Pertanian Alami Memulihkan yang Telah Rusak

Sudah sejak dulu nenek moyang Kita mempraktekkan Pertanian Alami: bertani tanpa merusak tanah dan membunuh kehidupan lainnya

Revolusi Hijau yang dimulai dan digalakkan Pemerintahan Suharto pada 1976 telah banyak mengakibatkan efek negatif terhadap lingkungan pertanian. Alih-alih ingin meningkatkan produksi pertanian, Revolusi Hijau justru kian membuat lahan pertanian rusak dan petani tak berdaulat. Dimulai dari bibit, petani yang dulunya mampu menghasilkan benih-benih lokal berkualitas, mulai saat itu harus bergantung kepada bibit buatan perusahaan. Belum lagi hasil pertanian yang mulai teresidu oleh bahan-bahan kimia yang menyebabkan berbagai macam penyakit.

Bertani yang tidak hanya mementingkan hasil tapi lebih pada proses saat itu mulai tereduksi. Petani hanya diposisikan sebagai pasar potensial yang berfungsi menyerap produk pabrikan korporasi dan hanya bertugas menghasilkan pangan murah. Mulai bibit, pestisida dan pupuk yang tak ramah lingkungan. Saat itulah, petani tak lebih objek kepentingan pemerintah dan kalangan industri saja.

Menurut Buku Natural Farming, Rahasia Sukses  Bertani di Masa Krisis, kondisi tersebut yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan Pertanian Alami. Yakni pertanian yang ingin mengembalikan kedaulatan petani. “pertanian alami yang secara ekologis menjaga keseimbangan ekosistem, mengembangkan ekonomi rumah tangga dengan kegiatan produksi yang mampu memberikan keuntungan dan mencukupi kebutuhan rumah tangga.”

86Fonnong_Meskipun istilah Pertanian Alami sendiri berasal dari Dr. Chon Han Kyu dari Korea Selatan, namun sebenarnya sistem pertanian itu sudah dipraktekkan sejak lama oleh nenek moyang Indonesia. Dengan kata lain, bukan merupakan cara baru bagi petani Indonesia. Dengan falsafah yang sederhana tapi bermakna, yakni: “Semua makhluk punya hak hidup dan proses kehidupan sendiri-sendiri, persoalannya tinggal bagaimana kita mampu mengatur keselarasan hidup bersama tersebut.”

Ya, pertanian alami memang sangat mendukung kearifan lokal yang masyarakat punya sejak dulu. “…seperti pengetahuan masa tanam, kalender musim/pronoto mongso, kecocokan tanaman dengan karakteristik petani hingga topografi/geografi setiap daerah,” tulis buku yang dieditori oleh Lily N. Batara dan Ika N. Krishnayanti itu.

Dengan cara seperti ini, lewat pengetahuan yang holistik dan dukungan semua petani dapat berdaulat. Sehingga, dapat memainkan perannya menyediakan pangan yang sehat dan aman bagi keluarga dan kita semua.

Budaya bertani alami kemudian akan  menghidupkan kembali peran-peran penting dari setiap individu yang terlibat dalam usaha tani, laki-laki dan perempuan petani, pedagang, dan konsumen, serta lingkungan hidup. (*)

ARTIKEL TERKAIT

Podcast Pangan dan Gizi

Pestisida Kimia dan Kekerasan Terhadap Perempuan

5 Alasan Produk Pangan Hasil Pertanian Alami, Penting Untuk Dikonsumsi

Membangun Masa Depan Sehat: Hari Gizi dan Makanan dengan Pemulihan Benih Tanpa Bahan Kimia

Belajar dari Laos: Menjaga, Mengelola Kesuburan Tanah dan Mengelola Hama Secara Alternatif

FPAR: Pentingnya Dokumentasi Pengetahuan Bagi Perempuan Pejuang Kedaulatan Pangan