(Jakarta/BINADESA) Sekretaris Jenderal Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHSC) Gunawan mengatakan bahwa tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap petani dalam sengketa pertanahan cukup tinggi.
Dari 4.000 kasus pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM sejak 2009, sebanyak 62 persen atau 3.000 di antaranya terjadi pada konflik agraria dan lingkungan hidup. “Beberapa aktivis petani ada yang dibunuh,” kata Gunawan dalam seminar peluncuran buku “Kekerasan tak Kunjung Usai; Laporan Pemantauan Konflik Agraria” Di Jakarta Disan Center (JDC) Jakarta (29/6)
Tingginya sengketa ini pertanahan ini, menurut Gunawan, bersumber pada kebijakan kolonial dan pemerintah Orde Baru yang tidak memihak kepada rakyat. Di antaranya adalah lahirnya UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan UU Nomor 41 tahun 1999 yang tidak memberikan hak pengelolaan lahan kepada petani. Kedua produk hukum itu bahkan kerap dijadikan tameng perusahaan swasta dan pemerintah untuk memenjarakan petani.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat konflik pertanahan sejak 1970 hingga 2001 telah terjadi di 2.834 desa/kelurahan di 286 wilayah kota dan kabupaten. Luas lahan yang disengketakan dalam kurun waktu tersebut mencapai 10,9 juta hektar tanah dengan jumlah korban sebesar 1,2 juta kepala keluarga. “Kami juga mencatat 6.400 kasus pertanahan yang terjadi di negeri ini,” kata Gunawan.
Pernyataan bersama ormas dan LSM petani ini juga mendesak redistribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, tanah dalam keadaan terlantar itu akan diambil alih dan diperuntukkan masyarakat.
Jumlah tanah terlantar menurut data Badan Pertanahan Nasional cukup banyak. Tercatat lebih dari tujuh juta tanah diketahui tidak dipergunakan sesuai peruntukannya oleh pemegang hak. “Tanah itulah yang harus diberikan kepada masyarakat sekitar,” kata Gunawan.
Lebih jauh Dari hasil pemantauan(partisipatoris) yang terdapat dalam buku “Kekerasan tak Kunjung Usai; Laporan Pemantauan Konflik Agraria” tersebut, ditemukan(1)Konflik agraria terjadi di wilayah perkebunan yang persoalannya semenjak zaman kolonialisme, di kemudian hari keberanian rakyat melakukan aksi reclaiming tidak saja bersumber aspek historis bahwa tanah tersebut adalah tanah leluhurnya, tetapi juga akibat tanah tersebut dalam kondisi terlantar, (2) Ada kendala hukum dalam penyelesaian konflik agraria, utamanya adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Pemerintah Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, (3) Tidak jalannya pembaruan agraria mengakibatkan struktur agraria sejak masa kolonial tidak berubah yang mempertahankan dualisme antara pertanian modal besar (perkebunan) dan pertanian subsisten, (3) Konflik agraria telah menjadikan petani terlebih lagi perempuan petani menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, (4) Negara tidak menjadikan tanah terlantar sebagai obyek pembaruan agraria sehingga petani tidak bertanah sebagai subyek pembaruan agraria tidak mendapatkan hak atas tanah, (5) Polisi, BPN, dan Komnas HAM serta pengadilan menjadi alat negara yang gagal menghentikan kekerasan, menyelesaikan konflik agraria, dan memenuhi serta melindungi hak-hak petani korban.
Karena itu lah menurut Gunawan, “diperluakan perspektif historis dan pemenuhan hak korban paska konflik dalam upaya penyelesaian konflik agararia yang ada.” Tegas Gunawan.(pubin/bindes/010/Sabiq)