Menghidupkan desa, meneranginya dengan semangat, menumbuhkannya dengan impian mandiri memang bukan pekerjaan semabarangan orang , termasuk menjadi aktivis atau pendamping komunitas pedesaan. Dibutuhkan tekad, dan sebutlah, darah juang! Hal itu mungkin bisa menggambarkan militansi kader bina desa Jawa Barat, Asep Supriyadi, (33).
Pria Sukabumi lulusan SMK Management ini dengan penuh semangat tiada henti, berbuat apa saja, atas sebuah keyakinan dan cara pandang bahwa masyarakat desa begitu miskin dan mereka yang sebagian besar petani, sangat tergentung dalam proses bercocok tanam. Keinginan untuk maju, membawa semangat melepas ketergantungan itulah yang menjadi mistik utama semangat suami Nurlaela ini mendampingi komunitasnya.
Dalam sebuah kesempatan di Bina Desa, ayah dari Siti Balkis Taskia ini berkenan membagi kisahnya kepada Sabiq Carebesth dari Bulletin Bina Desa.
***
Cara mudah mengenali manusia di Sukabumi khususnya adalah dengan melihat mereka yang merantau ke kota dan tinggal di kampung. Yang pertama pulang membawa cerita gemerlap kota, dan tak jarang berdampak membuat kelompok yang kedua mengalami ketakjuban sekaligus frustasi. “kenapa kehidupan di desa begitu jauh tertinggal?” pertanyaan itulah yang menjadi moment penting Asep Supriadi atau yang akrab di sapa Kang Asep ini, belajar mencintai kampungnya dan berupaya membuat desanya maju.
“Bermula dari menginisiasi media di kampung, berupa radio penyiaran komunitas. Awalnya radio ini dari nongkrong anak-anak muda desa yang tidak pergi ke kota.” Ujar Kang Asep dengan aksen Sunda yang khas.
Ada teman dari Sulawesi Tengah, waktu itu maksudnya mau mendaki ke Halimun, lalu pergi ke Cipeteuy, terus sharing, ngobrol-ngobrol gitu tentang bagaimana pemuda itu nongkrong tapi punya manfaat untuk lingkungan.
Maka pada tahun 2004-2005 berdirilah Radio Komunitas “TATALEPA FM” yang artinya: Talenta-Talenta Pencinta Alam, sementara dalam bahasa sunda sendiri berarti “getok tular” tentang informasi disekitar desa.
“Radio komunitas bermanfaat karena bisa berbagi kabar untuk disiarkan kepada orang-orang di desa atau yang tidak merantau dari mereka yang merantau di Jakarta melalui SMS atau telpon. Jadi secara sosial tetap terhubung.”
Khan ada hand phone? “waktu itu tidak ada, bayangkan saja itu tahun 2004, di kampung belum ada yang punya hp. Selain bertukar informasi dan kabar, radio komunitas juga berfungsi sebagai media promosi usaha rakyat.” Imbuh Asep yang berlaku sebagai sebutlah “manager operasional” radio komunitas Tatalepa FM.
Jadi buruh batu bara
Karena minim resources untuk operasional dan terutama mendapatkan kendala dari tidak adanya pengkaderan penyiar untuk pengelola radio, pada tahun 2008 radio komunitas pun off air.
“Saya keluar, pindah kerja ke Kalimantan untuk kerja di perusahaan batu bara, pada th 2009 pulang, menghidupkan lagi radio, tapi cuma bertahan sampai th 2011, off lagi karena tidak ada tempat siaran.”
di antara tantangan zaman yang muncul mengiringi perjalanan radio komunitas yang dikelolanya, Kang Asep bertemu dengan temna-teman dari bina desa, sejak tahun 2010 persisnya, “ perkenalan sebenarnya sudah sejak th 2006-2007 waktu itu kenal secara individu dengan Sekertaris Yayasan Bina Desa, Akhmad Miftah—yang ketika itu ada agenda pendampingan di Gunung Salak, untuk informasi yang di butuhkan ke gunung salak, teman dari Bina Desa berkomunikasi dengan pak Teguh. Nah pak Teguh itulah teman saya.” Cerita Asep dengan sumringah siang itu di kantor Bina Desa.
Kerja pendampingan komunitas tani pun dimulai sejak perkenalannya dengan Bina Desa, khusunya untuk mendampingi program pertanian alami di Sukabumi. “ Apa yang paling mendasar saya sadari adalah bagaimana mengakhiri ketergantungan petani terutama dalam sarana produksi dan usaha pertanian.” Tegas Kang Asep. Suaranya selalu bertenaga dan semangat.
Hasilnya? Di Sukabumi tempat dimana Asep mendampingi sekarang sudah ada ada 2 kelompok tani yang terorganisir: yaitu (1) Cermat Tani di desa Kabandungan; dan (2) Paguyuban Tani Jaya Mukti di Cipeteuy.
“Masing-masing kelompok Tani Alami terdiri dari 20 orang anggota. Sebulan sekali musyarawarah membahas kerja pertanian, sekarang mulai ada inisiasi tabungan dan simpan pinjam.”
Apa manfaatnya yang dirasakan masyarakat sejauh sekarang? Saya memancing Kang Asep dengan sebuah pertanyaan normatif. Kang Asep memberikan jawaban yang jujur sekaligus kuat. “Merubah secara signifikan keuangan sih belum, tapi terpenting adalah wawasan masyarakat terbuka, oh ternyata kita terjepit dalam struktur pertanian masyarakat yang terbuka dalam corak pertaniannya. Oh ternyata petani sangat tergantung baik pada pupuk pestisida dan penanggulangan hama.”
Tantangan besarnya muncul, masih menurut Asep, bukan pada hal teknis melainkan soal cara pandang bahwa tidak mudah merubah kebiasaan petani “masyarakat kadung instant maunya; ada uang langsung beli di toko, ya pupuk, ya benih, ya pestisida. Padahal kita sudah ajukan bukti perbandingan antara biaya produksi pertanian alami dan konfensional, termasuk juga analisis usaha tani. Hasilnya?” terang asep, keningnya mengkerut menatap tajam pada saya. “Oh ternyata merubah masyarakat memang tidak mudah.” Imbuhnya lagi seraya berkelakar.
Saya menatapnya, memberinya jeda menghisap kretek di tangannya, “Selain itu ada pula tantangan soal tanah atau lahan. Pemilikan lahan petani di Sukabumi sangat terbatas. Disana, per-KK rata-rata hanya memiliki 1000-1500m2 atau kurang dari ¼ ha.” Ujarnya. Ia menghisap rokoknya lebih dalam.
Perkara kepemilikan minimum tanah sebenarnya sudah berakar panjang sejak th 1976, waktu itu ada PT Intan Hepta, sebuah perkebunan swasta milik bekas orang di KEMENTAN. Nah terjadilah pemindahan pemilikan tanah penduduk ke perkebunan inti. “Th 2000, PT Intan Hepta habis HGU, sejak itulah tanah mulai dikelola kembali oleh masyarakat, tapi sampai sekarang pun hampir 13 th masyarakat tidak punya sertifikat dan kepastian hukum tanah.” Tegas Kang Asep. Suaranya khas suara petani, penuh semangat dan harapan dari lolongan sejarah yang telah begitu panjang.
Pertanian Alami
Hegemoni pengetahuan rupanya membenarkan asumi begitu kuatnya rezim idiologis menyusun kesadaran palsu masyarakat. Hal sederhana dalam pertanian warisan rezim revolusi hijau yang developmentalis—yang berorientasi serba hasil, itu pun harus cepat, banyak dan melimpah, tak perduli bila hal itu tak sebanding dengan kurasakan ekologis yang ditimbulkan dari gaya intensifikasi pertanian seperti terjadi di masalalu, dan sebenarnya mengakar di cara tanam masyarakat tani kini. Saya memberanikan diri bertanya: walau sulit merubah tradisi, tapi masih mungkin untuk maju? Mungkin! Jawab Kang Asep tegas, “memang belum semua praktek pertanian alami karena ada masalah seperti: waktu pindah dari pertanian konfensional ke pertanian alami, di tahap awal ada penurunan hasil panen sekitar 40%, jadi tidak cukup hasil panennya untuk 1 tahun seperti kalau tanam padi konfensional.”
Tapi yang sebenarnya berlaku adalah, proses uji coba pertama menurun, tapi di musim tanam ke-dua dan ke-tiga mulai hasilnya merangkak naik “jadi tanah itu awalnya memang sakit, karena terlalu banyak mengkonsumsi bahan kimia.” Tegas Asep. “Masyarakat sebenarnya yakin pada pertanian alami dan bisa mandiri karenanya. Masyarakat juga paham bahwa dia produsen pangan yang sehat dan jika berkelanjutan akan untung secara ekonomis.” Imbuhnya.
Harapan pada Bina Desa? “Bina Desa selama ini punya peranan penting, karena telah mengajari pentingnya berorganisasi bagi masyarakat desa. Terutama masyarakat tani.” Itulah ujaran Asep, harapannya. “Konsistensi pada CO-CO nya harus terus ditanamkan dan kian matang. Selain itu internalisasi nilai dan ideologi Bina Desa harus lebih matang baik ke CO maupun kadernya.” Pungkas Kang Asep. Laksanakan! (*)