YOGYAKARTA, BINADESA.ORG-Bina Desa menjadi tuan rumah sekaligus penyelenggara bagian perdana rangkaian Regional Learning Exchange Program Southeast Asia (RLEP SEA) pada 13-19 Februari 2017. Kegiatan yang dilaksanakan di Yogyakarta ini adalah bagian pertama sekaligus pembuka rangkaian kegiatan RLEP SEA yang akan dilaksanakan secara kontinu selama dua tahun ke depan.
Program besutan Pesticide Action Network Asia Pacific (PANAP) yang terselenggara berkat dukungan MISEREOR ini mengundang kalangan Organisasi Masyarakat Sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat dari berbagai negara di Asia Tenggara untuk memahami lebih dalam serta berbagi ilmu dan pengalaman mengenai isu pangan, agraria dan pedesaan. Peserta terdiri dari sekitar dua puluh yang berasal dari Filipina, Indonesia, Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Berlaku sebagai fasilitator yakni Timmi Tillmann, Maruja Salas, Elizabeth Cruzada, dan Sagari Ramdas. Peserta dari Bina Desa sendiri terdiri dari Mardiah Basuni, Achmad Yakub, Chaerul Umam, serta Maya Saphira dan Yuliniar Lutfaida sebagai bagian dari panitia.
Pada rangkaian pertama ini, tema yang diusung adalah kedaulatan pangan. Tidak hanya belajar dan berdiskusi di ruangan, peserta juga diajak ke pasar tradisional dan desa dengan kegiatan agraria. Pada hari ketiga, para peserta diajak melihat-lihat pasar tradisional lokal dan menelaah bagaimana praktik kedaulatan pangan di lapangan melalui penelusuran komoditas yang diperdagangkan di pasar. Peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk kemudian berbincang dengan penghuni pasar melakukan analisis kedaulatan pangan dari hasil perbincangan tersebut.
Dari mata kegiatan ini diketahui bahwa kedaulatan pangan masih tercermin dari banyak komoditas di pasar. Komoditas yang dijual banyak berasal dari petani yang memiliki lahan dan alat produksi sendiri yang memiliki akses baik ke pasar. Walaupun demikian, bukan berarti kedaulatan pangan tidak terancam, karena ternyata banyak sekali tantangannya. Masyarakat mulai banyak yang menjual tanahnya dan beralih menjadi buruh tani, atau bahkan meninggalkan pertanian sama sekali untuk mencari pekerjaan di kota karena terdorong keadaan sulit.
Hari berikutnya, peserta yang dibagi ke beberapa kelompok melakukan turun lapangan ke beberapa desa, yakni Desa Samigaluh, Desa Banjararum, serta Desa Tanggul Harjo di Yogyakarta untuk mempelajari kehidupan di sana, terutama terkait kedaulatan pangan. Desa-desa yang dikunjungi memiliki keunikan sendiri dalam praktik komunitas swabinanya. Banjararum misalnya, memiliki koperasi penyalur hasil produksi desa yang memberi harga wajar dan tidak semena-mena kepada produsen sehingga mereka enggan menyalurkan ke tengkulak. Sementara di Samigaluh, koperasi simpan pinjam alias credit union Cukata menjadi kekuatan utama.
Selama perjalanan, para peserta saling bercerita mengenai kondisi di negaranya masing-masing. Danica Castillo dari PANAP menceritakan bahwa Filipina masih harus menempuh proses panjang menuju reforma agraria karena sistem agraria monokultur yang bersifat feodal peninggalan penjajah sebelum kemerdekaan masih melekat erat. Masing-masing wilayah, menurut Nica, biasanya hanya memiliki satu spesialisasi hasil tanaman yang berbeda dari wilayah lain, itu pun tanahnya lebih banyak milik penguasa alih-alih rakyat.
Heang Sokun dari Kamboja memaparkan bahwa petani di sana justru dipersulit oleh pemerintahannya sendiri yang mewajibkan registrasi peruntukan lahan hanya untuk satu jenis tanaman sehingga petani tidak bisa menanam tanaman selain yang tercantum ketika pendataan. Apabila dilanggar, petani bisa dikenai hukuman. Karena itu, keamanan pangan Kamboja terancam karena semakin banyak petani memutuskan untuk berhenti bertani dan mendapatkan pekerjaan di kota untuk menghindari sanksi.
Acara diakhiri dengan malam kebersamaan di mana delegasi dari masing-masing negara menyajikan pertunjukan budaya dari negaranya. Rangkaian kegiatan RLEP SEA akan dilanjutkan di negara ASEAN lainnya secara bergantian. (bd020)