Bina Desa

5 Alasan Rakyat Menolak KTM 10 WTO

WTO telah gagal, itulah kenyataanya. Tidak ada capaian penting untuk membuat tata dunia menjadi lebih adil dan sejahtera bersama-sama. Negosiasi berlangsung dengan tidak demokratis, Negara-negara maju cenderung memaksakan kepentingan nasional ekonominya, semantara Negara miskin dan berkembang ditempatkan pada posisi membeo saja pada kepentingan Negara maju. Satu contoh factual, subsidi negara miskin dan berkembang dibatasi de minimis 10% dan peace clause Paket Bali. Jadi kewajiban negara untuk menyantuni rakyat miskin, lapar malah dibatasi. Jadi haruskah kita kembali berunding? #EndWTO. Berikut adalah 5 alasan utama kenapa kita harus menolak KTM 10 WTO:

Pertama, WTO telah gagal

20 tahun WTO berdiri, ia telah gagal memenuhi tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara anggotanya.

Lembaga ini sudah gagal dan tidak memiliki capaian signifikan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mewujudkan skema perdagangan berkeadilan. Yang ada malah rakyat, petani, nelayan, buruh, makin miskin.

Kedua, Perundingan WTO Tidak Demokratis

Negosiasi yang tidak demokratis terlihat dari praktik yang kerap terjadi di ruang tertutup dan hanya melibatkan negara tertentu.

Praktik ini disebut dengan ‘Green Room’ dan dalam pertemuan-pertemuan tertutup ini lah, pertukaran dan lobby-lobby kepentingan dilaksanakan.

Menuju KTM 10 WTO, negara G5 mengambil keputusan sepihak—dan difasilitasi Direktur Jenderal Azevedo. Inilah praktik tidak demokratis elit yang efeknya menghantam kepentingan rakyat kecil.

Ketiga, WTO mengancam hak atas pangan

Adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya agar tak kelaparan, kekurangan gizi.

Namun di dalam WTO, subsidi negara miskin dan berkembang dibatasi de minimis 10% dan peace clause Paket Bali. Jadi kewajiban negara untuk menyantuni rakyat miskin, lapar malah dibatasi.

Keempat, WTO, juga FTA, TPP, mengancam sektor pertanian

Sektor pertanian masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan Jokowi-JK. Kapasitas dan produk petani kecil Indonesia masih butuh bantuan dan insentif untuk berkembang.

Sementara menurut perjanjian WTO, akses pasar negara miskin dan berkembang terus dipaksa terbuka oleh Trade Facilitation. Ini menyebabkan pertanian kita tidak akan maju-maju. Apalagi sektor pertanian tidak pernah jadi fokus serius pemerintah di tengah perdagangan bebas macam WTO, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), atau wacana ikut Trans-Pacific Partnership (TPP).

Kelima: Tertutupnya Kesempatan Pembangunan

Salah satu tujuan WTO adalah untuk pembangunan. Untuk itu, Agenda Pembangunan Doha masih terus menjadi andalan negara-negara miskin dan berkembang.

Di KTM 10 Nairobi, ada wacana untuk meninggalkan Agenda Pembangunan Doha—yang terutama dicetuskan negara-negara maju macam Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang. Rakyat di seluruh dunia harus bertanya, apa relevansi WTO saat ini? Tentunya sia-sia berusaha di dalam forum multilateral yang gagal, tidak demokratis, mengancam hak asasi, bahkan menghadang pembangunan untuk rakyat. (*)

*Untuk keperluan wawancara silakan kontak: Achmad Yakub: 0817-712-347, (Bina Desa/ Gerak Lawan)

11203314526_d4a4c94b05_b

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top