JAKARTA, BINADESA.ORG- Perkembangan kebijakan mengenai masyarakat adat semakin terasa pasca dikeluarkannya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 pada 16 Mei 2013 silam. Jumlah produk hukum daerah tentang masyarakat adat pasca putusan MK 35 terus meningkat dibandingkan sebelum adanya putusan MK 35. Data Epistema Institute seperti yang tercantum dalam Outlook Epistema 2017 menunjukkan bahwa terdapat 69 produk hukum daerah yang diterbitkan sejak Mei 2013 hingga Desember 2016. Angka ini sangat signifikan dan intens karena terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun.
“Sejak Putusan MK 35 pada 16 Mei 2013 hingga Desember 2016 telah ada 69 produk hukum daerah baru mengenai masyarakat adat. Mulai dari pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat, wilayah adat, hutan adat, lembaga dan peradilan adat, serta desa adat,” jelas Malik, Direktur Hukum dan Kebijakan Epistema Institute.
“Ini menunjukkan bahwa daerah berlari kencang, sementara di tingkat nasional berjalan lambat. Sedikit sekali produk hukum daerah yang ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat baik itu dalam rangka penetapan desa adat atau tanah komunal. Dalam bidang kehutanan, meskipun baru-baru ini terjadi pengukuhan 9 hutan adat oleh Menteri LHK dan Presiden, tetapi itu baru menyerap 9,6% dari luas hutan adat yg telah ditetapkan melalui produk hukum daerah,” terang Yance Arizona, anggota Dewan Pakar Epistema Institute.
Tren peningkatan produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat pasca Putusan MK 35 ini terlihat, di tahun 2013 terdapat 12 produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat, tahun 2014 terdapat 17, tahun 2015 sebanyak 27, dan tahun 2016 terdapat 13 produk hukum daerah. Peningkatan ini terjadi karena hadirnya Putusan MK 35 yang diikuti oleh UU Desa, UU Pemerintahan Daerah dan peraturan operasional dari kementerian yang berkaitan dengan masyarakat adat.
“Peningkatan produk hukum daerah menganai Masyarakat Adat pasca Putusan MK 35 ini juga disebabkan karena semakin luasnya wilayah advokasi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat adat dan lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi pemerintah daerah dalam penyusunan produk hukum daerah,” kata Luluk Uliyah, Direktur Epistema Institute.
Dari 69 produk hukum daerah yang terbit pasca Putusan MK 35, sebanyak 34 produk hukum daerah bersifat pengaturan, 34 bersifat penetapan dan satu bersifat kombinasi. Produk hukum daerah tersebut dikelompokkan dalam lima bentuk, yaitu; Perda yang bersifat pengaturan, Perda yang bersifat penetapan, Perda kombinasi pengaturan dan penetapan, Peraturan kepala daerah (gubernur atau bupati) yang bersifat pengaturan, dan Keputusan kepala daerah.
Dari sisi bentuk hukumnya, produk hukum daerah yang paling banyak setelah keluarnya Putusan MK 35 adalah Perda yang bersifat pengaturan. Terdapat 27 Perda yang bersifat pengaturan di mana 19 di antaranya adalah Perda Kabupaten/Kota dan 8 Perda Provinsi. Sementara itu, peraturan daerah yang bersifat penetapan sebanyak 33 produk hukum daerah, yang terdiri dari 9 Perda Kabupaten dan 24 SK Bupati/Walikota.
Jika dilihat dari materi muatan, dari 69 produk hukum daerah yanag keluar Pasca Putusan MK 35, 21 produk hukum daeran tersebut berisi muatan terkait lembaga adat, peradilan adat dan hukum adat.
“Peningkatan yang paling signifikan terdapat pada peraturan daerah mengenai masyarakat adat yang materi muatan produk hukumnya tentang keberadaan masyarakat adat (sebagai subyek hukum). Sebelum Putusan MK 35, hanya ada 8 produk hukum daerah. Namun setelah keluarnya Putusan MK 35, ada 17 produk hukum daerah yang materi muatan produk hukumnya tentang keberadaan Masyarakat adat. Ini membuktikan bahwa keluarnya Putusan MK 35 memberikan efek positif terhadap percepatan pembentukan produk hukum mengenai pengakuan masyarakat adat,” ujar Luluk.[###]
Outlook Epistema 2017 selengkapnya dapat di unduh di sini