Bina Desa

Benih Padi dan Identitas Budaya Pertiwi

Warga Kampung Adat Ciptagelar menikmati nasi bersama seusai bergotong royong menanam padi lokal di areal persawahan Dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (16/11). Benih padi yang ditanam adalah salah satu warisan para leluhur mereka yang hingga kini masih tetap lestari.

Ibu pertiwi memberkahi hasil padi melimpah kepada petani Kampung Adat Ciptagelar, Jawa Barat, yang dengan penuh kasih menghidupi padi lokal, asli dari Kerajaan Pajajaran itu. Lumbung padi berlimpah tuaian dari tahun ke tahun. Orang kota pun ikut menikmatinya….

Demikian kisah Wawan H Prabowo, yang menulis dalam laporannya untuk harian Kompas dengan tajuk tulisan “Budaya Agraris; Padi Melimpah Berkah Ibu Pertiwi.” (2012)

Wawan H Prabowo melaporkan Warga Kampung Adat Ciptagelar ketika rasi bintang kidang mulai condong ke barat, pemangku adat Kampung Ciptagelar, Abah Ugi Sigriana Rakasiwi (27), di Kecamatan Cisolok, Sukabumi, memutuskan memulai musim tanam padi sawah. Sebelum sinar matahari menyentuh tanah, Jumat (16/11), Abah Ugi merapal doa dan menanam lima batang padi jenis Tampeuy Hideung dalam upacara melak pare (menanam padi).

Pasukan penjaga padi yang disebut rorokan paninggaran segera menyambut ritual penanaman padi awal itu dengan tembakan senapan tanpa peluru ke udara. Dengan bunyi senapan warisan zaman Belanda ini, rorokan paninggaran menegaskan tekad menjaga keamanan pangan.

Istri Abah Ugi, Emak Alit (24), melanjutkan prosesi menanam padi diikuti 310 warga. Musik angklung buhun menemani langkah petani menanam padi dengan lantunan lagu berbahasa Sunda kuno bagai membuai bibit padi yang baru ditanam ke bumi.

Menjelang tengah hari, sawah di bukit milik Abah Ugi telah menghijau oleh tanaman padi. Begitu selesai menanam padi, seluruh warga menyantap nasi lauk ikan asin dan sayur leunca dengan wadah daun pisang yang digelar di pinggir sawah.

Esok harinya, seluruh warga Kasepuhan Ciptagelar yang tersebar di 568 kampung di tiga kabupaten, yaitu Bogor, Banten, dan Sukabumi, akan meneruskan menanam padi di lahan masing-masing. Meski penanaman dilakukan serempak, jenis padi yang mereka tanam sangat beragam dengan lebih dari 125 jenis padi lokal.

Kasepuhan Adat Ciptagelar menuntut warganya setia menanam padi lokal. Warga Ciptagelar juga dilarang memperjualbelikan hasil panenan padi. Kesetiaan pada padi lokal itu terbukti melahirkan kedaulatan pangan bagi petani.

Ratusan tahun

Dengan penanaman padi lokal, Kasepuhan Adat Ciptagelar selalu terhindar dari gagal panen sejak didirikan pada tahun 1368. Tiap petani memiliki cadangan padi hingga minimal dua tahun ke depan yang disimpan di leuit atau lumbung.

Leuit juga menjadi penanda status seseorang. Semakin banyak leuit yang dimiliki, semakin kaya seseorang. Abah Ugi memiliki 21 leuit pribadi dan lebih dari 7.000 leuit komunal dengan kapasitas 500-1.000 pocong (ikat) padi per leuit. Satu pocong ini setara dengan 5 kilogram-6 kilogram.

Ketika memasuki masa panen, setiap petani wajib menyimpan satu pocong padi di Leuit Jimat yang merupakan lumbung komunal. Leuit Jimat menjadi bank padi. Petani bisa meminjam padi dan mengembalikan pada musim panen berikutnya tanpa bunga.

Simpanan padi di Leuit Jimat sampai ada yang berumur 300 tahun saking tidak pernah ada petani yang meminjam. ”Abah suka bingung, kok bisa petani di tempat lain mengeluh kekurangan pangan,” kata Abah Ugi.

 

Padahal, petani di Ciptagelar hanya bisa panen sekali dalam setahun. Selain karena umur tanam padi lokal yang berkisar 4-9 bulan, petani menganggap tanah sebagai ibu yang hanya bisa melahirkan satu kali dalam setahun.

Dengan panduan rasi bintang di langit, pertanaman padi bisa terhindar dari serangan hama. Pada saat bintang kidang mulai terbenam yang dikenal dengan istilah tilem kidang turun kungkang pada bulan Mei, hama-hama mulai bermunculan sehingga tanaman harus sudah dipanen.

Doa juga diyakini menjadi penentu utama keberhasilan panen. Tiap tahapan penanaman padi di kampung yang terletak di Dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Sukabumi, ini selalu diiringi dengan ritual doa.

Tak hanya ketika menanam padi, doa pun dipanjatkan ketika bulir padi mulai berisi, batang padi mulai dipotong, dan ritual mencicipi nasi pertama di tahun ini. Dalam setahun, setidaknya ada 12 ritual yang digelar untuk padi.

Memukau dunia

Kemandirian pangan dari petani adat di Lereng Gunung Halimun ini memukau warga dunia. Ua Ugis Suganda Amas Putra (61) dari Ciptagelar menjadi satu-satunya petani yang tidak mengeluh tentang kegagalan panen ketika menjadi pembicara di Pameran Produk Pangan Dunia Terra Madre dan Salona Del Gusto di Italia, 22-28 Oktober lalu.

Pada saat petani dari negara lain berkeluh kesah, Ua Ugis memaparkan keunggulan petani di Lereng Halimun yang mampu memiliki cadangan padi hingga 20 tahun ke depan. ”Ua membawa solusi. Intinya adalah memperlakukan bumi sebagai ibu dan langit sebagai ayah,” kata Ua Ugis.

Tak hanya masyarakat adat, sebagian petani, seperti di Cianjur, Jawa Barat, kembali tertarik menanam padi lokal setelah jalur khusus menuju pasar mulai terbuka. Areal pertanian di Desa Gasol di kaki Gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat, misalnya, telah menguning dihiasi pertanaman padi lokal jenis Beurem Seungit, Gebang Omyok, atau Peuteuy yang siap panen.

Pertalian petani Desa Gasol dengan padi lokal sempat terputus pada saat pemerintah memperkenalkan padi unggul IR 64 yang bisa dipanen hingga tiga kali dalam setahun sejak masa revolusi hijau tahun 1980-an. ”Ganti IR 64 karena benihnya dikasih pemerintah,” kata petani Desa Gasol, Pidin (64).

Kini, Pidin memilih menanam padi hawara batu yang rasanya manis dan tetap enak meski hanya disantap dengan lauk garam. ”Jika menyantap hawara batu di pukul tujuh pagi, rasa kenyang bertahan hingga pukul tujuh malam. Kalau makan beras IR, jam 12 siang, perut sudah gelisah kelaparan,” kata Pidin.

Setelah diteliti di laboratorium, padi lokal, seperti Hawara Batu, ternyata mengandung indeks glikemik yang rendah. Semakin rendah indeks glikemik, makanan menjadi lamban dicerna sehingga menimbulkan efek kenyang.

Masuk supermarket

Produk padi lokal organik dari Desa Gasol kini telah dipasarkan ke supermarket, seperti Food Hall dan Ranch Market, di seluruh Indonesia. Pemilik Gasol Pertanian Organik, Ika Suryanawati, membeli padi lokal dari petani di Desa Gasol dengan harga dua kali lipat dibandingkan padi IR 64.

Ika merintis pertanian padi lokal organik di Desa Gasol sejak 2004. Kala itu, tak satu pun petani di Desa Gasol yang masih menanam padi lokal. Selama tiga tahun pertama, Ika mengumpulkan satu per satu benih padi lokal dari petani.

Dari proses itu, Ika antara lain menemukan beras yang teksturnya lengket seperti ketan hingga beras merah wangi yang kini menjadi produk andalan Gasol. Benih padi lokal itu lantas dibagikan kepada petani secara cuma-cuma.

Kepala Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Dr Karden Mulya mengakui kelemahan pendataan padi lokal. Akibatnya, padi lokal, seperti adan asal Kalimantan Timur yang diminati konsumen Timur Tengah, sempat diklaim sebagai milik Malaysia.

Tejo Wahyu Jatmiko dari Aliansi Desa Sejahtera menegaskan perlunya perlindungan terhadap padi lokal. ”Kehilangannya tidak hanya benih, tetapi budaya. Petani yang terpisah dari padi lokal menjadi tidak berbudaya karena hanya berperan sebagai pekerja, bukan lagi produsen,” kata Tejo.

http://cetak.kompas.com/read/2012/11/18/02382953/padi.melimpah..berkah.ibu.pertiwi

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top