah kemampuannya dalam mengelola pengalaman dan pengetahuan peserta training. Ernesto Lim – yang juga malang melintang di akar rumput dan organisasi masyarakat sipil Filipina – memandu kelas klinik menulis kertas posisi dan kertas kebijakan.
Hubungan konstruktif dimaknai sebagai sebuah proses membangun hubungan antara beberapa sektor : (1) Negara – yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah pada semua level, (2) Privat – Para pelaku usaha dan (3) Masyarakat sipil untuk dapat berkolaborasi demi mencapai tujuan bersama yakni keadilan sosial dan perubahan positif di tengah-tengah masyarakat. Salah satu prinsip Constructive Engagement adalah berbasis warga negara – artinya yang dimaknai sebagai ‘tujuan bersama’ harus mengutamakan pemenuhan hak-hak warga negara dan kepentingan umum. Proses menuju hubungan konstruktif tersebut bisa dilakukan dengan berbagai macam instrumen, salah satunya adalah melalui advokasi kebijakan – baik yang berbentuk regulasi perundang-undangan atau program/projek pemerintah.
Pengalaman Advokasi Kebijakan
Beberapa praktik dalam membangun hubungan konstruktif dalam proses advokasi kebijakan adalah melalui konsultasi publik, dialog kebijakan dan negosiasi. Untuk melalukan praktik-praktik tersebut diperlukan kecakapan fasilitasi dan komunikasi yang baik, agar maksud dan tujuan yang ingin dicapai secara bersama-sama tersampaikan secara efektif dan efisien. Namun tidak hanya kemampuan komunikasi dan fasilitasi yang diperlukan dalam melakukan praktik membangun hubungan konstruktif, juga dibutuhkan adanya instrumen tertulis yang mampu mendokumentasikan dengan baik sikap, posisi, tuntutan, rekomendasi, kehendak maupun kepentingan organisasi atas suatu kebijakan. Oleh karena itu penting untuk organisasi masyarakat sipil memiliki kemampuan dalam menulis kertas kebijakan, kertas posisi, rilis media, dan review kebijakan.
Dengan berbagai macam latar belakang sosio, ekonomi, politik dan kebudayaan, Pengalaman organisasi dari delapan negara yang hadir pada ToT tersebut dalam melakukan advokasi kebijakan terkait isu pembangunan pedesaan dan agraria juga sangat bervariasi. Dari Filipina misalnya, isu kebijakan strategis yang menjadi fokus advokasi PhilDHRRA dan organisasi taninya adalah UU NLUA (National Land Use Act), yang sudah berlangsung selama 30 tahun lamanya. UU ini – jika dimaknai dalam konteks keIndonesiaan – adalah payung hukum untuk tata kelola lahan dan ruang secara nasional di Filipina. Bina Desa sendiri mengusung UU No.6 Tahun 2014 – atau yang lebih dikenal dengan UU Desa – sebagai kebijakan strategis dalam kancah pembangunan pedesaan dan agraria. UU Desa yang hari ini hampir berusia 4 tahun memiliki tantangan dalam hal substansi dan implementasi, pada dua konteks ini advokasi kebijakan, Bina Desa bermuara. Lalu beberapa negara peserta lainnya mengadvokasi kebijakan pemerintah yang berbentuk program/projek, seperti Thailand, Laos dan Kamboja yang sama-sama berbicara soal praktik pertanian alami.
Keberagaman isu yang dipaparkan selama training-workshop tidak menjadi hambatan berarti dalam proses pembelajaran, justru secara positif terjadi medium transfer pengetahuan, pengalaman dan praktik antar peserta. Yang paling utama tentu saja, mengidentifikasi bagaimana organisasi-organsiasi dari delapan negara ini membangun tapak-tapak advokasi kebijakan atas isu-isu yang ditekuni, dan mengambil pelajaran-pelajaran penting untuk kemudian disesuaikan dengan konteks advokasi kebijakan yang sedang dilakukan. (bd032RM)