MAGELANG, BINADESA.ORG— Berikut ini merupakan catatan dari Suwarto Adi, salah seorang anggota pembina Bina Desa yang berkesempatan hadir pada acara konsolidasi dan konsultasi publik hak atas air. Mari kita simak catatan kritis Suwarto Adi atas proses kegiatan, secara substasial dan urun rembugnya bagi tindak lanjut ke depan;
Keberlakuan Undang-Undang nomor 7/2004 tentang Sumberdaya Air telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusan nomor 85/PUU-XI/2013. Undang-Undang dimaksud dinyatakan dibentuk akibat suatu intervensi, lewat Proyek utang Bank Dunia bernama WATSAL. Mahkamah juga menyatakan bahwa UU tersebut telah digunakan sebagai alat legitimasi “swastanisasi air” yang berdampak pada hilangnya kontrol dan penguasaan Negara atas air, serta dominasi serta monopoli swasta atas air. Pengabaian Hak atas air telah terjadi secara terus menerus dan sistematis.
Putusan Mahkamah Konstitusi meneguhkan norma konstitusi, panduan bagi pengelolaan air di Indonesia dan secara khusus bagi pembuatan Undang-Undang Air yang baru untuk mengganti UU no 11/1974 tentang pengairan yang berlaku sementara. Suatu putusan penting yang dapat menjadi momentum mengembalikan kebijakan pengelolaan air ke dalam domain publik, sesuai amanat Konstitusi dan Norma Hak Atas Air.
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) kemudian memulai inisiatif untuk mengadakan advokasi kebijakan nasional terkait tata kelola air. Advokasi ditujukan untuk mendorong adanya perbaikan pengaturan pengelolaan air sesuai kaidah hak atas air dengan focus akuntabilitas negara sebagai duty bearer dan penguatan kapasitas serta kapabilitas warga negara sebagai right holders.
Untuk itu Pada akhir bulan November 2016, tepatnya tanggal 29 Nopember sampai dengan 1 Desember 2016, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA) bersama Bina Desa dan Unika Soegiajapranata melaksanakan dua kegiatan sekaligus. Kegiatan tersebut adalah Seminar dan dialog publik (1 hari) yang dilaksanakan pada tanggal 29 Nopember 2016 di Fakultas Hukum Unika Sogijapranata Semarang yang memperdengarkan paparan dari para peneliti, akademisi dan testimoni warga terkait Naskah Akdemik dan Kajian Hak atas Air. Forum ini dimaksudkan juga sebagai sarana pembekalan bagi peserta konsolidasi jejaring warga negara yang akan melakukan advokasi. Pada acaa tersebut hadir Benny Danang Setianto, Sigit Wijayanto, Francis Wahono (Ketua Dewan Pembina Bina Desa), Henry Simamarta, Muhammad Reza dan perwakilan dari berbagai organisasi.
Acara kedua adalah Konsolidasi dan Konsultasi, pembangunan Strategi Advokasi (2 hari) tanggal 30 Nopember sampai dengan 1 Desember 2016 membahas berbagai isu krusial terkait air di desa dan di kota, memetakan situasi ekosistem air kekinian, termasuk ancaman, potensi dan kerentanan serta ketahanan warga.
Kegiatan tersebut diselenggarakan sebagai upaya membangun panduan gerakan warga negara untuk hak atas air dan legislasi yang berada pada wilayah kebijakan publik dan komunitas dalam perlindungan dan pemajuan hak atas air. Naskah akademik hendak mengupayakan pengamatan terhadap praktek dan proses yang terjadi dalam masyarakat, pertimbangan terhadap ajudikasi sebagai upaya penerjemahan norma dan fakta hukum, mendorong pewujudan kebijakan publik.
Pelaksanaan Konsultasi
Kegiatan di Magelang dibuka dengan perkenalan –sesudah itu dilakukan diskusi pendalaman. Saya diberi waktu pertama kali untuk memberikan pengantar diskusi, kemudian disusul Sigit Budiono Karyadi, dan Romo V. Kirjito sebagai tambahan.
Pada sesi ini saya menyampaikan –karena keterbatasan mempelajari NA RUU HAA (Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Hak atas Air)—berdasarkan konsep kedaulatan pangan, supaya diterapkan untuk persoalan Air. Kemudian, saya tambahkan tentang kondisi pedesaan dan gerakan sosial, yang mungkin bisa dilakukan pada konteks desa.
Peserta saya ajak melihat perbedaan antara rights to water dengan access to water. Karena, pada konteks pertama menekankan pentingnya peran negara dalam memenuhi kebutuhan sanitasi dasar, khususnya air. Sementara, yang kedua lebih bagaimana pemerintah menyediakan air, dengan mengabaikan kemampuan rakyat memperoleh air. Selain itu, pada kasus pertama, pemerintah mestinya memberdayakan potensi rakyat dan sumber daya air yang ada untuk kemakmuran bersama. Inilah dasar kedaulatan rakyat atas air. Dengan begitu, rakyat akan bisa menikmati air secara penuh, termasuk pemeliharaan, dengan dukungan negara. Maka, air yang sehat akan bisa diperoleh dan dipenuhi secara murah dan mudah. Sedangkan, yang kedua, pemerintah hanya menyediakan, bahkan kalau perlu melalui swasta, air supaya rakyat bisa menjangkaunya. Persoalan mahal dan tidak, di luar perhatian pemerintah.
Kalau dalam konteks kedaulatan pangan, kita bisa mendorong munculnya sistem pengelolaan yang berbasis rakyat –dengan simbol lumbung, bukan hanya dalam arti fisik, dan distribusi yang adil –melalui simbol koperasi, yang inklusif bagi semua rakyat. Maka,untuk mendukung sistem produksi diperlukan reforma agraria –yang diperjuangkan oleh Bina Desa. Namun, saya menyampaikan kepada semua peserta, kira-kira untuk konteks advokasi air, jenis reformasi apa yang diperlukan? Reforma lingkungan dan sumber daya air? Supaya bisa dikelola rakyat, dan tidak dikuasai swasta?
Berkaitan dengan Bumdes, dalam rangka pengelolaan air di tingkat desa, diperlukan pemahaman yang lebih komprehensif. Sebab, Bumdes ini masih mempunyai berbagai tafsir. Apalagi, keberadaannya cukup hanya melalui perdes. Saya mendorong, KRuHA bersama Bina Desa melakukan advokasi supaya koperasi menjadi dasar bagi pengelolaan air di pedesaan. Sebab, kalau badan hukum lain bisa menimbulkan banyak persoalan ketidakadilan di tingkat rakyat.
Supaya, bisa dilakukan perubahan kecil di pedesaan diperlukan gerakan sosial baru. Gerakan ini tidak lagi berbasis ideology dan peran buruh, tetapi cukup membangun wacana atau kepentingan bersama (common interest). Apalagi dikaitkan dengan keberadaan media sosial, common interest bisa menjadi dasar membangun perubahan. Inilah makna gerakan sosial baru di pedesaan. Supaya lebih bergelora diperlukan peran kaum agamawan yang reformis dalam gerakan ini. Harapannya melalui model itu, agama akan menjadi faktor positif dan mempersatukan, dan tidak seperti terjadi sekarang ini, sebagai alat pemaksaan atas nama publik.
Beberapa catatan kritis:
Konsultasi ini, menurut pandangan saya, lebih banyak sosialisasi dan memperkenalkan wacana ha katas air. Hal itu terlihat dari banyaknya peserta yang mengemukakan persoalan yang dihadapinya, daripada membahas muatan (content) dari rencana advokasi RUU HAA.
Meski begitu, masukan dari peserta menjadi penting. Sebab, itu peta persoalan atau problematika tentang air menjadi sangat variatif dan kompleks. Hal ini bisa menjadi materi yang, kiranya, memperkuat argumentasi NA.
Sempat muncul diskusi cukup hangat: advokasi ini hendak menjangkau kompleksitas persoalan HAA: mulai dari pengelolaan sumber daya air (SDA), kepemilikan sumber, sampai soal penyediaan air bersih untuk rakyat, atau mulai mengerjakan hal-hal yang terukur, misalnya, memperjuangkan HAA untuk rakyat dari skala primer, yaitu air bersih (siap minum) dan untuk masak. Kalau yang pertama, kemungkinan strateginya juga tidak mudah. Sementara, kalau yang kedua, kalau negara bisa menyediakan kebutuhan dasar air (minum dan masak), dari kota sampai desa, keberhasilannya akan jauh lebih bermanfaat bagi rakyat. Untuk yang terakhir perlu juga diperjuangkan cara mengelola air bersih itu, dan kalau bisa, melalui koperasi.
NA HAA ini masih sangat “menyebar”. Artinya, fokusnya kurang kuat sekali ditekankan. Pendekatan yang utuh (termasuk semesta air) bisa menjadi mengaburkan focus advokasi. Selain itu, dengan pendekatan rights holder, NA ini bisa kehilangan ketajaman untuk mendapat persetujuan. Mungkin baik, kalau pendekatannya juga mempertimbangkan beberapa pihak yang mengurusi air. Harapannya, dengan strategi itu, focus KRuHA bisa terpusat pada satu issue, misalnya, air bersih. Sementara, air lain bisa diperjuangkan oleh stakeholder lainnya.
Dengan mendasarkan pada issue air bersih, maka kita bisa menggandeng NGO lain yang memperjuangkan air untuk pertanian, atau air untuk transportasi, supaya diperjuangkan adanya Kementerian Air, berdiri sejajar, misalnya, dengan Kementerian PU. Artinya, pendekatan stakeholder menjadi penting untuk dikerjakan bersama dengan mitra lain, baik NGO atau pihak lain di dalam pemerintah atau DPR (###)