CIANJUR, BINADESA.ORG- Pada akhir Agustus lalu, tepatnya pada tanggal 30-31 merupakan hari yang berbeda dari biasanya bagi Sauyunan Perempuan Petani Binangkit (SPPB) Kadupandak. Saat itu SPPB kedatangan tamu dari lembaga Asian Community Trust (ACT) Jepang, Mari Suzuki bersama staff Bina Desa Jakarta, Mardiah, Affan dan John S.
Kesempatan kunjungan ini tidak disia-siakan oleh SPPB, mereka menggelar diskusi yang bertempat di anggotanya, yakni Paguyuban Ranca Bungur, Desa Sukasari, Kadupandak. Saking antusiasnya hampir seluruh pengurus baik dari SPPB maupun paguyuban dari tujuh desa dab beberapa apparat desa turut hadir. Dalam dialog tersebut, para pihak saling antusias untuk mengetahui kondisi desa, sosial dan pertanian masing-masing. Pada awal perkenalan Suzuki mengatakan,” Saya adalah satu kepala program dari ACT, dalam setahun berkeliling di negara-negara Asia untuk melakukan pemantauan program”. Tujuan dari ACT adalah mendorong pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan di masyarakat Asia melalui dukungan keuangan untuk komunitas lokal kata Suzuki melanjutkan.
Suzuki juga melontarkan pertanyaan seputar kegiatan yang dilakukan di masing-masing paguyuban dan kemudian dilanjutakan dengan menanyakan persoalan atau masalah yang dihadapi di paguyuban dan sauyunan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut secara bergantian dijawab oleh para pengurus sauyunan dan para anggota paguyuban. Selepas istirahat makan siang, bergantian kini ibu-ibu yang banyak bertanya ke Suzuki. Mulai dari bertanya tentang negara Jepang dan apa saja yang dilakukannya di Jepang. Berdasarkan informasi yang didapat oleh Redaksi BINADESA.ORG, pertanian di Jepang selain sudah menggunakan mekanisasi yang canggih, petani-petaninya juga mempunyai etos kerja yang mumpuni, demikian juga kejelasan kebijakan dari pemerintah untuk membeli sebagian besar hasil produksi sehingga bisa mengontrol harga yang baik bagi petani.
Kegiatan diskusi ini sangat positif selain saling tukar informasi dan pengetahuan serta juga saling memberi motivasi antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam prosesnya. Selain itu juga mencoba melihat lebih dekat lagi tentang kegiatan-kegiatan lokal yang telah paguyuban lakukan di desa mereka masing-masing.
Di hari kedua kegiatan dilanjutkan dengan mengunjungi kebun kolektif Paguyuban Cahaya Asih di Desa Warga Asih. Ibu Entin salah satu pegiat paguyuban menjelaskan bahwa, “Dalam hamparan lahan yang ditanami sayuran, sawah yang baru saja dipanen dan juga kolam ikan”. Mereka juga memeragakan cara pembuatan dapros dari tepung beras.
Ketua Pendidikan dan Organisasi Bina Desa, Mardiah memaparkan,” Setelah dari desa Warga Asih, menjelang tengah hari kami melanjutkan perjalanan ke Paguyuban Jembar Tani, Desa Talaga Sari. Perjalanan menuju desa Talaga Sari ditempuh dalam 2 jam”.
Setibanya dilokasi, perwakilan Paguyuban Jembar Tani menjelaskan kepada rombongan mengenai hasil kebun kolektif mereka yang luasnya 1.200 m2 yang ditanami dengan 4 jenis tanaman yang berganti-ganti. “Selain itu kami juga sudah membangun praktek ekonomi simpan pinjam yang sekarang transaksinya kurang lebih 3 juta rupiah dengan 16 orang anggota” papar mereka. Kunjungan di tutup mengamati kebun kolektif mereka yang baru saja ditanami jagung, kacang panjang ditambah dengan kacang tanah dan jahe. Kerja-kerja paguyuban ini memegang teguh seperti pepatah urang Sunda yakni ,” Bengkung ngariung, bongok ngaronyok” yang artinya kurang lebih gotong royong menyelesaikan masalah bersama. ###