Mengawal Negara Laksanakan Amanat Konstitusi, Penuhi Hak Atas Air Rakyat (1)

Konferensi Pers KRuHA dan organisasi masyarakat sipil beberapa waktu lalu di Jakarta (05/02/17) menyampaikan bahwa mereka telah menyusun Naskah Akademik RUU Air sejak 2015 lalu dan selalu mengundang dan berkoordinasi dengan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Foto: KPA)

JAKARTA, BINADESA.ORG—Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) bersama berbagai organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, Solidaritas Perempuan, KPA, BINA DESA, CREATA, SHI, HuMA, JATAM, IGJ, KPRI, SPRI, debtWatch Indonesia dan Kontras mengingatkan agar pemerintah melaksanakan amanat konstitusi dan memenuhi hak atas air rakyat. Hal ini terkait dengan dibatalkannya Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi. Pasalnya hingga saat ini rancangan undang-undang air sebagai pengganti UU No. 7/2004 tersebut belum ada dokumennya secara lengkap yang dapat diakses oleh masyarakat.

Perlu diketahui umum, bahwa KRuHA bersama organisasi masyarakat sipil lainnya  telah menyusun Naskah Akademik RUU Air sejak 2015 lalu dan selalu mengundang dan berkoordinasi dengan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan mendapati banyak indikasi ketertutupan proses.  “Situasi yang sama juga terjadi pada kurun 2003 – 2004, dimana Pemerintah dan DPR melakukan banyak proses tertutup dan mengabaikan masukan, juga protes Masyarakat sipil dengan tetap menyetujui kesepakatan hutang dengan Bank Dunia yang menuntut penetapan UU SDA baru yang lebih ramah pasar” Ujar Koordinator  Nasional KRuHA Muhammad Reza Sahib. Masyraakat sangat mengharapkan keterbukaan dan kemauan politik pemerintah agar mmeberi ruang kepada publik untuk berkontribusi dalam proses penetapan peraturan perundangan terkait air. Hal ini setidaknya meminimalkan banyak menghabiskan waktu dan biaya bila kelak setelah ditetapkan di DPR RI di Judicial Review lagi di Mahkamah Konstitusi.

UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air merupakan salah satu UU yang disusun melalui pinjaman program Bank Dunia (Water Resources Sector Adjustment Loan/WATSAL) sebesar US$ 300 juta.  Didasari atas cara pandang baru terhadap air, yaitu air sebagai barang ekonomi yang mendorong terjadinya komersialisasi, komodifikasi dan privatisasi air. Sebagai turunan,  tentu saja air sebagai barang ekonomi menjadi landasan  utama dalam menyusun UU Sumberdaya Air. Hak guna usaha air, merupakan salah satu implikasi dari cara pandang air sebagai barang ekonomi dan juga merupakan turunan dari water right yang didasarkan atas tradisi hukum property right.

Dengan pemahaman seperti ini, kepemilikan terselubung atas air menjadi dibenarkan. Water right juga menempatkan air sebagai barang exclusive dan bisa dimonopoli oleh sekelompok orang atau individu serta menuntut negara untuk menjamin hak memperoleh air, mengakui secara hukum, dan melindungi pemegang hak guna usaha air.  Menurut Khalisah Khalid dari WALHI  belajar dari dibatalkannya UU Sumber Daya Air No. 7 tahun 2004, karena terbukti terjadi konflik disebabkan oleh perebutan dan penguasaan sumber sumber air di sejumlah daerah oleh korporasi.

“Pemahaman ini tentu saja berbeda dengan Hak Atas Air, yang didasarkan atas air sebagai hak asasi manusia. Sebagai hak asasi manusia, maka air bersifat inclusive, tidak bisa dimonopoli oleh sekelompok orang atau individu, dan negara memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan memajukan, tersedianya air bagi seluruh rakyatnya sebagaimana yang diamanahkan dalam Konstitusi”  tambah Reza.

Praktek pengelolaan air masih juga lebih mementingkan  upaya-upaya untuk melakukan eksploitasi air. Pencemaran dan penghancuran terhadap sumber-sumber air juga dihancurkan dengan atas nama pembangunan, sehingga konservasi dan perlindungan sebagai bagian penting dari keberlanjutan ketersediaan air menjadi diabaikan. Tak hanya itu, praktik pengelolaan air yang eksplotatif ini juga mengakibatkan terlanggarnya hak warga negara atas air. Pemantauan yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan bersama 2.989 perempuan di Jakarta, Aceh, dan Makassar, mengungkapkan fakta bahwa di ketiga wilayah tersebut masyarakat masih menghadapi permasalahan krisis air yang mencakup kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Selain dihadapkan pada kondisi air yang keruh, berwarna, berbau, kotor dan/atau berasa, warga masih dihadapkan pada rendahnya debit pasokan air serta kontinuitas ketersediaan (indonesiasp.elva.org ). … Berita Selanjutnya

ARTIKEL TERKAIT

Menilik Hilangnya Kontrol Perempuan Petani Atas Benih

Perjuangan Panjang Melestarikan Benih Pangan Lokal

HTNM Gelar Pendidikan Advokasi Bagi Petani

Podcast Pangan dan Gizi

Buletin 148

Regional Conference APEX: Memperkuat Gerakan Kedaulatan Pangan, Mengubah Sistem Pangan, Menegaskan Keadilan Iklim