Bina Desa

Bina Desa Luncurkan Jurnal Pedesaan.

Mengiringi acara puncak memperingati 35 tahun usianya, pada 29 Juni 2010 di JDC (Jakarta Disain Center), Yayasan BINA DESA meluncurkan terbitan barunya berupa JURNAL perdesaan dan reforma agraria yang diberi  nama “AGRICOLA”.  Francis Wahono, Gunawan Wiradi, dan Dwi Astuti hadir sebagai pembahas dalam peluncuran tersebut. 

Dalam sambutan peluncuran Agricola, redaktur AGRICOLA, Sabiq Carebest, menyatakan hadirnya Jurnal Agricola tak lepas dari kondisi sosio politik yang ada, dimana carut marut kondisi sosial sudah sampai pada titik yang kronis dan involutif. Angka kemiskinan gagal diturunkan, kerusakan structural di perdesaan menganga dalam jurang kesenjangan yang makin lebar, sementara konflik agraria diberbagai sektor tak juga kunjung Usai. Perempuan tak berdaya karena akses atas sumberdaya agraria yang dirmapas, lelaki tak punya kerja dan anak-anak terpaksa putus sekolah, kelaparan, mati karena penyakit yang semestinya bisa diatasi tetapi karena mahalnya ongkos sakit menjadi tak tersembuhkan. Sementara reforma agraria yang menjadi kunci utama dari proses membangun bangsa ini justeru di abaikan, di pasung dan tak jarang disesatkan makna dan tujuannya. “Negara masih terus saja absen berpihak pada rakyat dalam regulasi kebijaknnya terkait pengelolaan sumberdaya alam.” Ujar Sabiq siang itu.

Sementara itu Francis Wahono, selaku Dewan redaksi Jurnal Agricola dan ketua penasihat Yayasan BINA DESA mengatakan Agricola merupakan panggilan jiwa ditengah carut marutnya zaman dan sejarah panjang agenda reforma agraria yang sejauh ini tersandera dan terlunta.

“Penerbitan Jurnal AGRICOLA ini sesuai dengan mandat Bina Desa, yakni berjuang bersama petani di perdesaan Nusantara untuk kemerdekaan mereka: dalam ikut memutuskan kebijakan kepertanian perdesaan, berlandaskan keadilan ikut menjalankan roda produksi, distribusi dan konsumsinya, ikut memelihara lingkungan hidupnya, ikut menaikan derajadnya sebagai manusia beradab dengan pekeerjaan layak di tengah bangsanya maupun bangsa-bangsa di dunia, dan memelihara serta mengembangkan budaya dan keiman agamaan yang anti kekerasan dan menolak segala bentuk diskriminasi termasuk pada perempuan, anak-anak dan difabel sebagai sembah sujud pada Allahnya.” Papar Francis Wahono.

Masih menurut Francis Wahono, Reforma Agraria adalah sebuah pilihan cara bagaimana pembangunan berkeadilan, penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan hidup dijalankan. “Oleh karena itu Reforma Agraria adalah kunci tunggal usaha menuntaskan agenda kemerdekaan politik yang bersambung dengan kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya. Hanya dengan pelaksanaan agenda pembangunan berkeadilan, penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan hidup, maka kemerdekaan akan menjadi kenyataan bagi seluruh bangsa termasuk mereka yang rakyat jelata.” Tegasnya.

 

“AGRICOLA

Jurnal setebal 107 halaman dengan tajuk utama “Quo Vadis Reforma Agraria” tersebut diberi nama “Agricola”. Penamaan Agricola  lahir dalam rapat redaksi bersama Dwi Astuti selaku Direktur Ekskutif Bina Desa, Francis Wahono selaku dewan radaksi dan ketua penasihat Bina Desa, serta Sabiq Carebesth selaku pimpinan redaksi.

Dalam rapat redaksi yang berlangsung setengah hari tersebut, ditengah makin mengentalnya tekad dan gagasan, tercetuslah dari dalam pikiran Francis Wahono untuk menamai jurnal pedesaan tersebut dengan nama Agricola. Menurutnya, nama Agricola berarti dengan petani.” Setelah melalui proses yang tak pendek, atas berbagai pertimbangan khususnya harus berjiwa petani dan desa serta harus berbau ilmiah dan bernuansa internasional, maka diputuskanlah nama Jurnal tersebut: AGRICOLA. Kata bahasa Latin, yang digunakan sebagai bahasa cendekia pada jaman Erasmus dan Sir Thomas More abad ke-16 itu berarti: petani.” Terang Francis Wahono.

Dalam edisi perdananya kali ini, Agricola antara lain memuat 2 rubrik Tajuk dan 2 rubrik Ulasan yang mengetengahkan tema besar Quo Vadis Reforma Agraria.

Tema ‘reforma agraria’ diambil karena kepercayaan BINA DESA yang meyakini reforma agrarian sebagai  kunci dasar penyelesaian permasalah kemiskinan rakyat, khususnya petani gurem di Indonesia. “Tanpa reforma agraria, penyelesaian-penyelesaian yang bersifat tambal sulam justru akan memperparah persoalan. Apalagi, bila penyelesaiannya adalah ala mazhab Neo-Klasik atau yang kini berskala luas dan menyeluruh, mazhab Neo-Liberalisme, yang sebenarnya bukan penyelesaian tetapi pembunuhan, semakin jauhlah dari cita-cita Pendiri Republik ini. Pendiri Republik ini mencita-citakan kemerdekaan bagi semua dari semua penjajahan: politik, budaya, sosial dan ekonomi.”

Dalam edisi perdannya Jurnal AGRICOLA menampilkan 7 artikel: (1) artikel pendahuluan berjudul “Reforma Agraria: Tersandera dan Terlunta, Hendak Kemana” oleh Francis Wahono; (2) artikel “Transformasi Agraria dan Transisi Agraris “ oleh Gunawan Wiradi; (3) artikel “Hak atas Agraria Reform “ oleh Gunawan; (4) artikel “Reforma Agraria dan Hukum Adat” oleh Maria Ruwiastuti Suryaalam; (5) artikel “Merintis Kelembagaan Pelaksana Pembaharuan Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia “ oleh Usep Setiawan; (6) artikel “’Reforma Agraria, Pangan dan Pedesaan dalam Cengkeraman Neoliberalisme “ Mohammad Maksum; dan (7) artikel “Perempuan Pedesaan dalam Pusaran Liberalisasi Agraria  “ oleh Dwi Astuti. Selain itu juga ada beberapa tulisan lebih ringan yang dihimpun dari pengalaman lapangan dan petani.

“Dengan keterbatasan yang ada tapi penuh keberanian karena panggilan jiwa, tidak hendak berambisi namun juga penuh keteguhan, dalam lingkaran satu tahun, Agricola mulai dari dua terbitan, untuk dari waktu ke waktu, ketika semakin percaya diri, bertambah.tahun bertambah kerap.” Harap Francis Wahono seperti dikatakannya dalam acara launching Jurnal siang itu. Amin..>>(Pubin/Bindes/010/sbq)

 

Saijah dan Adinda Berpadu Haru bersama Happy Salma

Dalam acara peluncuran Jurnal Agricola dan Buku Kekerasan Tak Kunjung Usai hasil monitoring konflik perkebenuan yang dilakukan BINA DESA bekerja sama dengan Kantor Advokat dan pembela HAM IHCS, monolog Drama karya Multatuli dan pembacaan puisi karya Sapardji Djoko Damono oleh Happy Salma turut ramaikan acara Launching Buku dan Jurnal dalam rangka memperingati 35 Tahun Yayasan Bina Desa di JDC (Jakarta Disain Center).

(Jakarta, 29/06/2010) Saijah dan Adinda karya Multatuli yang dibawakan oleh seniman Komunitas Planet Senen, Irmansyah, segera menggelegar bertalu dengan suara seruling saluwang yang terdengar mengiris-iris. Dalam beberapa saat dentuman suara dan sayatan seruling menyihir seisi ruangan dengan potongan-potongan dialog karya multatuli yang sangat menyentuh dan penuh perenungan. “Tiga puluh juta rakyat diperas, dianiaya atas namamu.”

Sejanak lalu paduan musik dan monolog itu membawa seisi ruangan pada ingatan historis yang mendalam sekalgus perih di zaman penjajahan koloni Belanda. Monolog Saijah dan Adinda berkisah tentang penindasan rakyat jelata oleh aristokrat pribumi, Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara (Adenan Soesilaningrat) dan demangnya. Natanegara merampas kerbau milik Saijah-Adinda. Cerita soal kerbau ini terus berlanjut dan melahirkan kebencian Saijah-Adinda kepada Belanda. Dalam cerita aslinya, Selain menjadi raja lokal, Natanegara mampu me-ngendalikan atasan Havelaar sehingga kasusnya tak dilanjutkan.

Cerita Saijah dan Adinda yang kehilangan kehangatan dan kebebasannya sebagai manusia pribumi yang terjajah membawakan kembali atmosfir penderitaan dalam ruangan yang berisi para undangan dari kalangan NGO, Ormas tani dan buruh serta dari DPR RI dan Pemerintah. Sejenak para undangan mengekspresikan kemirisan pada air muka wajahnya seperti mau turut merasai benar ketika orang Indonesia di bawah kekejian kolonialisme Belanda, ketika jutaan rakyat dijadikan alat produksi bagi produksi kopi dan tebu dalam era politik dibawah kekuasan Raja Willem III.

Happy Salma dan Tsunami Sosial.

Happy Salma yang turut hadir dalam acara tersebut lantas menutup acara siang itu dengan membacakan puisi Sapardi Djoko Damono yang berkisah tentang amuk tsunami di Aceh dan beberapa kota di Indonesia.

“Puisi yang saya bawakan ini memang menceritakan tentang bencana Tsunami. Tetapi dalam kehidupan petani saya juga melihat mereka terus menderita dan seperti mengalami bencana sosial kemiskian dan ketidakberhiakan Negara pada mereka. Hal itu mungkin terasa seperti badai tsunami yang menghempaskan kehidupan sosial mereka.” Ujar Happy Salma beberapa saat sebelum membacakan puisinya.

Happy juga menyampaikan rasa bangga dan senangnya dapat turut hadir dan berpartisipasi dalam acara yang diselenggarakan yayasan Bina Desa yang memiliki konsens membela hak-hak petani dan membangun kemandirian pedesaan untuk tujuan kemakmuran dan kedaulatan bangsa.

“Saya senang berdiri di sini, saya juga lahir dari desa. Malah saya pernah bercita-cita menjadi istri seorang petani.” Kata Happy disambut tepuk tangan dan senyum rekah para undangan. (pubin/bindes/2010/sabiq)

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top