Konflik perebutan lahan kembali memakan korban. Kali ini aksi damai yang dilakukan petani tiba-tiba di jawab dengan tindakan kekerasan oleh kepolisian. Akibatnya Iman (43 th), Yusuf (38 th) tertembak dan mengalami luka-luka di wajahnya, sementara Basri (50 th) mengalami luka memar. Mereka saat ini dirawat secara intensif di rumah sakit terdekat.
(JAMBI/BINDES/010) Siang hari sekitar pukul 13.00 WIB, saat warga sedang beristirahat tiba-tiba dikejutkan oleh tindakan represif dari aparat gabungan kepolisian yang berkekuatan 3-4 SSK dengan senjata lengkap dan unit Dalmas Satuan Brimob yang dipimpin langsung oleh Wakapolres Tanjung Jabung Barat, Bambang H.
Dalam siaran persnya Subronto Seno dari Persatuan Petani Jambi (PPJ), mengatakan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan polisi adalah jawaban dari PT. Wira Karya Sakti (WKS) yang merasa terganggu atas aksi reclaiming yang dilakukan warga atas lahannya. Sebelumnya pada selasa, 3 Agustus 2010, ribuan warga Desa Senyerang, Kec. Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, melakukan penanaman bibit nanas dll. di sebagian areal pengunaan lain (APL) Kanal 3-4 seluas lebih kurang 10 ha dari total 7224 ha lahan APL yang merupakan lahan syah milik warga.
“Aksi damai dari warga yang sudah berlangsung selama 2 (dua) hari itu nampaknya membuat pihak PT. Wira Karya Sakti (WKS) gerah, karena menganggap bahwa lahan APL itu bukan merupakan milik warga. Atas hal itulah maka kami melihat bahwa ada upaya lain yang dilakukan oleh PT. WKS untuk membubarkan aksi damai dari warga.” Ujar Subronto Seno.
Atas peristiwa kekerasan tersebut warga Senyerang melalui PPJ (Persatuan Petani jambi) sangat menyesalkan perilaku anarkis dari aparat kepolisian.”Kepolisian seharusnya melindungi rakyat, tapi mereka justru malah menembaki rakyat. Mereka lupa bahwa peluru, baju, dan segala macam atribut kepolisian ada karena duit rakyat.”
Maka atas kejadian tersebut warga Desa Senyerang bersama Persatuan Petani Jambi, menyatakan sikapnya,(1) Usut tuntas pelaku, pemberi perintah di lapangan dan dalang penembakan warga.(2) Tarik semua pasukan kepolisian tanpa syarat dari areal lahan APL milik kami warga Senyerang. (3) Stop intervensi dan intimidasi kepolisian dalam aktivitas kami secara arogan dan sepihak.(4)Biarkan kami melakukan aktivitas penaman di lahan APL milik kami yang sudah sah dimata hukum dan pembuktian resmi lainya.
Mereka juga menandaskan bahwa 7224 ha lahan APL adalah milik kami secara resmi, tapi sekarang telah dirampas dan disulap menjadi lahan HTI PT. WKS.
Tuntut “Status Quo” Lahan
Sementara itu dalam pemberitaanya pada Senin (9/8) Kompas memberitakan petani di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, menuntut pemerintah setempat menetapkan status quo pada lahan seluas 3.400 hektar. Lahan yang telah ditanami akasia oleh PT Wira Karya Sakti atau WKS tersebut diklaim petani sebagai milik mereka.
Tuntutan itu disampaikan saat Asisten II Setda Kabupaten Muaro Jambi M Junaidi menemui pe- tani di rumah Kepala Desa Danau Lamo Suhaimi, Senin (9/8).
Kadir, wakil petani, mengatakan, konflik antara petani dan perusahaan telah terjadi sejak masuknya perusahaan ini tahun 2003. Mereka mengklaim lahan yang digarap perusahaan adalah milik mereka. Lahan tersebut telah digarap sejak tahun 1980-an, jauh sebelum perusahaan mengelola lahan. ”Sekarang kami meminta agar ditetapkan status quo pada lahan itu,” ujarnya.
Ia mengatakan, ada sekitar 1.200 petani yang lahannya digarap PT WKS. Sebagian petani tidak memiliki lahan garapan lagi. Para petani sempat nekat menanami bibit sawit, karet, dan sejumlah jenis tanaman lain di areal tersebut, tetapi kemudian dicabuti kembali oleh pihak WKS.
Ketua Persatuan Petani Jambi Aidil Putra mengatakan, gubernur berjanji akan merealisasikan tuntutan petani terkait lahan pada 2008. Tim verifikasi juga telah turun ke lapangan. Namun, hingga kini tak ada penyelesaian yang diterima petani. ”Kami mempertanyakan realisasi atas lahan yang kami tuntut,” katanya.
Menyikapi tuntutan itu, Junaidi mengatakan, pada Juni lalu gubernur telah mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan mengenai rekomendasi lahan yang dituntut petani pada lima kabupaten, termasuk petani di Danau Lamo. Namun, pemda belum mendapat jawaban dari Menhut. ”Kami tunggu saja jawaban Menhut,” katanya.
Kurniawan Gotama dari Humas PT WKS menyatakan pasrah pada keputusan pemerintah. ”Biarkan saja pemerintah yang memutuskan seperti apa. Kami akan menuruti apa pun hasilnya,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon.
Pada tahun 2008, petani menuntut agar 41.000 hektar lahan garapan mereka yang diserahkan kepada PT WKS oleh pemerintah untuk dikelola menjadi hutan tanaman industri segera dikembalikan kepada petani. Saat ini konflik terkait tuntutan akan lahan kembali meningkat. (pubin/bindes/010/ITA/Sabiq)