Bina Desa

Apa Kabar Demokratisasi Desa?

Akhmad Miftah mewakili Bina Desa Membuka acara. Selama jaman orde baru, desa dikerdilkan menjadi obyek dalam doktrin pembangunisme, bahakan jaman colonial desa dan wargnya hidup paling menderita (photo by Achmad Yakub)
Akhmad Miftah mewakili Bina Desa Membuka acara. Selama jaman orde baru, desa dikerdilkan menjadi obyek dalam doktrin pembangunisme, bahkan pada jaman kolonial desa dan warganya hidup paling menderita (photo by Achmad Yakub)

JAKARTA, BINADESA.ORG—Pemberlakuan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi harapan yang sangat besar terhadap berlangsungnya demokratisasi di desa. Demokratisasi dimaknai sebagai proses peningkatan kapasitas masyarakat desa untuk lebih berperan aktif dalam pengambilan  keputusan dari, oleh dan untuk masyarakat. Perwujudannya dalam berbagai bentuk partisipasi pada pembangunan desa.

Untuk  mendalami perkembangan praktek demokratisasi di desa, Bina Desa menyelenggarakan diskusi terfokus pada tanggal 18-19 Oktober 2016. Acara dihadiri oleh masyarakat desa (Sukabumi, Cianjur, Cilacap, Purwokerto), pengurus kelembagaan di desa (Aceh), Kepala Desa (Pasawaran Lampung), pegiat gerakan desa membangun (Lampung, Banten), pegiat teknologi informasi dan komunikasi (Lampung, Banten), dan akademisi (IPB) serta disampaikan juga paparan temuan dari Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan Cirebon, Jawa Barat.

Acara dibuka oleh Akhmad Miftah yang mewakili Bina Desa, menurutnya, ”Selama jaman orde baru, desa dikerdilkan menjadi obyek dalam doktrin pembangunanisme, bahkan jaman kolonial desa dan wargnaya hidup paling menderita. Sekarang ini kita berharap kaum marjinal dipedesaan bisa bangkit dan taraf kehidupannya membaik. Semoga peluang dari proses demokrasi melalui Undang-Undang Desa yang baru ini bisa membuka sekat-sekat depolitisasi dan akses ekonomi masyarakat desa. walau sebenarnya posisi Bina Desa atas Undang-Undang (Desa) ini masih mengkritisi”.

Pada kesempatan ini setiap peserta yang hadir merupakan narasumber dan saling berbagi pengalaman. Katua Sauyunan, ibu Kartini menyebutkan bahwa proses penyelenggaraan pembangunan di desa setelah adanya Undang-Undang Desa di kampungya belum banyak perubahan, terutama tentang partisipasi warga. Bahkan kaum perempuan tidak ada yang dilibatkan dalam musyawarah desa.  Apa itu undang-undang desa, sebelum berangkat ke sini baru diinformasikan oleh sekretaris desa. Demikian juga pengalaman dari Aceh Barat, walaupun mulai terbuka dalam musyawarah desa namun masih banyak warga desa yang belum mau atau tidak terlibat dalam prose-proses pengambilan keputusan di desa. Bahkan peran laki-laki yang begitu dominan, adanya unsur kekerabatan yang kental membuat desa “dikuasai” oleh segelintir orang.

Ibu Kartini Ketua Sauyunan dari Cianjur Jawa Barat. Perempuan merupakan kunci suksesnya proses musyawarah desa dan pembangunan desa yang manusiawi, memakmurkan, ekologis dan berkelanjutan (photo by Achmad Yakub)
Ibu Kartini Ketua Sauyunan dari Cianjur Jawa Barat. Perempuan merupakan kunci suksesnya proses musyawarah desa dan pembangunan desa yang manusiawi, memakmurkan, ekologis dan berkelanjutan (photo by Achmad Yakub)

Demikian juga yang terjadi di Kampung laut, Desa Panikel, Cilacap Jawa Tengah. “Keuangan Desa belum transparan karena pelaporan kegiatan dan pendanaan desa baru sebatas diketahui oleh perangkat desa, tokoh masyarakat dan kelembagaan desa”, Fauzan menerangkan. RPJMDes, APBDes belum menjadi dokumen publik karena yang tahu hanya aparatur desa dan tokoh-tokoh masyarakat

Berbeda lagi pengalaman di Pasawaran, Lampung tepatnya Desa Mulyosari. Saipudin memaparkan bahwa proses pengambilan keputusan di desa sebisa mungkin melibatkan peran serta masyarakat. “ Mulai dari penyusunan rencana kerja pemerintah desa, rencana anggaran pendapatan dan belanja desa dan kegiatan kelompok-kelompok di desa dibahas melalui skema musyawarah rukun tetangga, musyawarah dusun hingga musyawarah desa. kami juga mendorong agar uang desa tetap berputar di desa, terbangunanya BUMDes”, Ujar Saipudin yang sekarang ini menjadi kepala desa di Mulyosari, Paswaran Lampung. Hal ini dikuatkan ketika sistem infomasi desa mulai berjalan dan terbuka. “Silakan cek di facebook desa Mulyosari disitu diumumkan berbagai aktivitas dan rencana desa, ini juga mengikat warga desa yang kerja di luar negeri”, tambah Saipudin.

Ahmad Fauzan dari Kampung Laut Desa Panikel Cilacap, Jawa Tengah memaparkan pengalamannya dalam praktek pertanian alami sebagai upaya memberi kontribusi dalam pembangunan desa (photo by Achmad Yakub)
Ahmad Fauzan dari Kampung Laut Desa Panikel Cilacap, Jawa Tengah memaparkan pengalamannya dalam praktek pertanian alami sebagai upaya memberi kontribusi dalam pembangunan desa dan ikut serta mendemokratiskan desa (photo by Achmad Yakub)

Dalam dua hari diskusi terfokus yang di fasilitasi oleh John.P Sinulingga ini banyak temuan-temuan dan pengalaman baik yang di dapat. Dalam dua hari ini sangat produktif sekali. Mampu untuk  untuk mengidentifikasi  praktek-praktek demokrasi di pedesaan dengan karakter masing-masing. Semisal desa Adat, ataupun desa “biasa” baik yang dataran tinggi maupun pesisir. Ke depan harapannya  bisa mengenali format yang sesuai dalam mendorong keterlibatan petani kecil, nelayan, laki-laki dan perempuan dalam demokratisasi desa dan mendorong terlaksananya demokratisasi asli ala Indonesia (musyawarah) dalam penentuan berbagai keputusan di desa.

Di akhir diskusi terfokus ditutup oleh Achmad Yakub dari Bina Desa. “Pengalaman demokrasi yang sifatnya inisiatif  kepala desa, intervensi pegiat desa, maupun dari masyarakat sendiri bisa saling melengkapi dan menguatkan satu sama lainnya, kesempatan pertemuan ini harus kita tindak lanjuti dengan mendorong kajian yang lebih dalam, pendidikan bersama, dan membangun sistem informasi desa, kuncinya adalah kemampuan kita berkolaborasi” tegas Yakub dalam pidatonya menutup acara. (###)

 

Scroll to Top